Breaking News

REGIONAL Semprot PT PLN Terapkan Tarif Listrik non Subsidi bagi Pengungsi Lewotobi, Senator AWK: Ini Keterlaluan, PLN Berdagang di Tengah Penderitaan Masyarakat 14 Oct 2025 13:10

Article image
Senator AWK mengecam kebijakan PT PLN yang menerapkan tarif listrik non subsidi bagi pengungsi Lewotobi, Flotim. (Foto: SS)
Senator AWK menuding pihak PLN telah “berdagang” dengan para pengungsi dan mengambil keuntungan dari situasi sulit yang tengah mereka alami.

LARANTUKA, IndonesiaSatu.co-- Anggota DPD RI asal Nusa Tenggara Timur (AWK), Angelius Wake Kako (AWK), mengecam kebijakan PT PLN (Persero) yang menerapkan tarif listrik non subsidi bagi para pengungsi Gunung Lewotobi, kabupaten Flores Timur (Flotim) yang kini tinggal di hunian sementara (Huntara).

Sorotan dan kecaman itu disampaikan Senator AWK usai kegiatan “Lewotobi Run for Humanity” yang digelar di sekitar lokasi pengungsian, Senin (13/10/2025).

Kegiatan itu sekaligus menjadi aksi penggalangan dana untuk membantu pembayaran tagihan listrik bagi para pengungsi Lewotobi.

Dengan nada geram, Senator AWK menuding pihak PLN telah “berdagang” dengan para pengungsi dan mengambil keuntungan dari situasi sulit yang tengah mereka alami.

"Ini temuan yang perlu jadi perhatian bersama. Bapak Presiden, Kepala BNPB, Direktur PLN, ternyata PLN berdagang dengan para pengungsi. Mereka dikenakan tarif non subsidi. Orang sudah tidak punya apa-apa, tetapi masih harus bayar Rp 250 ribu setiap empat sampai lima hari,” sorot AWK. 

Senator WK meminta manajemen PLN segera menindaklanjuti temuan ini dan mengalihkan ke tarif subsidi, agar penyintas bencana Lewotobi bisa memperoleh bantuan dan kemudahan dari pemerintah.

“Jangan berdagang di tengah penderitaan masyarakat Lewotobi. Ada ibu-ibu yang mengaku kesulitan membayar listrik mahal selama setahun terakhir,” bebernya.

Rovina, penyintas asal Desa Boru, menuturkan bahwa mereka hanya menikmati listrik gratis selama dua minggu pertama. Setelah itu, warga harus patungan untuk membayar tagihan listrik bersama.

“Kami satu kopel lima Kepala Keluarga. Harus patungan. Kadang kami kecoh karena pemakaian tidak sama, tapi penagihannya rata. Kami bayar sekitar Rp 21.000 per rumah tangga dan listrik hanya bertahan delapan atau sembilan hari,” ungkapnya.

Selain beban tagihan listrik, untuk bertahan hidup, para pengungsi bahkan meminjam lahan warga di Desa Konga untuk menanam sayur yang kemudian dijual di Larantuka. Hasilnya digunakan memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk biaya sekolah anak-anak mereka.

“Kami mohon pemerintah jangan bebankan kami di atas penderitaan kami,” pintar Rovina.

Sementara itu, Ene Temu, pengungsi asal Desa Ilipali Kecamatan Ilir Barat, mengatakan bahwa meski bersyukur atas bantuan pemerintah, mereka masih kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan dasar.

Selain tarif listrik non subsidi, para penyintas juga dibebani biaya pendidikan anak.

Pendataan oleh petugas kerap dilakukan, namun tidak diikuti realisasi bantuan. 

“Janji hanya tinggal janji. Sampai hari ini tidak ada perhatian. Jangan sampai anak kami putus sekolah karena kami tidak punya uang,” ujarnya. 

Para pengungsi berharap agar Senator AWK menyampaikan langsung kondisi mereka kepada Presiden Prabowo Subianto, agar pemerintah pusat turun tangan memberikan perhatian dan kebijakan yang berpihak pada penyintas Gunung Lewotobi.

--- Guche Montero

Komentar