Breaking News

KESEHATAN Sikka Darurat DBD, TPDI: Bupati Gagal Wujudkan Hak Kesehatan Masyarakat 14 Mar 2020 15:06

Article image
Koordinator TPDI, Advokat Peradi dan pemerhati masalah sosial-budaya NTT, Petrus Selestinus. (Foto: Dokpri PS)
"Sebagai penentu kebijakan daerah, Bupati Sikka telah gagal mewujudkan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Sikka di bidang kesehatan," sorot Petrus.

MAUMERE, IndonesiaSatu.co-- Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Sikka merupakan peristiwa yang memilukan dan bencana daerah yang menyebabkan penderitaan dan kematian. Sebagai penentu kebijakan daerah, Bupati Sikka telah gagal mewujudkan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Sikka di bidang kesehatan."

Demikian sorotan itu diutarakan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus dalam keterangan rilis yang diterima media ini, Jumat (13/3/20).

Petrus yang juga sesepuh Diaspora Maumere-Jakarta menilai, di satu sisi penyakit DBD telah menimbulkan korban dalam jumlah sangat banyak yakni 2.697 orang, di mana 1.190 yang menderita sakit terjadi di Maumere dengan 14 orang meninggal dunia dari total 32 orang yang meninggal akibat DBD.

"Ini sebagai bencana daerah yang memprihatinkan sebagaimana kasusu DBD di Kabupaten Sikka dikategorikan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) atau kondisi Darurat. Dalam konteks kebijakan pencegahan dan penanganan DBD dibanding tahun-tahun sebelumnya, ini adalah kegagalan Bupati Sikka, Robby Idong dalam mewujudkan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Sikka di bidang kesehatan," sorot Petrus. 

Advokat PERADI ini menilai, kegagalan untuk hal yang paling sederhana yakni penyadaran kepada masyarakat untuk hidup bersih sebagai kunci untuk hidup sehat.

"Hidup bersih dan sehat itu sebagai dua hal paling sederhana dan tidak dapat dipisahkan dalam setiap kehidupan manusia. Biaya murah, tidak butuh anggaran besar dan tidak dapat diijonkan. Tidak perlu berdebat seru dengan DPRD, cukup dengan Pemerintah memberi contoh bagaimana membangun wajah Kota Maumere yang bersih, maka di situlah cermin budaya masyarakat dan pemerintah ingin hidup sehat," katanya.

Sementara wajah Kota Maumere yang tidak bersih, sebut dia, sampah-sampah kota bertumpuk dan berserakan di setiap sudut Kota, bahkan dibiarkan.

"Ini menjadi bukti bahwa Bupati Robby Idong belum menjadikan bidang kesehatan masyarakat sebagai skala prioritas. Bupati gagal menjadikan hidup bersih dengan lingkungan yang bersih menjadi budaya dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, persoalan mendasar kesehatan warga adalah pada budaya hidup bersih yang dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah abai dan lebih asyik pada persoalan hilir yaitu membangun Rumah Sakit dan Puskesmas dengan Dokter dan Perawat yang hebat, namun abai terhadap persoalan di hulunya yaitu membudayakan masyarakat dengan pola hidup dan lingkungan bersih," selorohnya.

Pemerhati sosial dan budaya NTT ini mengatakan, dalam soal budaya hidup bersih, Pemerintah terkesan membiarkan masyarakat jalan sendiri, LSM bidang kesehatan dibiarkan jalan sendiri. 

Padahal, Pemerintah seharusnya menjadikan LSM sebagai mitra kerja dengan gerakan massif membangun pola hidup bersih untuk kesehatan, bukan pidato membanggakan penanganan DBD dengan sebuah Instruksi kepada semua elemen masyarakat untuk memberantas sarang nyamuk di saat mayoritas warganya tengah menderita DBD.

Saling Memuji untuk Menutupi Kegagalan

Menurut Petrus, masyarakat justru bingung membaca sikap Bupati Sikka dan Kanwil Kesehatan Provinsi NTT, dr. Dominggus Mere.

Pasalnya, di saat warga masih berduka karena 32 warganya meninggal akibat DBD dan 2.697 yang menderita sakit, pejabatnya saling memuji sebagai orang hebat tanpa ada pernyataan dukacita dan prihatin di tengah warga Sikka yang berjumlah ribuan orang menderita DBD.

"Di saat Bupati Sikka gagal mewujudkan warganya untuk hidup bersih dan mewujudkan wajah kota Maumere yang bersih dan sehat, namun Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT justru memuji Bupati Sikka dalam sambutannya di hadapan Menteri Kesehatan, dengan mengapresiasi kebijakan Pemkab Sikka yang mewajibkan semua elemen warga Sikka untuk terlibat aktif dalam gerakan massal Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) mengatasi DBD. Ini jelas upaya menutupi kegagalan atas tanggung jawab Pemerintah di bidang kesehatan, dan bukan justru dimanipulasi seolah-olah sebagai sebuah prestasi," kritik Petrus. 

Demikian pula dengan Menkes RI, dr. Terawan Agus Putranto, yang justru mencoba melempar tanggung jawab dengan pernyataan bahwa 32 warga NTT yang meninggal akibat DBD sebagai kehendak Tuhan.

"Menjadi fakta yang tak terbantah bahwa dari 22 kabupaten dan Kota di NTT, Kabupaten Sikka menempati urutan pertama kasus DBD dengan jumlah kasus 1200-an orang menderita sakit dan 14 di antaranya meninggal dunia. Ini bencana daerah yang serius," imbuhnya.

Darurat Kesadaran dan Kepedulian

Petrus menegaskan bahwa meningkatnya kasus DBD belakangan ini diharapkan dapat menyadarkan Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungannya sendiri, budaya hidup bersih harus ditanamkan.

"Tingginya kasus suatu penyakit endemis adalah cerminan dari faktor-faktor internal, termasuk rendahnya tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap penjagaan lingkungan tempat tinggal," nilainya.

Ia menyinggung, pembuangan, penampungan, dan penumpukan sampah dan barang bekas, dapat menjadi lokasi yang 'kondusif' terhadap perkembangbiakan nyamuk Aedes, terutama saat musim hujan yang rawan dengan genangan air.

"Masyarakat harus secara gotong-royong bertindak sendiri untuk memelihara lingkungan, dan jangan tunggu pemerintah atau pelayan kesehatan untuk turun tangan membereskan sampah yang tumpuk di lingkungan sendiri. Bencana DBD di Sikka adalah juga soal bencana kesadaran dan kepedulian," tandasnya.

--- Guche Montero

Komentar