Breaking News

HUKUM Tanggapi Pengunduran 17 PPK di Lembata, Praktisi Hukum: Ada Celah Rekayasa dan Intervensi 09 Mar 2020 16:56

Article image
Praktisi Hukum Nasional di Jakarta asal Lembata, Petrus Bala Pattyona. (Foto: dok. pribadi)
"Jika PPK bekerja sesuai regulasi sesungguhnya, tidak ada masalah. Namun siapa (PPK) berani melawan tekanan, intervensi 'big boss' yang mengatur mereka sebagai boneka atau figuran?" timpal Pattyona retoris.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Sedikitnya ada 17 Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), menemui Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur.

Mereka menyampaikan pengunduran diri dari PPK karena merasa kurang nyaman kerap dipanggil dan dimintai keterangan oleh aparat penegak hukum, baik dari kejaksaan maupun kepolisian.

Langkah itu mendapat tanggapan dari praktisi hukum nasional asal Lembata di Jakarta, Petrus Bala Pattyona.

Dalam rilis media, Pattyona mempertanyakan alasan para pejabat itu mundur karena tidak nyaman kerap dipanggil aparat kepolisian dan kejaksaan. Padahal, mereka menjalankan tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) sesuai regulasi.

"Jika selama ini PPK menjalankan tugas sesuai aturan, pasti mereka siap mempertanggungjawabkan segala pekerjaan yang diadukan masyarakat kepada aparat penegak hukum. Dalam pengadaan barang dan jasa, terlalu banyak celah untuk diakali, (berbuat curang, red); mulai dari menetapkan pemenang tender, sudah diatur syarat-syarat yang bisa saja menggagalkan peserta lain. Simak saja pendaftaran peserta via email. Pada hari pendaftaran bisa saja diatur emailnya ngadat, sehingga apabila peserta yang diunggulkan sudah masuk langsung di-lock, dikunci," ujar Pattyona dalam keterangan tertulis yang diterima media ini di Jakarta, Senin (9/3/20).

Ia mengatakan bahwa peserta yang sudah direkomendasi memenangkan tender dibuat kontrak kerja. Namun, saat hendak tanda tangan kontrak, sudah ada dua pos pengeluaran yaitu uang penunjukkan pemenang tender dan uang tanda tangan kontrak. 

Celakanya, kata dia, ada peserta lain yang tidak direkomendasikan, justru keluar sebagai pemenang tender. Sekalipun pemenang tender yang tidak direkomendasikan itu dari segi finansial, pengalaman, peralatan atau meminjam bendera pihak lain bahkan sebagai kuasa dari CV atau PT tidak memenuhi syarat, justru yang menang tender.

"Celah malingnya di sini. PPK dan pemenangnya sudah saling atur. Saat tanda tangan untuk pencairan uang muka yang melibatkan bendahara, ada celah lagi di sini. Pemenang tender harus mengerti, jika tidak maka disposisi pencairan di Bank Kas Daerah tidak akan cair," sorotnya. Selanjutnya, lanjutnya, sejak pengadaan material atau kerja fisik, diatur cara pembayaran. Misalnya, seolah-olah sudah ada kemajuan fisik 50 persen tetapi faktanya tidak demikian," ujar praktisi hukum asal kampung Kluang, Desa Belabaja, Lembata ini.

Potensi Rekayasa dan Intervensi

Pattyona mengatakan, di ruang terbuka ini, ada potensi "bermain" dalam berita acara kemajuan pekerjaan yang ditandatangani kontraktor, pengawas dan petugas lapangan.

"Semua bisa tanda tangan meskipun fisiknya tidak sesuai. Jika ada batas waktu pekerjaan untuk serah terima proyek, dibuat seolah-olah sudah tuntas. Padahal, mungkin di lapangan tidak sesuai," sentilnya.

Pattyona menilai, semua berpotensi 'bermain' merekayasa berita acara kemajuan proyek untuk pencairan sisa dana proyek dan pengguna barang jasa (pemilik proyek punya hak retensi 6 bulan), misalnya 5 persen sesuai kontrak.

Di ruang ini, terangnya, uang masih berpotensi 'bermain' soal mutu material atau fisik bangunan; seolah-olah kualitasnya bagus sehingga ada kesempatan mencairkan dana.

"Tugas PPK memang berat. Setiap tahap penuh tekanan dan godaan. Tetapi, jika PPK bekerja sesuai regulasi sesungguhnya, tidak ada masalah. Namun siapa (PPK) berani melawan tekanan, intervensi 'big boss' yang mengatur mereka sebagai boneka atau figuran? Sementara di lain pihak, apabila timbul masalah hukum karena celah kejahatan yang mungkin muncul dari setiap tahapan, mereka yang bertanggung jawab?" timpal Pattyona retoris.

Sebelumnya, sejumlah media lokal dan nasional memberitakan, 17 pejabat pemerintah di Lembata menemui Bupati Sunur. Mereka menyampaikan mundur sebagai PPK dan kelompok kerja di sejumlah proyek pemerintah.

Para PPK tersebut bekerja di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang,dan Perhubungan, serta Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya.

Alasannya, mereka merasa tidak nyaman dalam mengendalikan kontrak berdasarkan pengalaman sebagai PPK pada tahun-tahun sebelumnya dan saat ini. Mereka kerap dipanggil untuk dimintai keterangan oleh aparat penegak hukum dari kepolisian dan kejaksaan guna diperiksa berkaitan proyek, meski masih dalam tahap pemeriksaan.

Permintaan pengunduran diri mengingat beban tugas dan tanggung jawab serta risiko hukum yang dihadapi dalam mengendalikan kontrak, tidak seimbang dengan honorarium yang dianggarkan, bahkan tidak tersedia anggaran membiayai peningkatan SDM sebagai PPK.

Atas permohonan pengunduran diri belasan PPK tersebut, Bupati Sunur mengatakan akan menindaklanjutinya. Pengunduran diri para pejabat itu sangat mengganggu percepatan pembangunan sebagaimana ditegaskan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Nah, pencabutan SK menunggu saya bicara dengan Kapolda. Kalau Kapolda juga tidak tanggapi, saya setopkan saja. Saya laporkan ke Presiden," ujar Bupati Sunur mengutip sebuah media online nasional.

--- Guche Montero

Komentar