Breaking News

KOLOM Dari Salamanca dan Eiken Untuk Gereja Indonesia 16 Aug 2021 06:18

Article image
Kampus Universitas Salamanca, Spanyol. (Foto: AIFS Study Abroad)
Jadi imam (being a priest) tidaklah mudah, tahbisan hanya satu kali, hiduplah sebagai imam yang berarti, jangan menyia-nyiakan hidup imamat.

Oleh Stefanus Wolo Itu


TANGGAL 12-14 Agustus lalu Romo Petrus Sina mengunjungi saya di Eiken, Swiss. Dia berasal dari Rendu, Nagekeo Flores, NTT. Para sahabat di Flores menyapanya Rus. Para sahabat di Spanyol menyapanya Pedro. Para sahabat dunia maya mengenalnya sebagai Putra Puncak.

Pedro adalah imam projo Dioses Agung Ende, Flores. Dia ditahbiskan tahun 2008 dan termasuk generasi milenium baru. Imam Megatrend 2000-nya John Naisbitt dan Patricia Aburdene. Tampilannya sangat milenial. Terutama dalam pola pikir dan cara pandang. Wawasan dan horison pemikiran teologisnya luas.

Bagi saya Pedro akan menjadi salah satu "Komandan" para imam generasi ini di keuskupan kami. "Komandan" yang akan melanjutkan estafet dari kami imam generasi 1990-an. Imam-imam yang diurapi ketika "Kidung Glasnost dan Perestroika", Keterbukaan dan Restrukturisasi, dari Michael Gorbachov di Uni Soviet membawa dampak besar bagi dunia.

Sejak 2014 beliau melanjutkan studi di Spanyol. Tahun 2014-2016 studi S2 di Universitas Navarra. Tahun 2017-2021 studi doktorat teologi di Universitas Pontifikal Salamanca, Spanyol. Dia adalah pencinta FC Barcelona yang tinggal di markas FC Real Madrid.

Tentu saja banyak yang merasa asing dengan kota Salamanca dan Universitasnya. Salamanca seakan tenggelam di bawah nama besar raksasa sepak bola "Real Madrid". Para pendukung fanatiknya pasti menghafal besaran gaji pemain, posisi, nomor punggung dan bahkan nomor sepatu mereka.

Universitas Salamanca adalah universitas tertua kelima di dunia. Dia berada di bawah Universitas Al-Qarawiyyin Maroko (859 M), Universitas Al-Azhar Kairo (970 M), Universitas Bologna Italia (1088 M), dan Universitas Oxford Inggris (1096 M). Universitas Salamanca Spanyol didirikan tahun 1134 Masehi.

Universitas Salamanca adalah sekolah tua yang bergengsi. Pendiri Sekolah Salamanca adalah pencetus Hukum Internasional. Di tempat ini sang navigator, Christoper Columbus pernah menimba ilmu dan mengajukan permohonan untuk mendapat dukungan kerajaan Spanyol dalam rangka ekspedisinya di akhir abad ke-15. Salamanca punya peran besar bagi "Sang penemu Dunia Baru", Columbus.

Sebagai sekolah tua dan bergengsi, Salamanca memasang standar kualitas akademis yang tinggi dan berat. Slogan tuanya yang terkenal: "Quod natura non dat, Salmantica non praestat" (yang tidak punya otak, Salamanca tidak pakai). Tidak mudah studi di Salamanca. Pedro mengalami situasi itu. Sungguh, tahun-tahun penuh perjuangan. Perjuangan untuk menjadi manusia berkualitas sesuai standar akademis Salamanca.

Kadang dia tertekan, kecewa dan putus asa. Dia sering bergumul. Mau menyangkal, menyerah dan mundur? Atau terus maju, berjuang dan meraih kesuksesan? Pedro selalu ingat motto imamatnya. Motto ini dia ambil dari Yohanes 18,17: "BUKANKAH ENGKAU JUGA MURID ORANG ITU?"

Pedro tidak melihat dirinya hanya sebagai mahasiswa Salamanca. Dia tidak hanya sekadar menjadi bagian dari Civitas Akademica Salamanca. Dia adalah murid Yesus dan imam Tuhan yang diutus ke Salamanca. Dia harus taat dengan tugas perutusan ini. Ketaatan bagi seorang murid dan imam adalah kesetiaan untuk menempuh jalan Yesus. Jalan Yesus dari Nazareth hingga Golgota adalah jalan ketaatan.

Pedro berkomitmen untuk sukses. Kesuksesan dalam studi adalah ekspresi ketaatan pada panggilan Ilahi. Juga ungkapan ketaatan pada Uskup dan tanggung jawab kepada rekan imam dan seluruh umat Keuskupan Agung Ende. Secara sederhana, taat berarti menyerahkan diri sepenuhnya pada pihak lain yang ditaatinya. Taat terhadap pimpinan Gereja Lokal.

Pedro menulis disertasi doktoratnya dengan judul yang menarik dan menantang. Dia menulis tentang "KEDIKTATORAN". Tapi kediktatoran  tidak dalam kaitan dengan rezim negara yang otoriter. Dia tidak menulis tentang diktator mayoritas atau tirani minoritas sebuah bangsa.

Pedro menulis tentang KEDIKTATORAN RELATIVISME. Judul lengkapnya dalam bahasa Spanyol, "LA DICTADURA DEL RELATIVISMO Y LA POLÍTICA EN JOSEPH RATZINGER-BENEDICTO XVI". Atau dalam bahasa Indonesianya, "KEDIKTATORAN RELATIVISME DAN POLITIK MENURUT YOSEPH RATZINGER-BENEDIKTUS XVI".

Pemikiran sederhana saya tidak mampu menjelaskan isi disertasi sulit ini. Pedro sendiri pasti akan menjelaskan dengan baik, bila kita membutuhkannya. Dia akan mempertahankan disertasinya akhir Oktober nanti. Dia boleh meraih gelar Doktor. Ya, doktor teologi dari Salamanca. Setelahnya ia kembali ke Keuskupan Agung Ende, Flores. Sebagai doktor teologi, Pedro akan membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan generasi  milenial seputar moral sosial kemasyarakatan, politik dan etika teologis.

Bagi saya dan Pedro, kebersamaan dua hari di Eiken Swiss adalah saat rahmat. Tidak sekadar pamitan dan lepas pisah "adik kakak seimamat" karena dia mau kembali ke Flores. Tidak sekadar bersyukur dan berterima kasih karena sudah selesai studi.

Dua hari adalah saat rahmat untuk "berbagi ilmu dan menimba pengalaman". Pedro membagi ilmu pengetahuannya dari Universitas Salamanca. Saya membagi pengalaman dari "Universitas Kehidupan" enam paroki pelayanan saya: Eiken, Stein, Schupfart, Obermumpf, Mumpf dan Wallbach.

"Universitas dan kurikulum" kami berbeda. Tapi kami mempunyai pengalaman yang berharga. Entah yang menggembirakan atau menyedihkan. Kami saling membagi pengalaman itu. Kami bisa berbagi karena memiliki prinsip yang sama.

Pertama, sebagai rekan imam kami perlu berbagi ilmu meski sedikit. Banyak kisah inspiratif dan kaya nilai edukatif. Berat, sedih, pongah, konyol. Tapi kami ceritakan secara positif agar saling menguatkan. Kami tak mau "pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki terkubur dalam diri sendiri".

Kedua, usia kami jauh berbeda, pengalaman imamat juga berbeda. Tapi sebagai imam kami bersaudara. "Penuh tawa ria dan sukacita seperti usia sebaya". Kami saling memotivasi untuk terus menulis. Pedro menulis dengan bekal otoritas akademis. Saya menulis dengan bekal pengalaman pastoral. "Bila menulis, kita akan terus hidup bersama karya-karya kita, meski kita telah tiada".

Ketiga, sebagai imam dari satu keuskupan, kami bertukar pikiran. Kami mendapat banyak masukan baru. Ada ide-ide segar dan solusi-solusi baru. Kami temukan juga banyak gagasan brilian yang tidak terpikirkan sebelumnya. Apalagi setelah nikmati kikil babi dan bir dingin di Restaurant Panda di Säckingen, seberang sungai Rhein sana.

Keempat, kami berbagi untuk melepaskan emosi. Dengan berbagi pengalaman, kami bisa melepaskan emosi dan meluapkan isi hati.  Kisah-kisah kocak gaya orang "Sarasedu dan Rendu" membuat pikiran ringan. Hati tenang dan hidup bahagia meski jauh dari bapak Uskup, rekan-rekan imam, keluarga dan umat KAE.

Jadi imam (being a priest) tidaklah mudah. Tahbisan hanya satu kali. Hiduplah sebagai imam yang berarti. Jangan menyia-nyiakan hidup imamat. Apalagi mengeluh berlebihan tentang ziarah imamat. Ya, jalankan saja dengan penuh ketaatan. Ketaatan adalah janji sukarela kepada Allah. Ketaatan itu diucapkan di hadapan Uskup saat hari pentahbisan imam.

"TIDAKLAH SUKAR MENTAATI, APABILA KITA MENCINTAI APA YANG DIPERINTAHKAN". Uskup perintah jadi misionaris "Fidei Donum", siap dan taat. Uskup perintah untuk studi, studi sampai selesai dan tepat waktu. 

Terima kasih adik Pedro Sina.  Kita telah saling berbagi pengetahuan dan menimba pengalaman. Indahnya persaudaraan seimamat!

 

 

Penulis adalah misionaris Fidei Donum Keuskupan Agung Ende di Keuskupan Basel Swiss

Komentar