Breaking News

OPINI ADDIEU JB Metz (Teologi Politik) 06 Dec 2019 14:42

Article image
Johann Baptist Metz adalah teolog asal Munster, pencetus paradigma teologi dari konteks politik. (Foto: religion digital.org)
Teologi politik adalah teologi yang dimulai dari kenyataan dunia sebagai tempat testimoni tentang Allah, termasuk lewat dunia politik.

Oleh P Dr Felix Baghi SVD

 

BERITA kepergiannya pada tgl 2 Desember 2019, kita peroleh lewat media sosial. Hal yang lazim ‘jaman now’, bahwa kebenaran dan hoax sering tercampur. Namun, berita kematian sang teolog politik ternama ini adalah benar, dan karena itu bukan hoax. Dia memang telah kembali ke keabadian dalam usia ke 91. 

 

Siapa dia? 

Johann Baptist Metz adalah teolog asal Munster yang terkenal sejak tahun 1963 sebagai pencetus paradigma teologi dari konteks politik. Belajar filsafat dan teologi di Insbruck dan Munchen di bawah pengaruh Martin Heidegger dan Karl Rahner, rupanya tidak selalu meneguhkan Metz untuk berfilsafat dan berteologi hanya dari perspektif fenomenologis dan transendental. 

Dalam dunia akademik teologi, sejak tahun 1965, khususnya ketika jurnal teologi terkenal COMMUNIO, International Catholic Review diterbitkan, nama Metz selalu disebut dan bahkan disejajarkan dengan nama-nama teolog besar seperti Karl Rahner, Yves  Congar, Edward Schillebeeckx, Hans Kung, dan Gustavo Guterez. 

Yang khas bagi Metz yaitu kritiknya terhadap tradisi teologi Karl Rahner. Menurutnya, refleksi teologis warisan akademik Jesuit sejak maestronya Karl Rahner adalah refleksi dengan warisan teologi transendental. Dia melihat bahwa refleksi  ini tidak menjanjikan kepuasan intelektual untuk menyelami rahasia Ilahi dalam terang realitas kehidupan yang nyata. Dia kemudian membangun paradigma berteolog dengan fokusnya pada konsep teologi politik yang baru dan pada provokasi diskursus tentang Tuhan. 

Tentu, fokus ini hendak membawa Metz untuk berteologi dari konteks praktis. Dengan istilah “praktis”  di sini, kita maksudkan tindakan berteologi dari  “dunia politik” dan segala situasi yang berhubungan dengannya seperti tantangan Marxisme, tragedi Auschwitz dan negativitias sejarah dalam terang persoalan eksistensi Allah dan HAM dari posisi korban. Situasi ini diperkuat oleh tantangan kemiskinan dari dunia ketiga. 

 

Banting Stir Arah Berteologi 

Metz akhirnya melakukan gerakan “turba,” untuk mengalami getirnya kenyataan hidup. Seiring dengan interesenya terhadap teologi pembebasan, ia ingin menyapa, menyalami dan berada bersama kaum tertindas dan terpinggirkan. Ia memiliki passion untuk memandang wajah kaum penderita dari dekat. Ia kemudian mengunjungi komunitas marginal di Amerika Latin, dan tersentuh oleh pengalaman dari bawah, ia kembali ke Jerman dan membanting stir arah berteologi yaitu dari teologi transendental menuju teologi politik yang baru. 

Teologi politik adalah teologi yang dimulai dari kenyataan dunia sebagai tempat testimoni tentang Allah, termasuk lewat dunia politik. Teologi ini lahir dari sensibilitas kenyataan hidup yang pahit akibat kekejaman terhadap sesama umat manusia. 

Para korban sejarah, kaum lemah dan terpinggirkan, orang-orang miskin dan para yatim, orang-orang asing, anak-anak jalanan, para janda, semuanya adalah tempat wahyu keagungan Allah. Pada wajah mereka terbersit  jejak revelasi. Ada enigma dari yang tak berhingga. 

Metz sanggup membaca realitas sosial dari kaca mata teologi kritis agar lebih jernih mendeteksi jejak-jejak Ilahi yang ada. Karena itu, relasi persahabatan yang baik dengan para tokoh teori kritik dari sekolah Frankfurt seperti Adorno, Horkheimer dan Habermas telah banyak memperluas cakrawala politiknya dalam berteologi. 

Tanpa Metz, perjumpaan dan dialog kritis antara Habermas dan Ratzinger  di Munchen pada tahun 2004, mungkin tidak akan terjadi. Dialah seorang professor, dengan kompetensi teologinya, sanggup membawa anak didik dari ruang kelas ke ruang sosial, dari dunia institusi yang struktural ke dunia kehidupan yang nyata. 

 

Memoria Passionis 

Dengan berteologi dari bawah, Metz berangkat dari Memoria passionis akan para korban perang yang tidak berdosa. Belaskasihan Allah atas umat manusia adalah intuisi  dasar atas Memoria passionis dan intuisi ini menimbulkan daya tarik teologi Metz yang luar biasa. Allah yang berbelaskasih, menggerakkan umatnya (Gereja) untuk saling mengasihi, dan dengan kasih yang sama, umat Allah menyadari panggilannya di tengah sebagai  agen belaskasih Allah. 

Dunia ini sudah terlalu kejam. Ada banyak  kejatuhan  korban yang tidak berdosa sebagai akibat dari kebencian. Kini saatnya kita dipanggil untuk mewartakan  figur Allah yang berbelaskasih melalui institusi agama, melalui cara kita berpolitik dan bersosialisasi di tengah masyarakat. Bukankah ini juga adalah bagian dari iman  memoratif, yaitu cara beriman yang bertolak kekuatan ingatan untuk mengampuni sesama yang lain?

 

Penulis adalah dosen STFK Ledalero, Flores

Komentar