Breaking News

INTERNASIONAL Darmansjah Djumala: Parade Militer China Proyeksikan Kekuatan Baru Geopolitik Indo-Pasifik 03 Sep 2025 09:55

Article image
Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri, Dr. Darmansjah Djumala. (Foto: Ist)
Dengan menampilkan kekuatan militer, Beijing ingin mengirim pesan politik terkait perjuangan mereka melawan Jepang saat Perang Dunia II.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co  - Presiden Prabowo Selasa malam bertolak menuju Beijing untuk menghadiri acara parade militer peringatan 80 tahun kemenangan China atas agresi dan penjajahan Jepang pada 3 September 2025.

Kantor berita nasional China, Xinhua, (28/8/2025) melansir berita bahwa parade militer itu bakal dihadiri  26 kepala negara dan pemerintahan, antara lain Presiden Rusia Vladimir Putin dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.

Selain Indonesa, dari ASEAN yang akan hadir adalah Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pemimpin junta militer Myanmar, Presiden Vietnam Luong Cuong, Raja Kamboja Norodom Sihamoni, dan Presiden Laos Thonglun Sisoulith.

Wu Zeke, pejabat Staf Gabungan Komisi Militer Pusat China, menyatakan parade ini akan diadakan besar-besaran untuk memamerkan persenjataan baru  sebagai unjuk kekuatan dan kesiapan Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) dalam menghadapi berbagai tantangan regional dan global.

Diminta tanggapanya tentang parade militer China tersebut, Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri, Dr. Darmansjah Djumala, mengatakan acara itu bisa dilihat sebagai ajang unjuk kekuatan militer China yang diproyeksikan untuk menghadapi rivalitas geopolitik di Indo-Pasifik.

Secara lebih spesifik, Dr. Djumala, yang pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Austria dan PBB di Wina itu, memaknai fenomena itu dalam tiga hal.

Pertama, parade militer besar-besaran yang digelar China dapat dibaca sebagai instrumen politik simbolik di tengah rivalitas di kawasan Indo-Pasifik.

Dengan menampilkan kekuatan militer, Beijing ingin mengirim pesan politik terkait perjuangan mereka melawan Jepang saat Perang Dunia II.

”China ingin memaknai parade militer itu sebagai narasi legitimasi politik: bahwa China kini tidak lagi dalam posisi sebagai korban kolonialisme, melainkan kekuatan global yang mampu menentukan lanskap keamanan kawasan,” ujarnya melalui keterangan pers di Jakarta, Rabu (3/9).

Pesan yang sama, katanya, bisa jadi diarahkan juga kepada Amerika Serikat dan sekutunya, bahwa parade militer ini sebagai pernyataan simbolik atas klaim kepemimpinan regional.

Kedua, terkait kehadiran Indonesia, Dubes Djumala memaknainya sebagai langkah diplomatik strategis Indonesia untuk menyeimbangkan kedekatan Indonesia-China secara bilateral.

Indonesia dekat dengan China tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga  membuka kemungkinan ruang kerja sama di bidang pertahanan yang lebih substantif.

”Pada sisi lain, kehadiran Presiden Prabowo mencerminkan pengakuan China terhadap posisi strategis Indonesia di Asia Tenggara,” katanya.

Ketiga, dari perspektif kebijakan luar negeri, kehadiran Indonesia tidak harus dimaknai sebagai indikasi kecenderungan Indonesia lebih dekat ke China daripada AS.   

Indonesia hadir bukan sebagai negara yang berpihak pada satu blok kekuatan, melainkan sebagai negara yang ingin menjaga hubungan baik dengan semua mitra strategis.

“Dengan menjalin komunikasi dengan AS, Jepang, Uni Eropa dan ASEAN, kunjungan ke China menunjukkan keseimbangan diplomasi Indonesia. Inilah praktik nyata politik luar negeri bebas aktif dalam rivalitas geopolitik Indo-Pasifik: menjalin kerja sama dengan berbagai pihak tanpa harus terseret ke dalam kepentingan jangka pendek kedua pihak yang bersaing,” ujar Dr. Djumala. *

--- F. Hardiman

Komentar