Breaking News

NASIONAL Intoleransi Kian Marak, SETARA Institute: Pemerintah Justru Memberi 'Angin Segar' 29 Jul 2025 23:30

Article image
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan. (Foto: Ist)
Halili mengatakan, diamnya Pemerintah dapat dibaca oleh kelompok intoleran sebagai ‘angin segar’ yang mendorong mereka untuk mengekspresikan intoleransi dan konservatisme keagamaan, bahkan dengan penggunaan kekerasan.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) kembali terjadi. Peribadatan jemaat Kristen Protestan di sebuah rumah doa di Padang Sarai, Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, pada Minggu (27/7/2025) sore dibubarkan oleh sekelompok orang.

Dari video yang beredar pasca-peristiwa, sejumlah pria melakukan pengrusakan dan intimidasi kepada jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugrah Padang yang mengikuti peribadatan di rumah doa tersebut. Menurut laporan dari media dan mitra lokal SETARA Institute, beberapa properti rusak berat, kursi-kursi hancur, meja dalam keadaan terbalik, pagar rumah dibongkar, dan kaca-kaca jendela pecah. 

Sementara di dalam rumah doa, tampak sisa-sisa persiapan ibadah yang berserakan diacak-acak oleh penyerang.

Direktur Eksekutif SETARA Insitute, Halili Hasan, dalam keterangan resmi kepada media ini, Senin (28/7/2025) mengutarakan beberapa poin pernyataan;

Pertama, SETARA Institute mengecam keras terjadinya pelanggaran KBB, intoleransi, dan kekerasan terhadap kelompok minoritas di Padang tersebut. 

"Tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan dan nyata-nyata merupakan tindak kriminal yang melanggar hukum dan konstitusi," kecamatan Halili Hasan. 

Kedua, SETARA Institute mendesak agar aparatur negara, khususnya pemerintah daerah setempat untuk tidak permisif dan mensimplifikasi persoalan intoleransi dan kekerasan tersebut sebagai tindakan yang dipicu kesalahpahaman. 

Sebaliknya, kata Halili, pemerintah daerah setempat, khususnya Padang dan umumnya Sumatera Barat, untuk mengatasi persoalan intoleransi dan pelanggaraan KBB tersebut dari akar persoalan yang memicu, terutama konservatisme keagamaan, rendahnya literasi keagamaan, segregasi sosial, regulasi diskriminatif serta normalisasi intoleransi keagamaan, pada aras struktural dan kultural.

Dalam konteks yang sama, lanjut Halili, aparat penegak hukum juga mesti segera melakukan proses penegakan hukum atas tindakan kriminal yang dilakukan oleh kelompok intoleran. 

"Penegakan hukum diharapkan akan memberikan efek jera bagi pelaku dan mewujudkan keadilan bagi korban. Sebaliknya, ketiadaan penegakan hukum merupakan ‘undangan’ bagi berulangnya kejahatan terhadap kelompok minoritas dan kelompok rentan," tegas Halili. 

Ketiga, SETARA Institute mendesak Pemerintah Pusat untuk tidak diam saja atas terjadinya intoleransi dan pelanggaran KBB yang kian marak. 

Menurutnya, setelah lebih dari enam bulan Pemerintahan Prabowo Subianto, kasus-kasus intoleransi semakin marak. 

"Sejauh ini, Pemerintah Pusat lebih banyak diam. Presiden, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, dan Kementerian/Lembaga terkait tidak menunjukkan kepedulian dan keberpihakan pada korban," sorotnya. 

Halili mengatakan, diamnya Pemerintah dapat dibaca oleh kelompok intoleran sebagai ‘angin segar’ yang mendorong mereka untuk mengekspresikan intoleransi dan konservatisme keagamaan, bahkan dengan penggunaan kekerasan. 

"Dalam konteks itu, intoleransi akan mengalami penjalaran dan merusak kohesi sosial, modal sosial, serta stabilitas sosial dalam tata kebinekaan Indonesia," pungkasnya.

--- Guche Montero

Komentar