Breaking News

SOSOK Jenderal Hendropriyono: Haram Hukumnya Intelijen Berbohong 08 Jan 2021 12:33

Article image
Jenderal TNI (Purn.) Prof Dr Abdullah Mahmud Hendropriyono, ST, SH, MH. (Foto: )
Sebagai seorang prajurit satuan elite Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Jenderal Hendro memiliki naluri yang tajam di bidang intelijen.

MENJADI seorang intelijen tak hanya harus memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi. Akan tetapi, harus memiliki kejujuran.

Pendapat ini disampaikan tokoh intelijen dan militer Indonesia Jenderal TNI (Purn.) Prof Dr Abdullah Mahmud Hendropriyono, ST, SH, MH atau sering disebut A.M. Hendropriyono.

Menurut Hendro, demikian ia biasa disapa, haram hukumnya intelijen berbohong atau menyajikan data yang tidak benar.

"Yang pertama harus seorang yang jujur, tidak mengarang, tidak mencari popularitas, dan juga tentu IQ-nya harus memadai," kata Hendro.

Banyak prediksinya yang oleh beberapa kalangan disebut hanya “lagu lama” di kemudian hari akhirnya menjadi kenyataan.

Hendro pernah mewanti-wanti bahwa teroris internasional akan marak di dunia dan kita diminta untuk berhati-hati. Tidak lama berselang terjadi peristiwa 9/11 di New York, Amerika Serikat (AS). Dalam kejadian yang mengerikan dan menggemparkan dunia itu, para teroris Al-Qaeda menabrakkan pesawat ke arah dua menara kembar World Trade Center (WTC). Dua menara yang menjadi ikon kota bisnis AS itu luluh lantak, rata dengan tanah.

"Pada 10 Agustuts (2001) saya bilang teroris internasional akan marak di dunia dan kita supaya hati-hati, saya dibilang menyanyikan ‘lagu lama’. Tahu-tahu, (peristiwa) WTC meletus, sampai saya diundang ke Washington untuk bicara analisa itu, bagaimana kok bisa tahu dan sebagainya," ujar Hendropriyono.

Hendro menegaskan, intelijen adalah alat negara yang bergerak sesuai dengan instruksi user (pengguna) dalam hal ini negara.

Karena itu, seorang intelijen juga punya kemungkinan untuk memberikan data yang keliru. Akan tetapi, kekeliruan ini adalah kesalahan secara individu, dan bukan sebuah kebohongan. 

"Misalnya saya harus mempublikasikan temuan intelijen yang benar, bukan bohong. Ada pun kalau keliru, keliru dan bohong beda ya. Misalnya pada suatu waktu sebagai manusia biasa ada kekeliruan, itu bisa saja, tapi tidak bohong. Tapi kalau bohong barang tidak ada dibilang ada, dan itu yang tidak boleh," katanya.

Sebagai seorang prajurit satuan elite Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Jenderal Hendro memiliki naluri yang tajam di bidang intelijen. Kemampuan ini yang membawanya masuk dalam Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI dan akhirnya di Badan Intelijen Negara (BIN).

 

Diasah sejak muda

Keahlian Hendro dalam dunia intelijen sudah diasah sejak muda. Antara 1967-1968, ketika belum genap tiga bulan lulus dari Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Letnan Dua A.M. Hendropriyono, seperti dikutip dari Tirto.id, dikirim ke rimba raya Kalimantan. Bukan sekadar tugas survei, tapi tugas tempur menghadapi gerilyawan PGRS/Paraku yang kenal sebagai komunis Kalimantan. Seperti pesan Komandan Pusat Pasukan Khusus Angkatan Darat (Puspassus AD) Brigadir Jenderal Widjojo Soedjono yang begitu diingatnya, “kalian pergi untuk belajar bertempur.” Itulah yang harus dilalui para perwira muda yang akan diberi latihan komando di korps baret merah.

Bukan sekali Hendro dikirim ke Kalimantan untuk PGRS/Paraku. “Tanggal 12 November 1972, dengan pangkat Kapten, saya tergabung lagi dalam satuan tugas 42 dibawah pimpinan Mayor Sintong Panjaitan ke Kalimantan Barat,” aku Hendro dalam bukunya, Operasi Sandi Yudha: Menumpas Gerakan Klandestin (2013: 93).

Pada 1973-1974 Hendro memburu dengan gemilang gerombolan PGRS/Paraku pimpinan Ah San. Ketika menyergap Ah San dan kawan-kawan, Hendro dan belasan anak buahnya hanya bermodal pisau lempar dan pistol yang macet. Aksinya ini dapat pujian dan namanya masuk koran Aneka Berita—yang masih ada hubungan dengan koran Angkatan Bersenjata.

Bukan cuma di Kalimantan, di Timor Timur pun Hendro hadir. “Hendropriyono sendiri berangkat [ke Timor Timur] pada akhir Agustus 1976,” tulis Ken Conboy dalam Kopassus: Inside Indonesia's Special Forces (2003: 267).

Dia ditugasi membuat persiapan masuk ke pedalaman Timor Timur. Kala itu dia mengajak dua bekas sersan dalam tentara kolonial Timor-Portugis (Tropaz), Fransisco Osorio Soarez dan Vidal Sarmento.

Sepanjang di baret merah, Hendro pernah menjadi komandan peleton, komandan kompi, dan komandan detasemen tempur. Orang macam Hendro seharusnya ada peluang untuk menjadi orang nomor satu di baret merah, namun itu semua tidak terjadi.

Pada akhir dekade 1980-an Hendro yang masih berpangat kolonel ditugaskan sebagai Komandan Korem 043/Garuda Hitam Lampung. Ini bukan kawasan sembarangan. Di daerah yang dulunya tujuan transmigrasi ini, pendatang dari bermacam latar belakang mencari hidup dan menetap.

Menurut Fenty Effendi dan Retno Kustiati dalam biografi Agum Gumelar, Agum Gumelar: Jenderal Bersenjata Nurani (2004), Lampung di masa itu dianggap “daerah pelarian bagi orang-orang garis keras yang berseberangan sikap dengan pemerintah. Di antaranya mereka yang terlibat peristiwa DI/TII”.

Di salah satu daerahnya, yang bernama Talangsari, pernah terjadi pertumpahan darah pada 7 Februari 1989. Dalam peristiwa tersebut, perwira TNI dan orang-orang Islam dari kelompok Warsidi terbunuh. Nama Hendropriyono pun selalu diingat dalam peristiwa yang terjadi di zaman Orde Baru sedang kuat-kuatnya itu.

Meski terjadi kekerasan aparat di daerahnya, Hendro tidak langsung dicopot dari posisi Danrem. Dia tetap di Lampung hingga 1991. Sampai kemudian orang baret merah lain, Kolonel Agum Gumelar, menggantikannya.

 

Pendidikan

Jenderal TNI (Purn.) Prof Dr Abdullah Mahmud Hendropriyono, S.T., S.H., M.H. atau sering disebut A.M. Hendropriyono (lahir di Yogyakarta,  7 Mei 1945). Hendro seperti dikutip dari Wikipedia adalah Kepala Badan Intelijen Negara pertama, ia dijuluki the master of intelligence karena menjadi "Profesor di bidang ilmu Filsafat Intelijen" pertama di dunia.

Ia juga pernah menjadi Menteri Transmigari dan Pemukiman Perambah Hutan dalam Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Reformasi Pembangunan (1998 – 1999). Ia menjadi Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dari 27 Agustus 2016 hingga 13 April 2018.

Selanjutnya ia melanjutkan pendidikan militer di Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang (lulus 1967), Australian Intelligence Course di Woodside (1971), United States Army Command and General Staff College di Fort Leavenworth, AS (1980), Sekolah Staf dan Komando ABRI (Sesko ABRI), yang lulus terbaik pada 1989 bidang akademik dan kertas karya perorangan dengan mendapat anugerah Wira Karya Nugraha.

Selanjutnya ia lulus Kursus Singkat Angkatan VI Lembaga Ketahanan Nasional (KSA VI Lemhannas). Keterampilan militer yang pernah diikutinya antara lain adalah Para-Komando, terjun tempur statik, terjun bebas militer (Military Free Fall) dan penembak mahir.

Selain pendidikan militer, Hendro juga menempuh berbagai gelar kesarjanaan di pendidikan umum. Hendro tercatat sebagai sarjana dalam bidang administrasi dari Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara (STIA-LAN), Sarjana Hukum dari Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM), Sarjana Ekonomi dari Inversitas Terbuka (UT) Jakarta, Sarjana Teknik Industri dari Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), Bandung.

Ia juga meraih gelar magister administrasi niaga dari University of the City of Manila, Filipina, mendapat gelar magister di bidang hukum dari STHM dan pada bulan Juli 2009 dan meraih gelar doktor filsafat di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dengan predikat cum laude.

Pada 7 Mei 2014, ia dikukuhkan sebagai guru besar di bidang ilmu Filsafat Intelijen dari Sekolah Tinggi Intelijen Negara. Ia menjadi satu-satunya dan pertama di dunia yang menjadi Guru Besar Intelijen.. Atas gelar ini, ia tercatat masuk dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Pengukuhan ini sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 2576f/A4.3/KP/2014.

 

Karier militer

Karier militer Hendropriyono diawali sebagai Komandan Peleton dengan pangkat Letda Infantri di Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

Ia kemudian menjadi Komandan Detasemen Tempur Para-Komando, Asisten Intelijen Komando Daerah Militer Jakarta Raya/Kodam Jaya (1986), Komandan Resor Militer 043/Garuda Hitam Lampung (1988-1991), Direktur Pengamanan VIP dan Objek Vital, Direktur Operasi Dalam Negeri Badan Intelijen Strategis (Bais) ABRI (199I-1993), Panglima Daerah Militer Jakarta Raya dan Komandan Kodiklat TNI AD.

Semasa menjabat sebagai Danrem 043/Garuda Hitam, Hendropriyono yang saat itu berpangkat Kolonel, berhasil mengeliminasi kelompok sipil Warsidi di kawasan Talangsari, Lampung. Kejadian tersebut kemudian dikenal dengan Peristiwa Talangsari 1989.

Berbagai operasi militer yang diikutinya adalah Gerakan Operasi Militer (GOM) VI, dua kali terlibat dalam Operasi Sapu Bersih III dan dua kali dalam Operasi Seroja di Timor Timur (sekarang bernama Timor Leste).

Berikut jenjang karier militer A.M. Hendropriyono:

  • 1968-1972 - Komandan Peleton Puspassus AD (Pusat Pasukan Khusus Angkatan Darat) di Magelang
  • 1972-1974 - Komandan Kompi Prayuda Kopassandha (Komando Pasukan Sandi Yudha)
  • 1981-1983 - Komandan Detasemen Tempur 13
  • 1983-1985 - Wakil Asisten Personel Kopasandha merangkap sebagai Wakil Asisten Operasi
  • 1985-1987 - Asisten Intelijen Kodam Jayakarta
  • 1987-1991 - Danrem 043/Garuda Hitam Lampung
  • 1991-1993 - Direktur D Badan Intelijen Strategis ABRI
  • 1993-1994 - Direktur A Badan Intelijen Strategis ABRI
  • 1993-1994 - Panglima Kodam Jayakarta
  • 1994-1996 - Komandan Kodiklat TNI AD

 

--- Simon Leya

Komentar