Breaking News

PENDIDIKAN JPPI: Pendidikan Seks Harus Masuk Kurikulum Sekolah 28 Feb 2017 21:16

Article image
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mendesak pendidikan seks masuk dalam kurikulum sekolah. (Foto: Ist)
Dalam Kurikulum 2013 lalu, pemerintah mengklaim pendidikan seks sudah dimasukkan dalam kurikulum tersebut, namun pemberlakuan kurikulum 2013 sudah kandas di tengah jalan.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co -- Pasca permintaan maaf oleh pihak penerbit dan penarikan buku dari peredaran, bukan berarti kasus konten buku porno di sekolah dianggap selesai. Kasus beredarnya buku 'Aku Berani Tidur Sendiri' adalah masalah penting yang harus dipertimbangkan dan perlu diambil tindakan yang tepat, supaya kasus serupa tidak terulang kembali. Jika tidak, pasti akan mudah terulang kembali dan akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Berdasarkan pantauan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), satu tahun terakhir ini ada banyak kasus serupa dan tidak ada tindakan tegas dari pemerintah. Tidak ada satu kasus pun yang diproses secara hukum. Kasus serupa juga terjadi di Jambi, Bali, Samarinda, Pasaman, Bogor, Tangerang Selatan, dan DKI Jakarta.

“Penyelesaian kasus selalu sama: penerbit meminta maaf lalu selesailah perkara. Tapi, apa yang terjadi kemudian? Kasus serupa kembali terjadi dan modus yang tak jauh berbeda. Karena tidak ingin terulang lagi, kasus ini harusnya jadi pelajaran bersama dan dicarikan jalan keluar yang terbaik,” kata Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI kepada IndonesiaSatu.co di Jakarta, Selasa (28/2/2017).

Dia menilai, konten porno di buku sekolah ini memang agak tarik-ulur dan belum jelas duduk perkaranya. Dalam beberapa kasus, definisi porno agak kabur. Ketika JPPI melakukan investigasi pada beberapa buku yang “diduga” bermuatan konten porno, ada beberapa kalangan yang mengatakan, termasuk kategori porno. Sementara sebagian yang lain mensinyalir bahwa ini tidak masuk kategori porno, tapi bagian dari pendidikan seks di sekolah.

Di luar perdebatan tersebut, lanjut Ubaid, ternyata memunculkan pertanyaan publik ihwal pendidikan seks di sekolah. “Ini penting untuk diperhatikan, sebab kasus pelecehan dan kekerasan seksual juga kerap terjadi di sekolah. Bahkan, pelakunya tidak jarang berasal dari lingkungan sekolah. Ini disebabkan karena lemahnya pengawasan dan juga ketidaktahuan si korban terhadap pengetahuan seksual,” katanya.

Karena itu, JPPI memandang penting bahwa pendidikan seks harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah.  Dalam Kurikulum 2013 lalu, pemerintah pernah mengklaim bahwa pendidikan seks sudah dimasukkan dalam kurikulum tersebut. Tapi, belum kelihatan secara pasti model tarawaran pendidikan seks di sekolah itu seperti apa. Apalagi, pemberlakuan kurikulum 2013 sudah kandas di tengah jalan.

“Ini menambah kegelisahan masyarakat soal model pendidikan seks di sekolah. Karena itu, JPPI menegaskan dan meminta pemerintah untuk merumuskan model pendidikan seks di sekolah dan memasukkan ke dalam kurikulum,” tegas Ubaid. 

Penegakaan Hukum

Selain itu, untuk memberikan efek jera terhadap pelaku penyebaran konten porno di sekolah, JPPI menedesak penegakan hukum. Pelaku dan siapapun yang terlibat harus dihukum. Karena itu, harus ada penyelidikan secara komprehensif mulai dari penulis, penerbit, distributor, dan pihak sekolah.

“Dari langkah ini, ada banyak hal yang akan ditemukan. Misalnya, dari sisi penulis, perlu ada penyelidikan lebih lanjut mengapa dia sampai menulis buku dengan konten seperti itu. Karena ketidaktahuan, atau kesengajaan, atau malah ada motif lain? Ini penting untuk diketahui oleh publik,” katanya.

Dari sisi penerbit, Ubaid mempertanyakan mengapa penerbit seakan tidak bertanggung jawab terhadap buku yang diterbitkan. Padahal, penerbit tidak boleh menutup mata terhadap buku yang diterbitkan. Sebab, sudah menjadi maklum, bahwa penerbit punya visi dan hanya akan menerbitkan buku-buku yang sejalan, jadi tidak menerbitkan semua jenis buku bacaan.

Karena itu, lanjut dia, menjadi salah dan tidak bisa diterima logika yang mengatakan penerbit tidak tahu-menahu tentang konten buku yang diterbitkan. Begitu pula dengan pihak sekolah, harus ada penyelidikan yang tuntas, apakah ada keterlibatan atau tidak.

“Ini bukan perkara main-main, yang cukup dengan minta maaf, tapi harus ada penegakan hukum supaya tidak gampang terulang kembali. Sebab, dalam aturan hukum sudah jelas, ancaman terhadap kasus ini diatur dalam Pasal 29 UU 44/2008 tentang pornografi yaitu pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta rupiah dan paling banyak Rp 6 miliar rupiah,” tegas dia.

Atas dasar itulah, JPPI menyerukan untuk mengganjar para pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dengan hukuman yang setimpal, serta mendesak pemerintah untuk memasukkan dan membenahi pendidikan seks di kurikulum sekolah.

--- Sandy Javia

Komentar