Breaking News

OPINI Perpanjangan Izin FPI dan Sikap Gamang Pemerintah 01 Dec 2019 13:29

Article image
Oleh: Petrus Selestinus*
Ini jelas tidak profesional dan pertanda Menteri Agama tidak serius menyelesaikan ancaman Radikalisme dan Intoeransi di negeri ini.

OPINI, IndonesiaSatu.co-- Perpanjangan izin Front Pembela Islam (FPI), siapa yang mau dikadali; pemerintah, FPI atau publik?

Demikian sentilan pertanyaan terhadap sikap Pemerintah yang masih gamang menghadapi tuntutan FPI, tidak seperti halnya ketika Pemerintah yang bersikap berani saat membubarkan Ormas Hizbur Tahrir Indonesia (HTI).

Janji mendalami visi dan misi FPI tentang penerapan Syariat Islam secara kaaffah di bawah naungan khilaafah Islaamiyyah, dan seterusnya, sebagai sikap gamang dan terlalu dicari-cari, karena sudah lima tahun visi dan misi FPI terdaftar di Kementerian dalam negeri (Kemendagri), namun tidak dilakukan pendalaman dan penindakan.

Melihat sepak terjang FPI yang intoleran selama lima belas tahun dengan menginisiasi dan melakukan tindakan anarkis (persekusi dan sweeping) terhadap kelompok minoritas sebagai tindakan yang menjadi tugas dan kewenangan Penegak Hukum, mestinya sikap Pemerintah tidak hanya sekedar tidak memperpanjang izin, melainkan langsung membubarkan FPI sesuai dengan tuntutan publik.

Sikap gamang Pemerintah terhadap FPI justru bertolak belakang dengan semangat pembentukan UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas yang lahir melalui Perppu Presiden Joko Widodo (Jokowi) Nomor 2 Tahun 2017, di mana terdapat kebutuhan mendesak untuk menjaga kehormatan dan kedaulatan negara yang ideologinya sedang terancam dan dirongrong oleh ideologi Khilafah.

Bom Waktu dan Karpet Merah Produk SBY

Jika kita mencermati catatan sejarah, eksistensi FPI mulai diterima pendaftarannya pada 20 Juni 2014 lalu, kemudian Badan Hukum HTI disahkan pada 2 Juli 2014 dan sebelumnya UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas dicabut dan dibentuk UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Ormas pada 22 Juli 2013, semuanya berlangsung menjelang akhir masa bakti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden pada Oktober 2014.

Presiden SBY harus dianggap telah menanam bom waktu dan memberikan 'karpet merah' bagi ormas-ormas yang memperjuangkan Khilafah sebelum mengakhiri masa jabatannya.

Sejumlah pasal di dalam UU Nomot 17 Tahun 2013 Tentang Ormas, membuat Negara tidak berdaya ketika hendak menindak ormas radikal dan intoleran yang memperjuangkan Khilafah. Karena itu, Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah pasal-pasal 'nakal' dari UU Nomot 17 Tahun 2013 tersebut.

Negara Gamang Menghadapi FPI

Berkaca pada carut-marutnya landasan yudiris tentang Ormas, maka visi dan misi FPI dengan mudah diterima pendaftarannya oleh Kemendagri era Gamawan Fauzi, pada 20 Juni 2014. Padahal, visi dan misi FPI jelas bertentangan dengan Pancasila, namun dibiarkan berkembang selama bertahun-tahun dengan aksi-aksi anarkisnya tanpa penindakan.

Sejak tahun 2017, seiring dengan bubarnya HTI, resistensi berbagai pihak menuntut agar FPI dibubarkan terus menggema.

Realitas dan tuntutan publik ini mestinya menjadi referensi bagi Fachrul Razi untuk tidak merekomendasikan perpanjangan izin bagi FPI. Fachrul Razi justru tergoda dengan janji FPI yang hendak mengubah visi dan misinya dengan dalil akan setia kepada Pancasila dan NKRI melalui Surat Pernyataan.

Pertanyaan koni, siapa yang sedang dikadali? Pemerintah, FPI, atau publik?

Sebagai Menteri Agama (Menag) mestinya Fachrul Razi tahu bahwa mengubah ideologi sebuah ormas tidaklah mudah dan tidak mungkin hanya dengan Surat Pernyataan di atas meterai Rp. 6000 tanpa sosialisasi.

Ideologi FPI tidak serta-merta lenyap dalam sekejap, lalu tumbuh rasa kesetiaan kepada Pancasila, apalagi mengubahnya-pun pasti lewat Keputusan Forum Tertinggi Pengambilan Keputusan, entah muktamar (bukan Surat Pernyataan), sesuai kaidah di internal FPI.

Oleh karena itu, sangat disayangkan sikap Menag Fachrul Razi yang mudah dikibuli atau mengibuli FPI hanya dengan Surat Pernyataan di atas meterai, izin FPI bisa diperpanjang.

Ini jelas tidak profesional dan pertanda Fachrul Razi dari lubuk hati yang paling dalam tidak serius menyelesaikan ancaman Radikalisme dan Intoeransi di negeri ini.

*Penulis adalah Advokat PERADI dan Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Pancasila.

Komentar