Breaking News

HUKUM Soroti Penyidik TNI dalam RUU KKS, Koalisi Masyarakat Sipil: Ancam Demokrasi dan Negara Hukum 05 Oct 2025 13:33

Article image
Massa memegang poster menolak RUU TNI dalam aksi di depan pintu gerbang Pancasila, Gedung DPR, Jakarta pada 20 Maret 2025 lalu. (Foto: Antara)
pelibatan TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber, justru akan semakin mengancam hak asasi manusia dan negara hukum.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Pemerintah melalui Kementerian Hukum, telah menyelesaikan proses penyusunan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS), untuk diajukan ke DPR, sebagai prioritas legislasi 2026.

Meskipun ada perubahan yang signifikan dari naskah RUU yang sempat dibahas pada 2019 lalu, maupun dokumen RUU yang beredar pada saat awal proses penyusunan (2024), namun substansi materi RUU yang disusun oleh pemerintah ini, masih menunjukkan sejumlah permasalahan yang mengancam demokrasi dan negara hukum.

Demikian sorotan diutarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil, dalam keterangan kepada media ini, Sabtu (4/10/2025). 

Koalisi menilai, dalam hal perumusan tujuan keamanan dan ketahanan siber, RUU KKS masih terlalu menekankan pendekatan state centric dengan mengedepankan pelindungan kepentingan nasional. 

Justru dalam rumusan tujuan nihil aspek pelindungan individu, padahal sebuah legislasi keamanan siber yang baik, haruslah bertujuan untuk melindungi keamanan perangkat (device), jaringan (network), dan individu, sebagai aplikasi dari pendekatan human centric.

Oleh karena, setiap ancaman dan serangan siber yang terjadi, pada akhirnya akan berdampak pada individu warga negara sebagai korbannya. 

Lebih jauh, rancangan legislasi ini juga masih mencampuradukkan antara kebijakan keamanan siber dan kejahatan siber, dengan munculnya sejumlah tindak pidana baru sebagaimana diatur Pasal 58, 59, dan 60, dengan ancaman pidana dalam Pasal 61, 62, 63, dan 64. 

Padahal, legislasi keamanan siber seharusnya semata-mata menggambarkan pengimplementasian pendekatan teknis guna mengamankan suatu sistem komputer dari serangan dan kegagalan sistem. 

Sedangkan prinsip utama dari kejahatan siber adalah mengriminalisasi tindakan pengaksesan secara tidak sah ke sistem komputer dengan maksud kriminal tertentu, untuk akhirnya mencegah kerusakan atau perubahan sistem dan data di dalam sistem komputer tersebut.

Oleh sebab itu, dikarenakan tingkat kompleksitas dari permasalahan yang timbul dalam keamanan dan kejahatan siber, mensyaratkan keduanya untuk diatur dalam dua legislasi yang terpisah. 

Lebih mengerikan lagi, RUU ini memperkenalkan "makar di ruang siber", sebagaimana diatur Pasal 61 ayat (2) huruf b, dengan ancaman pidana penjara sampai dengan 20 tahun penjara (15 tahun ditambah 1/3), ketika serangan siber dianggap mengancam kedaulatan negara dan/atau pertahanan dan keamanan negara.

Ancaman terhadap demokrasi dan negara hukum dari RUU ini semakin nyata dengan diakomodasinya TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) huruf d. 

Rumusan ini jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara, tidak memiliki tugas dan fungsi sebagai penegak hukum. 

Perumusan pasal ini kian menunjukkan semakin besarnya intervensi militer dalam kehidupan sipil, yang kian mencederai prinsip civilian supremacy dalam sistem hukum negara demokratis, di mana proses penegakan hukum pidana merupakan ranah kekuasaan sipil, bukan militer. 

Menurut Koalisi, keterlibatan militer dalam proses penyidikan perkara pidana, termasuk pidana keamanan dan ketahanan siber, tidak hanya bertentangan dengan konstitusi dan UU TNI, tetapi juga mengancam kebebasan sipil dan demokrasi.

Perumusan pasal di atas menjadi indikasi semakin menguatnya upaya militerisasi ruang siber, yang langkah-langkah sistematisnya terlihat semenjak revisi UU TNI, dengan penambahan tugas operasi militer selain perang, yang berkaitan dengan penanganan ancaman pertahanan siber.

Penambahan tugas ini menjadi problematis dengan kondisi ketidakjelasan mengenai gradasi ancaman. 

Ketidakjelasan ini akan memberikan ruang bagi militer untuk terlibat dalam semua tingkatan penanganan ancaman keamanan siber, tidak terbatas pada aspek yang berkaitan dengan ancaman perang siber (cyber conflict).

Selain itu, pertahanan siber (cyber defense) yang menjadi tugas dari TNI, fokus dan lingkupnya semestinya lebih menekankan pada tindakan defensif yang diambil untuk menghancurkan, meniadakan, atau mengurangi keefektifan ancaman siber terhadap pasukan dan aset (active cyber defense), atau sebaliknya dengan tindakan yang diambil untuk meminimalkan keefektifan ancaman siber terhadap pasukan dan aset (passive cyber defense).

Selain itu, besarnya resiko (abuse of power) dalam penyidikan tindak pidana keamanan dan ketahanan siber, juga belum disertai dengan mekanisme akuntabilitas yang memadai. Mengingat sampai dengan saat ini belum dilakukan pembaruan terhadap UU Nomor 31/1997 tentang Peradilan Militer. Akibatnya, setiap pelanggaran pidana, baik pidana militer maupun pidana umum, termasuk pidana keamanan dan ketahanan siber, yang dilakukan oleh anggota TNI, penuntutannya harus melalui peradilan militer. 

Oleh karenanya, pelibatan TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber, justru akan semakin mengancam hak asasi manusia dan negara hukum.

Adapun elemen Koalisi Masyarakat Sipil yakni Raksha Initiatives, Centra Initiative, Imparsial dan De Jure. 

Sementara para penanggung jawab dan narahubung yakni Wahyudi Djafar (Raksha Initiatives), AlAraf (Centra Initiative), Ardimanto Adiputra (Imparsial), dan Bhatara Ibnu Reza (De Jure). 

--- Guche Montero

Komentar