HUKUM PADMA Indonesia Kecam Kelambanan dan Dugaan Pelanggaran Prosedur Polri Dalam Penyelidikan Kasus Kematian Aktivis Vian Ruma 07 Oct 2025 12:19

"Kami mendesak Kapolri untuk tidak membiarkan kasus ini berakhir sebagai cold case atau disimpulkan tanpa dasar ilmiah yang kuat. Kebenaran sejati harus terungkap! Keadilan bagi korban harus terwujud," tegas Greg.
JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Sudah lebih dari sebulan sejak kematian tragis Vian Ruma, pada 5 September 2025 lalu, seorang guru dan pegiat lingkungan di Nagekeo.
Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia, menyatakan kecaman keras atas kelambanan, ketidaktransparanan, dan dugaan praktik tidak profesional oleh Polres Nagekeo dalam penanganan kasus tersebut.
Direktur Advokasi PADMA Indonesia, Greg Retas Daeng, dalam keterangan resmi kepada media ini, Selasa (7/10/2025), mengatakan bahwa analisis mendalam terhadap fakta yang disampaikan keluarga, menguatkan dugaan bahwa almarhum adalah korban pembunuhan, dan skenario bunuh diri yang mencuat adalah upaya penghilangan jejak.
"Ketiadaan kejelasan dari aparat penegak hukum pasca temuan jenazah, adalah bentuk pelanggaran terhadap hak-hak korban dan keluarga untuk memperoleh keadilan dan kepastian hukum," kata Greg.
Analisis Yuridis dan Pelanggaran Prosedur
PADMA Indonesia mencatat, beberapa dugaan pelanggaran terhadap standar minimum penyidikan yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dan peraturan internal Kepolisian yakni:
Pertama, pelanggaran prinsip transparansi dan akuntabilitas (Pasal108 ayat (2) KUHAP).
KUHAP mewajibkan penyidik memberikan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) kepada pihak pelapor atau keluarga.
"Namun hingga kini, ketiadaan informasi yang transparan mengenai hasil pemeriksaan kritis (seperti Visum et Repertum, sidik jari, dan forensik digital) menunjukkan adanya pelanggaran terhadap hak keluarga untuk mengetahui kemajuan penanganan perkara," kata Greg.
Kedua, kelalaian dan dugaan maladministrasi penanganan TKP (Perkapolri Nomor 6 Tahun2019).
Menurut Greg, temuan keluarga mengenai kejanggalan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)-- mulai dari kondisi jenazah yang tidak lazim untuk korban gantung diri hingga posisi sepeda motor, menunjukkan adanya dugaan kelalaian dalam pengamanan dan olah TKP awal.
Standar Operasional Prosedur (SOP) penyidikan, khususnya Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, menekankan pentingnya pengumpulan bukti secara saintifik, termasuk jejak digital dan sidik jari.
"Kelambanan dalam langkah-langkah ini dapat menyebabkan hilangnya bukti krusial," sorot Greg.
Ketiga, dugaan pelanggaran Kode Etik dan HAM (Perkapolri Nomor 14 Tahun2011).
Upaya oknum Polres Nagekeo yang mencoba menekan keluarga untuk menandatangani Surat Pernyataan penolakan otopsi dan penghentian proses hukum, sehari setelah pemakaman, merupakan tindakan tercela yang melanggar Kode Etik Profesi Polri (Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011) dan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dalam penyidikan.
"Tindakan ini secara nyata mencederai hak keluarga untuk mencari kebenaran materiil dan berpotensi menjadi upaya menghalang-halangi keadilan (obstruction of justice)," tegas Greg.
Tuntutan Tegas PADMA Indonesia
Berdasarkan analisis yuridis dan fakta yang ada, PADMA Indonesia MENUNTUT DENGAN TEGAS kepada Kapolri untuk:
Pertama, tindakan Forensik dan Prosedural Kritis.
Segera publikasikan dan validasi bukti: memerintahkan Polres Nagekeo untuk segera dan transparan menyampaikan Hasil Visum et Repertum serta hasil analisis dari sidik jari di TKP, jenazah, dan barang bukti.
Audit Digital Forensik: meminta bantuan tim ahli dari Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri untuk melakukan Audit Digital Forensik pada ponsel almarhum guna mengungkap jejak pergerakan dan komunikasi terakhir yang menjadi kunci pengungkapan alibi.
Tingkatkan Status Perkara: Segera meningkatkan status penanganan perkara dari penyelidikan biasa menjadi penyelidikan dugaan tindak pidana pembunuhan (Pasal338 KUHP) atau tindakan pidana lain yang relevan, mengingat kejanggalan yang ada.
Kedua, Tindakan Etik dan Pengawasan.
Usut Tuntas Oknum Pelaku Tekanan: memerintahkan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri untuk mengusut dan menindak tegas oknum aparat Polres Nagekeo yang mencoba menekan keluarga. Ini adalah keharusan untuk menegakkan integritas Polri.
Supervisi dan Take Over Kasus: mendesak Kapolda NTT dan Kapolri untuk mengambil alih (atensi) dan melakukan supervisi ketat terhadap penanganan kasus ini, bahkan mempertimbangkan opsi pengambilalihan kasus oleh Polda NTT jika Polres Nagekeo terbukti gagal dalam melaksanakan tugasnya secara profesional.
Mencopot Kapolres Nagekeo dan jajarannya yang terkait dari Jabatannya, apabila dalam tempo 30 hari sejak rilis ini diterbitkan, tidak mampu mengungkapkan fakta kejanggalan kematian Vian Ruma dan menaikan statusnya ke tahapan penyidikan.
"Keadilan bagi Vian Ruma adalah ujian bagi profesionalisme dan komitmen Polri dalam menjunjung tinggi KUHAP, Perkap, dan HAM. Kami mendesak Kapolri untuk tidak membiarkan kasus ini berakhir sebagai cold case atau disimpulkan tanpa dasar ilmiah yang kuat.Kebenaran sejati harus terungkap! Keadilan bagi korban harus terwujud," tegas Greg Retas Daeng, yang berkomitmen bahwa PADMA Indonesia bersama keluarga almarhum dan seluruh jaringan aktivis akan terus mengawal kasus tersebut hingga tuntas.
--- Guche Montero
Komentar