OPINI Mengapa Tulisan Steph Tupeng Witin Berbeda dari Fakta yang Disaksikan Para Wartawan dalam Jumpa Pers VDS di Mbay? 08 Dec 2025 22:31
Sebuah telaah tentang ketidaksinkronan narasi: Mengapa tulisan Steph Tupeng Witin berbeda dari fakta yang disaksikan para wartawan di Hotel Arend, Mbay.
Oleh : Anyo Subiasy*
TULISAN panjang Steph Tupeng Witin (STW) mengenai jumpa pers di Hotel Arend, Jl. Jhon Bey, Danga, berisi sarat dugaan sepihak yang dibungkus seolah-olah kebenaran absolut. Jumpa Pers tersebut diadakan oleh Valens Daki-Soo, yang bertajuk “Staf Khusus Komjen Pol (Purn) Drs. Gories Mere Tanggapi Tudingan “Mafia Waduk Lambo” dan Orang Kuat Jakarta”.
Dalam tulisan Steph Tupeng yang berjudul “Ketika Jumpa Pers Menjadi Ajang Caci Maki (Catatan Buat Gerombolan Mafia Nagekeo (6)” dinyatakan bahwa jumpa pers seharusnya menjadi ruang klarifikasi, tapi malah berubah menjadi ajang caci maki terhadap dirinya sendiri (sebagai imam Katolik dan wartawan yang menulis investigasi mafia Waduk Lambo).
Namun ketika diperiksa, dalam tulisan Steph terdapat tumpukan diksi hiperbolik, generalisasi liar, serta serangan personal yang dibangun bukan dari kenyataan yang terjadi, tetapi dari informan yang keliru, atau sengaja dikelirukan.
STW membangun gambaran seolah jumpa pers itu “ajang caci maki”, “panggung mafia”, dan “ritual kebiadaban”. Faktanya sederhana: Saya hadir langsung dalam jumpa pers tersebut. Dan apa yang saya lihat tidak ada sedikit pun kemiripan dengan narasi dramatis STW.
Hampir seluruh wartawan hadir, berdiskusi terbuka, mengajukan pertanyaan kritis, dan menerima klarifikasi yang selama ini mereka cari, mulai dari dugaan hubungan GM–Tegu, ketidakpuasan atas penanganan laporan tertentu, hingga isu pencatutan nama Gories Mere dalam bisnis-bisnis ilegal. Bahkan Patrisius Meo dari Vox NTT— yang selama ini mempertanyakan kedekatan GM–Tegu — mengatakan ia puas dengan penjelasan tersebut.
Pertanyaannya: Bagian mana yang disebut sebagai panggung makian? Karena yang saya lihat, justru proses klarifikasi berjalan sehat. Maka, ada tiga kemungkinan yang membuat tulisan STW begitu melenceng: informannya keliru, STW salah menafsir, atau keduanya memang berniat mengubah jumpa pers itu menjadi peluru politik untuk menyerang VDS dan GM. Jika benar demikian, publik justru berhak bertanya: siapa sebenarnya yang sedang memainkan peran mafia?
STW dengan enteng menyebut orang-orang tertentu sebagai “gerombolan mafia”, “begundal”, “preman kampung”, “komplotan busuk”, dan seterusnya. Namun sepanjang tulisan ratusan paragraf itu, tidak ada satu pun bukti hukum yang disertakan. Justru sebaliknya: Ia memfitnah, menyerang karakter orang, ia bebas melakukan serangan ad hominem dan menari di atas diksi-diksi garang seperti orang yang sedang mengalami deperesi hebat.
Apakah tulisan STW terakhir ini akibat dari rasa malu yang tak terkirakan, ketika VDS memberikan informasi terkait STW yang mana semua ‘sifatnya yang materialistis yang tidak selayaknya dimiliki oleh seorang imam? ‘nir etika’, ‘munafik’, ‘hipokrit’, dan ‘tidak tahu malu’, ‘Ternyata ada juga “ciptaan Tuhan seperti STW”.
Bahkan Sherif Goa, wartawan dari Sergap.id — yang juga hadir dalam jumpa pers, menyebut tulisan tulisan STW itu tidak etis, tidak berbasis data, dan tidak mencerminkan investigasi lapangan. Diksi Sherif yang keras adalah bagian dari respons terhadap pola penulisan STW sendiri yang penuh serangan personal yang membabi buta.
STW menuduh bahwa VDS menggelar jumpa pers sebagai “perpanjangan mafia” dan “staf khusus dari staf khusus”. STW menulis ejekan yang diulang-ulang seolah-olah STW adalah paling pintar, paling suci, dan paling benar.
VDS sesungguhnya hanya melakukan hal-hal yang lumrah dalam sebuah jumpa pers pada umumnya: mengundang para jurnalis, membuka forum secara resmi, memberikan uang transport sebagai praktik standar dalam dunia media, serta menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan wartawan.
Menariknya, setelah acara berakhir, para wartawan justru siap mempublikasikan klarifikasi GM. Artinya, isi jumpa pers dianggap kredibel oleh mereka yang hadir.
Lalu bagaimana bisa STW — yang tidak hadir — mengatakan kegiatan itu gagal?
VDS pun merasa heran: bagaimana mungkin analisis STW berkembang sedemikian jauh hingga menuduh VDS sebagai dalang jejaring mafia? Semua bentuk sanggahan baik jumpa pers maupun tulisan dianggap oleh STW sebagai bentuk pembelaan terhadap mafia. Publik dapat menilai pola pikir STW sesungguhnya sudah keluar dari maksud pencerahan dan pendidikan publik. Bahkan sebalikmya menjadi sumber masalah dan perpecahan di Nagekeo.
Dalam opininya, STW mengembangkan narasi besar bahwa ada “relasi gelap” antara Gories Mere (GM) dan Serfolus Tegu. Padahal dalam jumpa pers, hubungan itu dijelaskan secara terang: Hubungan keduanya dimulai tahun 2019, terkait stabilisasi sosial untuk proyek PSN Waduk Lambo. Tegu yang menjabat sebagai Kasat Intel Ngada dipandang mengerti budaya lokal Nagekeo. Berbagai tokoh yang mewakili suku termasuk dari kaum ibu, telah dimintai keterangan langsung di lapangan. Mereka tidak pernah melihat, mendengar atau mengalami perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh Serfolus selama bertugas. Publik dapat menyaksikan bahwa progress pengerjaan PSN Waduk Lambo berjalan baik dan hampir selesai.
Bahwa ada kekeliruan di lapangan, dinamika kebijakan, atau ketidakpuasan warga—itu hal yang wajar dalam proyek besar. Namun STW melompat langsung pada kesimpulan: MAFIA.
STW menuduh seolah-olah Tegu adalah dalang di balik hadirnya “tuan tanah palsu”, pencaplok lahan, dan sebagainya. Namun ia tidak pernah menjawab pertanyaan paling mendasar: Tunjukkan buktinya, dari mana data itu berasal?
Karena ia sendiri tidak pernah turun langsung ke titik kejadian, inilah ironi terbesar dalam tulisannya. Membangun opini dari informasi yang tidak akurat.
VDS dalam refleksinya sebagai awam menyampaikan sebuah analisis psikologis: bahwa STW tampaknya menikmati pola serangan verbal, semacam “sadisme opini” yang menempatkan dirinya pada posisi moral tertinggi sambil menyerang orang lain tanpa rem.
Ini bukan diagnosa, bukan vonis medis — tetapi hasil observasi beberapa penulis yang masih waras terhadap pola penulisan STW selama ini.
Tulisan-tulisannya selalu mencari selumbar pada mata orang lain, tanpa melihat balok yang ada pada dirinya sendiri. Di sini, peringatan Alkitab menjadi sangat relevan:
“Mengapa engkau melihat selumbar di mata saudaramu, tetapi balok di matamu sendiri tidak engkau ketahui?” (Lukas 6:41–42).
Jika STW ingin mengkritik kebijakan publik, tentu dipersilakan. Tetapi ketika kritik menjelma menjadi dendam, fitnah, dan distorsi yang mematikan karakter orang lain, maka yang lahir bukan kebenaran — melainkan kerusakan publik.
Tulisan STW tampaknya berusaha menampilkan dirinya sebagai pembela rakyat kecil dan musuh para mafia. Namun, metode yang digunakan justru memperlihatkan pola yang bertolak belakang: tuduhan tanpa bukti, penyajian informasi secara sepihak, distorsi atas fakta, glorifikasi diri, dan demonisasi terhadap pihak yang dianggap lawan.
Karena itu, wajar apabila muncul pertanyaan: apakah ini benar-benar sebuah perjuangan, atau sekadar kedengkian yang sedang mencari panggung?
Jumpa pers di Hotel Arend bukanlah panggung mafia, bukan pesta cacian, bukan arena kriminal—seperti yang ia gambarkan. Justru di situlah klarifikasi diberikan, wartawan bertanya bebas, dan publik memperoleh penjelasan yang tidak pernah STW berikan dalam tulisannya.
Jika STW ingin dihormati sebagai jurnalis senior, maka dasar pertamanya adalah hormatilah kebenaran. Karena tanpa kebenaran, semua tulisan — betapapun puitis dan penuh diksi garang— tidak lebih dari retorika kosong yang memecah-belah. ***
*)Penulis adalah wartawan di Mbay, Nagekeo, NTT.
Komentar