Breaking News

HUKUM Tim Hukum dan Advokasi MRP-MRPB: Penundaan Persidangan MK Dapat Mencederai Rasa Keadilan Orang Asli Papua 05 Jul 2021 11:33

Article image
Ketua MRP dan Ketua MRPB saat mendaftar Gugatan terkait SKLN di MK. (Foto: Dok. Tim Hukum dan Advokasi)
"Penundaan persidangan tanpa batas ini, dapat dinilai pihak Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi telah melakukan perbuatan abuse of power yang dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum bagi OAP," nilai Tim Hukum.

 JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Tim Hukum dan Advokasi Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) yang terdiri dari: Saor Siagian, S.H., M.H.; Imam Hidayat, S.H., M.H.; Ir. Esterina D. Ruru, S.H.; Dr. S. Roy Rening, S.H., M.H.; Rita Serena Kolibonso, S.H., LL.M; Lamria Siagian, S.H., M.H.; Ecoline Situmorang, S.H., M.H.; Alvon Kurnia Palma, S.H., M.H.; dan Haris Azhar, S.H., M.A; dalam hal ini mewakili Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat sebagai principal dalam perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) melawan Presiden Republik Indonesia, telah mendaftarkan permohonan SKLN kepada Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 17 Juni 2021," demikian keterangan rilis yang diterima media ini, Senin (5/7/2021).

Sengketa Kewenangan

Permohonan SKLN ini berkaitan dengan adanya Sengketa Kewenangan Lembaga Negara atas usulan Perubahan Kedua UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua tanpa melibatkan sama sekali rakyat Provinsi Papua melalui MRP/MRPB dan DPRP/DPRPB.

Adapun usulan materi Perubahan Kedua RUU Otsus Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang berkaitan dengan 3 pasal, yakni Pasal 1 huruf a (Provinsi Papua terdiri dari provinsi-provinsi), pasal 34 (Dana Otsus) dan pasal 76 (Pemekaran wilayah).

RUU perubahan yang diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR adalah usulan murni dari pemerintah pusat bukan aspirasi rakyat Papua yang disampaikan melalui
MRP/MRPB.

Padahal, kewenangan khusus melalui desentralisasi asimetris yang diberikan oleh UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua kepada MRP untuk mewakli Rakyat Papua (OAP) dalam rangka
perubahan UU Otsus.

"Tanpa melibatkan Rakyat Papua dalam Perubahan UU Otsus dapat dicurigai adanya penghianatan/pengingkaran terhadap jiwa dan semangat UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua," demikian bunyi rilis.

Penundaan Sidang MK Mencederai Rasa Keadilan bagi OAP

Tim Hukum dan Advokasi membeberkan bahwa pada tanggal 29 Juni 2021, Panitera Mahkamah Konstitusi dalam perkara SKLN ini, telah mengirim relas panggilan Nomor: 1.1/SKLN/PAN.MK/PS/6/2021 guna menghadiri sidang
pendahuluan secara daring (online) yang rencananya akan diadakan pada hari Senin, tanggal 5 Juli 2021.

Dalam relas panggilan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengingatkan menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19, sehingga para pihak dalam menghadiri persidangan melalui daring (online) tanpa harus datang ke Mahkamah Konstitusi.

Akan tetapi, pada tanggal 3 Juli 2021, kami menerima surat dari Mahkamah Nomor: 2.1/SKLN/PAN.MK/PS/7/2021 perihal penundaan sidang.

Dalam Surat Penundaan Sidang dalam permohonan ini, ditunda sampai dengan waktu yang ditentukan kemudian, karena adanya kebijakan Mahkamah, terkait upaya pencegahan dan penanganan penyebaran virus Covid-19 di
lingkungan kantor Mahkamah Konstitusi.

Diterangkan, Tim Hukum, bisa memahami dan menyatakan prihatin atas situasi Covid-19 yang sedang melanda bangsa dan negara kita hari ini.

Tentunya, penundaan sidang pendahuluan atas SKLN ini berkaitan dengan tindak lanjut Instruksi Presiden (Inpres) yang dituangkan melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. 

Adapun Pemberlakuan PPKM untuk wilayah Jawa dan Bali berlaku mulai tanggal 3 Juli 2021 sampai dengan 20 Juli 2021.

Namun sangat disayangkan, penundaan persidangan dengan tanpa adanya kepastian waktu sidang dalam permohonan SKLN menciptakan ketidakpastian hukum bagi principal (MRP/MRPB, red) dalam memperjuangkan hak-hak konsitusionalnya untuk mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

"Penundaan sidang pendahuluan dalam surat MK tersebut, dengan frasa “ditunda sampai dengan waktu yang ditentukan kemudian”, memberi makna, waktu persidangan menjadi tidak memiliki batasan waktu yang jelas dan sangat merugikan hak-hak konstitusional OAP melalui MRP/MRPB untuk segera mendapatkan kepastian dan keadilan," demikian pernyataan Tim Hukum.

Di lain pihak, Pansus DPR RI RUU Perubahan Kedua UU Otonomi Khusus Papua tetap berjalan di tengah pandemi Covid-19 yang melanda Ibukota Jakarta hari ini.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bangsa kita sedang mempertontonkan ketidak-adilan dan diskriminasi bagi rakyat Provinsi Papua (Orang Asli Papua, red) dalam memperoleh hak-hak konstitusionalnya melalui lembaga MK sebagai penjaga konstitusi dan merupakan benteng terakhir keadilan bagi pencari keadilan (the last fortress).

Penundaan Persidangan Pansus RUU Otsus

Oleh karena itu, Tim Hukum meminta agar Panitera Mahkamah Konstitusi, segera menetapkan persidangan pendahuluan atas permohonan SKLN.

Alasannya, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk wilayah Jawa dan Bali yang berlaku mulai tanggal 3 Juli 2021 sampai dengan 20 Juli 2021 bukanlah “Libur Nasional”.

Sementara Kebijakan PPKM darurat ini mengharapkan
masyarakat termasuk lembaga negara tetap Bekerja dari Rumah atau Work From Home (WFH).

Tim Hukum tetap berpandangan bahwa semboyan lembaga pengadilan harus menegakkan keadilan meski langit runtuh (Fiat Justitia ruat caelum) masih sangat relevan walaupun dalam situasi pandemik Covid-19 saat ini.

"Penundaan persidangan tanpa batas ini, dapat dinilai pihak Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi telah melakukan perbuatan abuse of power yang dapat menimbulkan ketidak-pastian dan ketidak-adilan hukum bagi Orang Asli Papua," nilai Tim Hukum.

"Tim Hukum juga ingin menegaskan bahwa penundaan atas persidangan yang tidak diiringi dengan penundaan pembahasan revisi UU Otsus di Pansus DPR RI adalah penghianatan atas nama keadilan dan mencederai semangat lembaga peradilan yang impartial dan independen bagi semua pihak," tegas Tim Hukum dalam rilis yang ditandatangani Saor Siagian, S.H.,MH selaku Ketua dan Ecoline Situmorang S.H.,MH selaku Sekretaris.

--- Guche Montero

Komentar