Breaking News

POLITIK Ujian Kepemimpinan Sipil dan Militer, Mana yang Lebih Demokratis 03 Sep 2023 20:31

Article image
Diskusi akhir pekan “Titik Temu” kembali diselenggarakan di “RKN Radio” yang mengambil tema “Menguji Kepemimpinan Sipil dan Militer” pada Sabtu (2/9/2023). (Foto: Ist)
Harus dikaji lebih dalam bagaimana pandangan keterlibatan militer dalam urusan sipil karena dikhawatirkan militer akan menguasai politik yang harusnya dipegang oleh orang sipil sehingga sipil yang harus mengatur militer karena memegang senjata.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Diskusi akhir pekan “Titik Temu” kembali diselenggarakan di “RKN Radio” yang mengambil tema “Menguji Kepemimpinan Sipil dan Militer” pada Sabtu (2/9/2023).

Diskusi dipandu oleh Sebastian Salang dengan menghadirkan tiga narasumber yaitu Ray Rangkuti, Direktur Lima, Ardi Manto, Wakil Direktur Imprsial dan Arif Susanto dari Exposit Strategic.

Selain dalam rangka untuk memperingati Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional yang diperingati setiap tanggal 30 Agustus, tema acara ini juga sangat relevan dengan situasi politik akhir-akhir ini tentang pemilihan presiden dan wakil presiden. Kita perlu menguji kepemimpinan sipil dan militer menjelang pilpres 2024, mana di antaranya yang lebih demokratis.

Seperti diketahui, isu sipil militer kembali mencuat setelah mengerucut tiga calon presiden yang berasal dari kalangan sipil dan calon yang berlatar belakang militer.

Ganjar dan Anis adalah capres dari kalangan sipil sedangkan Prabowo mewakili kalangan Militer. Selain pilpres isu yang menarik adalah beberapa peristiwa yang akhir-akhir ini viral, salah satunya tentang penculikan warga sipil oleh oknum militer.

Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 30 Agustus 2021 disuarakan sebagai bentuk perlawanan terhadap tindak kejahatan penghilangan orang secara paksa yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Hari peringatan ini diadakan untuk mengingat para aktivis atau korban yang menjadi target penghilangan paksa karena suatu konflik.

"Kasus penculikan yang dilakukan oleh oknum militer terhadap warga yang berujung tewasnya warga sipil sangat mengkhawatirkan kembalinya  praktek-praktek militeristik di ranah sipil," kata Ray Rangkuti.

Ray menambahkan bahwa kesadaran untuk kembali ke barak sesuai UU 34 tahun 2004 mulai meluntur dengan diperluasnya keterlibatan militer di ranah sipil dengan alasan sipil yang dianggap lemah.

"Harus dikaji lebih dalam bagaimana pandangan keterlibatan militer dalam urusan sipil karena dikhawatirkan militer akan menguasai politik yang harusnya dipegang oleh orang sipil sehingga sipil yang harus mengatur militer karena memegang senjata," ungkapnya.

Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto menjelaskan bahwa aktivis perlu menekan pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi internasional tentang penghilangan paksa.

"Agar sejarah kelam bangsa kita jangan sampai terulang, yakni membungkam tokoh-tokoh kritis seperti Wiji Tukul, yang sampai saat ini belum diketahui keberadaanya," ungkap Ardi.

"Ulang tahun aktivis Wuji Tukul yang diperingati beberapa waktu lalu mengingatkan publik terhadap praktik-praktik militeristik terhadap sipil. Ketakutan itu menjadi pengingat para calon presiden untuk menjaga netralitas dan profesionalisme militer," lanjut Ardi.

Ardi menambahkan, secara institusi, TNI (militer) sudah memutuskan dengan penuh kesadaran untuk menarik diri kembali ke barak. Namun masih ada agenda penting karena kondisi keamanan di Indonesia termasuk di tahun politik yang berpotensi ancaman keamanan, bisa mengundang masuknya militer ke sipil.

"Yang jadi masalah adalah ketika sipilnya menarik-narik militer untuk masuk ke politik praktis demi kepentingan politik atau partai politiknya," ungkap Ardi.

Senada dengan hal ini, Arif Susanto dari Exposit Strategic mengungkapkan bahwa dalam situasi darurat, militer memiliki jalan pintas masuk ke sipil. Meski tujuannya baik, jika terjadi hal ini bisa menjadikan kemunduran demokrasi di Indonesia.

"Prabowo misalnya, lekat sekali dengan masa kelam terhadap dugaan penculikan aktivis dan kekerasan di era orde baru, track record negatif ini harus dibuka selebar-lebarnya, agar publik tahu, rekam jejak bacapres lainnya juga harus disampaikan ke publik. Karena rekam jejak ini yang bisa kita jadikan dasar untuk menguji apakah dalam pemerintahan nanti capres ini akan menggunakan atau memasukkan peran militer dalam politik praktis," ungkap Arif. ***

--- F. Hardiman

Komentar