Breaking News

REFLEKSI Berpolitik dengan Nilai, Bukan (Hanya) Angka 09 Feb 2019 10:44

Article image
Kita bebas memilih siapapun yang kita yakini mampu menjadi jembatan aspirasi kita.
Berpolitiklah dengan gembira, karena kalau kita anggap Pemilu sebagai 'pesta demokrasi', tidak sepatutnya pesta itu dicemari oleh praktik-praktik politik kotor.

Oleh Valens Daki-Soo

 

SUNGGUH, saya menikmati setiap perjumpaan dengan para kerabat di sejumlah titik tatap muka di Flores, Nusa Bunga tercinta. Ini bukan sekadar semata kampanye, tetapi terutama soal semangat saling berbagi, "mendengarkan dan didengarkan", berkisah tentang perikehidupan di tanah warisan leluhur agung ini.

Lebih daripada sekadar upaya meyakinkan publik untuk mencoblos nama saya pada Pileg 2019 ini, saya justru lebih menyukuri dan menikmati setiap perjumpaan sebagai rahmat. Mengapa? Karena saya menerima banyak dari sana: masukan, keluhan, pandangan, jeritan batin, harapan, impian, tuntutan, dukungan, kekuatan.

Pemilu, termasuk Pemilihan Legislatif, tidak cukup hanya dimengerti sebagai urusan coblos-mencoblos. Dengan nalar jernih dan nurani yang bening kita memahami Pemilu juga serentak sebagai ajang konsientisasi atau penyadaran, juga ujian terhadap kematangan pribadi, kebesaran jiwa dan keluasan pikiran.

Dalam konteks ini, demokrasi yang matang ditandai oleh, antara lain, kemampuan berpikir dengan cerdas, kesanggupan menimbang dengan ikhlas, kerelaan untuk menerima perbedaan, ketulusan untuk menerima apapun hasil pemilihan. Oleh karenanya, demokrasi tidak cukup dibicarakan dalam bingkai persaingan ataupun pertarungan, melainkan seyogianya dirayakan sebagai kesempatan untuk meluhurkan nilai-nilai kehidupan.

Setiap kita hendaknya dengan bebas dan gembira memilih siapapun yang kita yakini mampu menjadi "jembatan aspirasi", yang memperjuangkan kepentingan umum atau kebaikan bersama (bonum commune) sebagai orientasi politiknya. Dalam kaitan ini pula, kita tak akan mudah tergiur oleh "pendekatan uang", tidak murah untuk silau dengan angka (rupiah). Kita memilih karena keyakinan kita pada nilai-nilai yang diperjuangkan bersama.

Berpolitiklah dengan gembira, karena kalau kita anggap Pemilu sebagai 'pesta demokrasi', tidak sepatutnya pesta itu dicemari oleh praktik-praktik politik kotor. Juga tidak wajar bila dinodai oleh sikap saling membenci antar calon atau antar pendukung, fitnah, hoaks, dan tudingan-tudingan tanpa dasar. Acapkali kebencian atau suasana "berperang" justru lebih dirasakan di antara para pendukung fanatik, padahal para calon mungkin biasa-biasa saja.

Sebutlah, sebagai contoh, Kabupaten Nagekeo 'menyumbang' lima (5) calon anggota DPR RI kali ini. Selain saya sendiri sebagai caleg nomor urut 2 dari PDI Perjuangan, ada pula Dipo Nusantara Pua Upa (nomor urut 1 PKB), Anwar Pua Geno (nomor urut 4 Golkar), Marlinda Linda Boleng (nomor urut 5 PDI Perjuangan), Frans Mado (nomor urut 6 Perindo).

Apakah kami bersaing dalam pentas ini? Ya, tentu saja. Bersaing memperebutkan suara dukungan, bersaing meraih kepercayaan rakyat. Namun, apakah kami saling memusuhi? Sama sekali tidak. Kami kontestan Pemilu, yang dikaderkan setiap partai untuk berjuang dengan jiwa ksatria, mengutamakan kebaikan bersama, menomorsatukan nilai-nilai kebangsaan, daripada sekadar kepentingan sempit pribadi, partai dan golongan.

Contoh lebih konket, saya dan Bung Anwar saling menyapa sebagai "Kaeari" (saudara). Begitu pula saya dan Bang Dipo sering saling kontak atau bersua di Jakarta. Dengan Ibu Marlinda Boleng kami kompak sebagai kader separtai, dengan Bung Frans Mado kami masih berkerabat sebagai "Eja", karena kakak kandungnya menikahi sepupu saya.

Dari segi kemampuan dan pengalaman, setiap calon boleh dinilai 'mumpuni' karena lolos dari proses seleksi yang tidak mudah, baik di internal partai maupun di KPU. Dari segi pengalaman, Pak Dipo adalah notaris atau praktisi hukum dan salah satu pengurus di Nahdlatul Ulama (NU). Pak Anwar pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berafiliasi di bawah Muhammadiyah, lalu menjadi politisi Golkar dengan jabatan terakhir Ketua DPRD NTT. Bu Marlinda adalah politisi perempuan Nagekeo yang menonjol dengan latar belakang keluarga politik (suaminya wirausahawan dan politisi pula). Pak Frans adalah salah satu orang muda yang sejak awal mendorong pemekaran Nagekeo dari Ngada dengan pikiran-pikiran bagus tentang kemajuan dan modernisasi.

Tentang saya sendiri, setelah bertahun-tahun bergerak di balik layar perpolitikan nasional (mantan Analis Direktorat "A" Badan Intelijen Strategis/Bais TNI, mantan Asisten Duta Besar Keliling RI dengan Tugas Khusus/Urusan Timor Timur FX Lopes da Cruz, mantan Staf Khusus Kepala Bakin/BIN Letjen TNI Arie J. Kumaat, mantan Staf Khusus Wakil KSAD Letjen TNI Kiki Syahnakri, mantan Staf Khusus di Satgas Bom dan Densus 88/Antiteror Polri), kini saya juga dipercayakan sebagai Tenaga Ahli Staf Khusus Presiden Bidang Intelijen & Keamanan Komjen Pol (Purn) Gories Mere. Untuk menjaga asap di dapur tetap mengepul, saya juga menjadi pebisnis lewat usaha di PT Veritas Dharma Satya (VDS Group).

Kita mendoakan agar Pemilu 2019 berlangsung dengan aman, tertib, lancar dan sukses. Kita berharap tidak ada kekacauan apalagi kerusuhan. 

Mengapa kita inginkan suasana yang serba baik dan kondusif bagi bangsa ini? Karena kita dipersatukan oleh rasa cinta yang sama kepada Indonesia kita.

Kita tetap bersatu-padu demi NKRI tercinta.

 

Penulis adalah politisi, caleg anggota DPR RI daerah pemilihan NTT 1 Nomor Urut 2 dari PDI Perjuangan

Komentar