Breaking News

OPINI Parpol, Intoleransi dan Masa Depan Kebhinekaan 20 Nov 2018 20:17

Article image
Gregorius R. Daeng
Jika komitmen itu menjadi spirit idelogis parpol, maka niscaya ke depannya akan lahir sosok-sosok pemimpin bangsa yang mampu menjaga keutuhan NKRI, mulai dari pelosok-pelosok negeri dengan semangat persatuan Indonesia tanpa intoleransi dan diskriminasi.

Oleh: Greg R. Daeng*

OPINI, IndonesiaSatu.co-- Pasca melepaskan diri dari kungkungan penjajahan, tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia perlahan mulai menata urusan rumah tangganya sendiri. Urusan itu, antara lain menetapkan dasar dan falsafah negara, tata pemerintahan dan arah kebijakan politik. Dengan latar identitas politik yang berbeda, para penggagas berhasil merumuskan fondasi dan landasan yuridis-konstitusional negara tersebut.

Proses lahirnya Piagam Jakarta (Pancasila) melalui ‘debat intelektual’ yang cukup panjang, akhirnya mencapai kesepakatan dalam menempatkan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama Pancasila.

Padahal, dalam proses perumusan dan ‘debat intelektual’ itu, ada tiga blok kekuatan politik besar yang saling berseteru satu sama lain ketika urusannya sudah menyangkut eksistensi ideologi. Ada blok politik nasionalis-liberal dengan tokoh-tokohnya seperti Soekarno, Hatta, Yamin, Soepomo dan Sjahrir; lalu ada blok agamais dengan tokoh-tokohnya  yang terkenal seperti  Hasyim Asy’ari, Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Natsir, Safrudin Prawiranegara, IJ Kasimo, Frans Seda, Leimena dan Latuharhary. Sementara di blok politik komunis yang muncul, ada tokoh-tokoh seperti DN Aidit, Nyoto, Amir Syarifudin, M.H.Lukman, Kamaruzaman, dan Musso.

Meksipun wujud perbedaannya cukup mencolok, namun hal itu dapat melebur menjadi satu saat konteks yang menjadi bahan diskursus yakni menyangkut kebaikan bersama (bonum comune). Ego ideologi yang dianut masing-masing blok justru ditanggalkan pada tempatnya dan bergerak menuju semangat pencarian solusi terbaik bagi bangsa yakni semangat Persatuan Indonesia.

Semangat politik tanpa diskriminasi yang dijunjung tinggi oleh para pendiri dan penggagas bangsa (founding fathers), tentu sangat berbeda dengan situasi saat ini. Entitas perbedaan justru menegasikan kepentingan satu sama lain. Meskipun ada sosok politisi yang berwatak negarawan, namun secara jumlah akan kalah dengan para politikus yang nihil semangat kebangsaan. Praksisnya, orang-orang baik itu tidak akan bisa menjadi determinator karena terjebak dalam lingkaran demokrasi kita yang masih mengandalkan jumlah kepala dari pada kualitas kepala.

Post Otoritarianisme

Tidak dapat dipungkiri bahwa ‘rezim’ yang sesungguhnya berkuasa pasca-reformasi adalah partai politik (Parpol). Jika era Orde Baru (Orba), kekuasaan eksekutif sebagai pengendalinya (otoriter), maka berbeda dengan iklim politik sejak era Abbrurahman Wahid (Gus Dur) hingga sekarang ini, Joko Widodo (Jokowi), segala urusan negara tentu berpangkal dari arah kebijakan dan kepentingan partai politik (parpol). Dampaknya tidak hanya berlaku untuk urusan politik legislatif semata, tetapi juga termasuk dalam urusan politik eksekutif dan yudikatif.

Berkat kedudukannya yang cukup strategis dan memiliki legitimasi kuat dalam panggung demokrasi nasional, parpol pun cenderung tampil sebagai ‘rezim baru.’ Dalam skala daerah misalnya, kelahiran para elite birokrasi dan legislatif seperti Bupati, Walikota, Gubernur, dan anggota DPRD, Parpol memilki andil besar. Bahkan, secara teknis maupun regulasi, Parpol memiliki kekuatan besar untuk menentukan figur yang akan duduk dalam tampuk kekuasaan.

Efek domino dari lahirnya para pemimpin tersebut akan sejalan dengan produk aturan hingga kebijakan yang dikeluarkan. Jiwanya tentu tidak akan jauh dari urusan negara dalam hal perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan terhadap hak asasi warga negara. Meski demikian, hal ironis yang akan muncul yakni produk aturan yang dilahirkan justru cenderung  menciptakan persoalan ketidakadilan baru (intoleran).

Dalam rilisanUnited Nation Development Programme (UNDP) terkait Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), disebutkan ada tiga provinsi yakni Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan dan Sumatera Barat, tercatat sebagai provinsi dengan jumlah regulasi diskriminatif terbanyak di Indonesia pada tahun 2016, dengan total 14 produk hukum yang dibuat.

Sementara pada tahun 2017, Komnas Perempuan menyebutkan ada 421 produk aturan diskriminatif yang dikeluarkan oleh pejabat negara di level daerah (Bupati, Walikota dan Gubernur). Sedangkan dalam laporan Komnas HAM tahun 2017, dari 5387 pengaduan kasus, pemerintah daerah menempati urutan tiga besar institusi yang diadukan sebagai pelaku pelanggaran HAM, setelah institusi Polri dan Korporasi, di mana 75% dari pengaduan tersebut adalah terkait kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan oleh para elite daerah.

Munculnya konflik-konflik berbasiskan identitas di sejumlah wilayah di Indonesia merupakan dampak tidak langsung dari adanya sejumlah regulasi yang timpang secara nilai dan norma. Letupan kasus seperti pembakaran rumah ibadah, persekusi terkait pendirian rumah ibadah, persekusi terhadap forum diskusi ilmiah, dan persekusi terhadap kelompok rentan seperti perempuan, anak, LGBT serta kaum difabel adalah wajah kekerasan yang secara nyata terjadi saat ini. Parahnya, aturan-aturan tersebut solah menjadi alat “legitimasi hukum” untuk melakukan tindakan intoleran (pelanggaran HAM) oleh aktor negara (state aktor) dan aktor non-negara (non state aktor).

Potret kengerian sosial tersebt di atas cenderung menemi jalan bntu soal siapa penanggungjawab sesungguhnya. Para kepala daerah dan para anggota DPRD yang merupakan representasi negara adalah pihak yang harus dituntut dalam konteks ini. Namun jika dilihat dari kacamata struktural, maka pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab adalah partai politik. Sebab, duduknya para elite lokal dalam kursi kekuasaan (Bupati, Walikota, Gubernur dan DPRD) didasari oleh ‘berkat, restu, dan dukungan’ dari partai politik. Apakah partai politik dapat dituntut secara pidana dan perdata karena ‘andilnya’ terhadap sejumlah kasus intoleransi di Indonesia? Tentu jawaban atas sentilan pertanyaan ini akan membuka ruang perdebatan baru.

Masa Depan Kebhinekaan

Dalam beberapa kesempatan menyampaikan pidato atau sambutannya sebagai Presiden, terdapat sempalan-sempalan kalimat yang terlontar dari mulut Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti; “kita ini negara besar, bangsa yang terdiri dari 260 juta penduduk,17 ribu pulau, 714 suku, 1100 bahasa lokal/daerah dan lebih dari 6 identitas agama/kepercayaan, tetapi meskipun begitu kita tetap rukun dan satu di bawah payung Bhineka Tunggal Ikka. Hemat penulis, pernyataan yang terlontar tersebut terkesan klise dan paradox. Sebab,  di satu sisi Presiden juga dipilih dan didukung oleh partai politik. Tetapi, sebagai Kepala Negara, sah-sah saja pernyataan itu disampaikan, karena memang tujuannnya untuk menjadikan jati diri bangsa Indonesia ini mulia sebagai bangsa yang majemuk dan beradab.

Meski demikian, komitmen terhadap pernyataan tersebut mesti dibarengi dengan kseseriusan tindakan yang konkrit untuk menjaga kebhinekaan dari ancaman-ancaman intoleransi yang ada. Sebagai misal, dari total 3.143 Peraturan Daerah (Perda) yang dibatalkan selama 4 tahun kepemimpinan Jokowi, tidak ada satu Perda intoleran yang ikut dibatalkan di dalamnya. Padahal, titik picu konflik pemecah-belah bangsa salah satunya bersumber dari legitimasi hukum (perda) tersebut. Tentu, hal tersebut harus dicari arah solusinya

Jika pada awal kemerdekaan, ego ideologi dan keimanan ditanggalkan oleh para founding fathers demi mencapai persatuan Indonesia, maka sudah semestinya spirit ideologis tersebut mesti diadopsi oleh para elite Parpol saat ini. Partai politik tidak harusterlena dengan kedudukannya sebagai ‘rezim hebat’, melainkan justru harus sadar, berbenah dan melakukan aksi seleksi yang ketat terhadap para calon elite-elite negara; tidak hanya sebatas retorika anti-korupsi dan semboyan bela negara, melainkan komitmen dan spirit anti-intoleran, anti-diskriminasi juga perlu dimasukkan dalam sistem kurikulum pendidikan partai politik.

Jika komitmen itu menjadi spirit idelogis parpol, maka niscaya ke depannya akan lahir sosok-sosok pemimpin bangsa yang mampu menjaga keutuhan NKRI, mulai dari pelosok-pelosok negeri dengan semangat persatuan Indonesia tanpa intoleransi dan diskriminasi.

 

* Penulis adalah Advokat HAM, tinggal di Jakarta.

 Tulisan ini dibuat dalam rangka Peringatan Hari Toleransi Sedunia tanggal 16 November.

           

           

 

Komentar