Breaking News

POLITIK Kasus OTT Provinsi Riau, Djohermansyah Djohan: Problemnya Ada Pada Sistem Politik dan Tata Kelola Pemerintahan 05 Nov 2025 17:21

Article image
Guru Besar IPDN dan pakar otonomi daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A. (Foto: Ist)
Prof. Djohermansyah menilai solusi mendasar untuk memutus rantai korupsi kepala daerah tersebut adalah reformasi sistem Pilkada agar tidak lagi berbiaya tinggi.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Guru Besar IPDN dan pakar otonomi daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A, mengatakan, kasus korupsi di daerah bukan merupakan hal baru. Kasus tersebut merupakan persoalan sistemik yang terus berulang, terutama di sektor pengadaan barang dan jasa.

“Korupsi di kalangan pemerintah daerah, termasuk di Riau, sudah seperti penyakit lama yang tak kunjung sembuh. Bidang pengadaan barang dan jasa, terutama infrastruktur, masih menjadi ladang empuk penyimpangan,” ujar Djohermansyah ketika ditanya terkait kasus operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Gubernur Provinsi Riau, di Jakarta, Rabu (5/11).

Seperti diberitakan, sedikitnya 10 orang diamankan dan diperiksa secara intensif, termasuk Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR, lima kepala UPT, satu tenaga ahli gubernur, dan seorang kepercayaan sang gubernur. 

Dalam operasi itu, KPK mengamankan uang tunai sebesar Rp1,6 miliar sebagai barang bukti.

Kasus ini menambah panjang daftar kepala daerah di Riau yang tersangkut korupsi. Dalam catatan KPK, Provinsi Riau sudah empat kali terjerat kasus korupsi di tingkat pemerintahan provinsi, belum termasuk lima bupati yang juga pernah terlibat kasus serupa.

Johermansyah mencatat, sejak era otonomi daerah tahun 2005, sebanyak 39 gubernur di Indonesia telah tersangkut kasus korupsi.

“Ini menunjukkan bahwa problemnya bukan pada individu semata, melainkan sistem politik dan tata kelola pemerintahan yang belum bersih,” ujar Prof. Djohermansyah.

Dia mengungkapkan, akar dari banyak kasus korupsi kepala daerah justru berawal dari mahalnya biaya politik dalam Pilkada.

“Modal untuk menjadi kepala daerah itu besar. Mereka harus membayar mahar politik ke partai pengusung, membeli suara, ongkos saksi  membiayai tim sukses dan kampanye. Setelah terpilih, ada dorongan kuat untuk mengembalikan modal itu,” jelasnya.

Ketika para kepala daerah masuk ke jabatan publik, katanya, mereka membawa beban utang politik dan finansial. 

“Demokrasi kita sebenarnya sudah bagus secara sistem, tapi kalau pelakunya korup, maka administrasi pemerintahan jadi ikut dipaksa melayani kepentingan balik modal,” katanya.

Prof. Djohermansyah menilai solusi mendasar untuk memutus rantai korupsi kepala daerah tersebut adalah reformasi sistem Pilkada agar tidak lagi berbiaya tinggi.

“Saya tidak yakin kasus di Riau ini yang terakhir. Akan ada lagi jika akar masalahnya tidak diselesaikan. Perbaiki dulu sistem Pilkada kita. Kalau ongkosnya mahal, korupsi akan terus jadi jalan pintas, nilai adat dan agama kalah sama pragmagisme politik," katanya.

Ia berharap agar KPK tetap bekerja serius tanpa pandang bulu. 

“Semoga KPK makin kuat dan konsisten, tidak main-main. Karena hanya penegakan hukum yang tegas dan sistem politik yang sehat yang bisa menyelamatkan daerah dari korupsi,” pungkasnya. *

--- F. Hardiman

Komentar