Breaking News

REFLEKSI Kembali ke Akar, Menatap Masa Depan: Refleksi 150 Tahun SVD 09 Sep 2025 12:02

Article image
RP. Laurensius A. Woda, SVD. (Foto: Dokpri LW)
Perayaan 150 tahun SVD adalah kesempatan untuk kembali ke akar, menyatu kembali dengan Terang Sabda, dan membawa Terang itu ke tengah dunia yang terluka.

Oleh: RP. Laurens A. Woda, SVD*

 

Kata-kata klasik Lao Tzu terdengar tetap relevan, “a journey of a thousand miles begins with a single step”, yang artinya "Perjalanan sejauh apa pun, dimulai dengan satu langkah pertama."

Langkah awal itu mulai diayun dari pinggir sungai Mass di negeri Belanda pada tanggal 8 September 1875 silanlm. 

Demikian sejarah panjang sebuah kongregasi bernama Serikat Sabda Allah atau Societas Verbi Divini (SVD) bermula.

Benih-benih Sabda menyebar ke seantero jagat, dan saat ini para anggotanya telah bekerja di hampir 80 negara.

Laksana kata, ia dirangkai menjadi kalimat, membentuk paragraf, memenuhi halaman pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya, menyebar ke belahan semesta. Dan langkah pertama itu dimulai dari sebuah desa kecil bernama Steyl.

Saat ini, keluarga besar SVD bukan hanya sekedar merayakan perziarahan panjang itu dalam nada penuh syukhur, tetapi juga kembali menoleh ke belakang; belajar dari akar sejarah untuk mengayun langkah menuju hari-hari mendatang yang lebih baik.

Menjadi ‘Bodoh’ untuk Kristus

Walter A. Joyce, SVD (1975:1) merefleksikan masa-masa sulit ini dan keputusan yang diambil oleh pater Arnoldus Janssen sebagai tindakan 'menjadi bodoh untuk Kristus' (fools for the sake of Christ). Refleksinya muncul dari karakter seorang gelandangan di jalanan kota New York dengan sandwich sign bergantung di kedua bahunya, dan di depannya tertulis kata-kata ini, “I am fool for Christ’s sake”. 

Frasa ‘menjadi bodoh untuk Kristus’ juga sering disematkan kepada para kudus/martir yang dikenal karena perilaku anehnya, namun memiliki kegilaan yang kudus. Bahkan untuk itu mereka harus mengorbankan nyawa mereka. Pater Arnoldus Janssen mendapat banyak reaksi dan komentar di masa-masa awal pendirian rumah misi.

Pertanyaan getir awal, apa yang mesti diharapkan untuk bisa bergerak lagi dari situasi luluh lantah kulturkampf?

Yang terjadi adalah sebuah persekusi religius; seminari-seminari ditutup dan para imam dibatasi ruang pelayanan mereka. Di bawah masa kediktatoran Kanselir Bismarck ini, Gereja Katolik terlihat seperti tak ada masa depan lagi.  

Arnoldus Janssen, seorang imam Projo dari Keuskupan Münster-Jerman, memulai segala sesuatu dari kenekatan, atau mungkin juga dari 'kebodohan.' 

Beberapa imam dan awam berceloteh, “Tidak ada seminaris di negeri yang sedang dipersekusi ini dan sekarang ada orang bodoh sedang memulai sebuah Seminari untuk mendidik para imam muda dari Jerman untuk dikirim ke luar negeri! Apa yang sedang terjadi dengannya?” 

Seorang Uskup, Mgr. A. Paredis, dari Keuskupan Roermond, malah berkata, “Dia ingin membangun rumah misi dan dia sendiri tidak mempunyai uang. Dia ini entah orang gila, atau seorang kudus.” Komentar seperti itu sudah biasa terdengar di masa-masa awal pendirian rumah misi.

Arnoldus Janssen menjalani dengan tabah. Ia bahkan berujar, “…jika akhirnya kami gagal, maka kami akan menepuk dada dengan rendah hati, sambil mengakui secara ikhlas bahwa sesungguhnya kami tidak pantas untuk menerima rahmat Tuhan ini.”

Situasi yang sama juga dialami oleh para misionaris SVD awal di Indonesia. Para misionaris SVD yang dikirim sejak awal (1913) ke Indonesia, atau lebih khusus untuk misi Kepulauan Sunda Kecil, juga mengalami masa-masa sulit yang membuat mereka pun terlihat ‘bodoh’ demi tugas pewartan kabar gembira Kristus.

Untuk sekedar menyebut nama Mgr. Petrus Noyen, SVD, misionaris pertama di Indonesia, harus menderita komplikasi penyakit tropis selama berada di tanah misi. Ia meninggal dunia saat berada di Eropa untuk tahbisan Uskupnya. 

Dua peristiwa paling sulit dalam lintas sejarah Gereja Flores yang perlu disebut yakni:

Pertama, saat pandemi flu Spanyol menghantam Flores.

Situasinya begitu mencekam. Pater Dr. Andrzej Miotk, sejarawan SVD (2021) mencatat, di pulau Flores ribuan orang terpapar virus tersebut. Kisah paling parah terjadi di tanah Nagi, Larantuka. Ratusan siswa sekolah misi jatuh sakit. Korban yang meninggal yakni 4 imam, 3 guru, dan 20 siswa.  

Kedua, masa-masa sulit selama pemerintahan Jepang (1941-1945).

Bermula dari penyerangan serdadu-serdadu Jerman ke negeri Belanda pada tanggal 10 Mei 1941. Nasib buruk juga menimpa para Pastor dan Bruder SVD yang bekerja di Kepulauan Sunda Kecil. Ada 42 pastor dan 17 Bruder asal Jerman yang ditahan, dibawa ke pulau Onrust (teluk Jakarta) dan kemudian diangkut lagi ke lembah Alas, Sumatera. 

Lima orang pastor dipulangkan karena lanjut usia; Pater Lambert, Pater Suntrup, dan Pater Mertens ke Flores, sementara Pater Schroeder dan Pater Schmitz ke Timor. Yang lainnya diangkut dengan tiga kapal ke India bersama tawanan lainnya untuk dideportasi. Peristiwa naas terjadi untuk kapal Van Imhoff. Kapal ini dibom oleh pesawat Jepang di samudera Hindia dekat pulau Nias. Di dalam kapal ada 14 orang pastor dan 5 orang Bruder SVD. Hanya bruder Aloysius Seitz dari percetakan Arnoldus Ende yang selamat bersama 67 tawanan lainnya (Marcel Beding 1996: 475). 

Situasi diperparah lagi, ketika hampir semua Misionaris Belanda juga diinternir ke Sulawesi (1942-1945).

Pater Frans Cornelissen (1949: 34-35) mencatat bahwa hari paling tragis terjadi pada tanggal 15 Juli 1942, ketika 70 pastor, 14 Bruder, dan 29 Suster meninggalkan tanah Flores untuk diinternir ke Sulawesi. Gereja lokal Flores menerima pukulan teramat berat dalam sejarahnya.

Kembali ke Akar

Saya mengutip Surat Ucapan selamat dari mendiang Paus Fransiskus untuk Pater Superior General SVD, Pater Anselmo Ribeiro, SVD dan semua anggota SVD untuk perayaan 150 Tahun SVD.

Surat ini ditulis 13 hari sebelum Beliau meninggal dunia. 

Ada dua hal menarik dalam suratnya ini, yakni himbauan untuk kembali ke akar dan doa untuk karya misi SVD. 

“Dengan kembali ke akar dan merenungkan asal usul kalian, khususnya inspirasi dari Santo Arnoldus, yang mewariskan karisma luhur berdasarkan kekuatan Kristus Sang Sabda Ilahi, kalian pasti dapat memperoleh semangat baru dari dorongan misioner yang sudah sejak awal telah menuntun saudara-saudara sekalian untuk mengikuti jejak para rasul untuk mewartakan Sabda keselamatan ke seluruh pelosok dunia.”

Di akhir suratnya, ia berdoa: "Maka, doa saya bagi kalian semua, khususnya di Tahun Yubelium ini yang difokuskan pada keutamaan harapan, agar hari ini dan di tahun-tahun mendatang, kalian akan dipenuhi dengan antusiasme dan harapan saat kalian terus membawa Sabda Allah yang menyelamatkan ke pelosok-pelosok dunia, ke pinggiran dan daerah terpencil, kepada para migran dan mereka yang tak bersuara, kepada mereka yang miskin dan sakit di tengah-tengah kita, kepada semua orang! Karena kita semua memang bersaudara— Fratelli tutti.”

Harapan serta doa dari mendiang Paus Fransiskus di atas, bermuara pada satu hal yang sama, yakni Sabda; berakar dalam Sabda dan menjadi pewarta (pembawa) Sabda. 

Santo Arnoldus Janssen meninggalkan sebuah legasi doa yang amat kuat yakni devosi kepada Allah Tri Tunggal. Devosi Trinitarian ini berakar pada pada Sang Sabda itu sendiri. 

Hal ini bisa terlihat juga dalam Peraturan Serikat tahun 1885 (dirumuskan oleh Kapitel Jenderal I) yang menekankan kembali bahwa Sabda Allah harus dipahami dalam kerangka hubungan yang istimewa dengan setiap pribadi Ilahi, yaitu Sabda Bapa, Sabda Putra, dan Sabda Roh Kudus. 

Sabda Bapa adalah putra-Nya Yesus Kristus. Yesus adalah Sabda Bapa yang diungkapkan kepada kita. Sementara itu, Sabda Putra adalah Injil Yesus Kristus dan Sabda Roh Kudus adalah kekuatan yang memampukan kita mewartakan Sang Sabda itu sendiri. 

Menatap Masa Depan

Tema umum perayaan 150 tahun SVD sejagat adalah "Witnessing to the Light: from Everywhere for Everyone" (Bersaksi tentang Terang: dari Segala Penjuru bagi Setiap Orang).

Terang adalah salah satu kata pertama yang diucapkan Tuhan dalam Kitab Suci: “jadilah terang, lalu terang itu jadi” (Kej 1:3). 

Dalam Kitab Kejadian ini, terang menjadi teramat penting. Tuhan memilih untuk menciptakan terang terlebih dahulu. Ia menciptakan keteraturan dan harmoni di dunia yang tanpa rupa dan bentuk. Ia menciptakan terang dan menyebutnya siang. 

Penginjil Yohanes lebih lanjut menulis, “Dalam Dia ada hidup, hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan tidak dapat menguasainya”(Yoh 1: 4-5).

Kristus adalah Sang Terang itu dan kehidupan manusia dimampukan dan mengalir dari Terang itu. 

Lalu yang menjadi pertanyaan reflektif yakni: "ke mana SVD melangkah setelah 150 tahun?"

Tantangan keprihatinan zaman mungkin tidak muncul dalam bentuk yang sama seperti kulturkampf di 150 tahun silam.

Ganasnya tanah misi saat ini tidak seperti situasi di Shantung Cina pada masa misionaris SVD pertama, Santo Joseph Freinademetz, atau juga di Flores pada masa Mgr. Petrus Noyen, SVD. 

Kenyataannya, dunia masih tetap terluka sampai saat ini, dan pewarta Sabda diajak untuk membawa terang di tengah dunia yang terluka (missio ad vulnera). 

Situasi keterlukaan dunia dewasa ini, oleh misiolog Steve Bevans (2023: 161-166), muncul dalam kategori-kategori seperti; keterlukaan bumi (bumi yang terus-menerus dikerus dan dirusakkan), keterlukaan manusia (dalam diri orang sakit, miskin, para migran, kelompok rentan yang membutuhkan pertolongan, keterlukaan sistem politik (kekacauan politik yang mengorbankan rakyat), dan keterlukaan Gereja (persoalan atau skandal seperti sex abuse, korupsi, dll dalam tubuh Gereja). 

Akhirnya, selamat berpesta keluarga SVD dan semua pewarta Sabda. 

Perayaan 150 tahun SVD adalah kesempatan untuk kembali ke akar, menyatu kembali dengan Terang Sabda, dan membawa Terang itu ke tengah dunia yang terluka. 

Viva SVD, Ad Multos Annos!

 

* Penulis adalah Kepala Biro Spiritualitas Sang Sabda IFTK Ledalero. 

Komentar