Breaking News

BERITA Koalisi Masyarakat Sipil Anti Human Trafficking Dorong DPR RI Revisi UU TPPO 13 May 2023 19:07

Article image
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Human Trafficking usai beraudiensi dengan Kepala Badan Keahlian DPR RI, Dr. Inosentius Samsul. (Foto: Dok. Koalisi)
"Maraknya kasus yang menyasar para pekerja migran terutama mayoritas melalui jalur non-prosedural (ilegal), termasuk Indonesia berada pada kategori Darurat TPPO," kata Gabriel.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Presiden Joko Widodo (Jokowi)telah menghimbau negara-negara peserta Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-42 untuk bekerjasama menanggulangi serta memberantas perdagangan orang (human trafficking).

Bahkan, Presiden Jokowi pada KTT ASEAN 2023 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), menegaskan komitmennya untuk memberantas tuntas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dari hulu hingga ke hilir.

Ketua Tim Lobi dan Advokasi untuk Perubahan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dari Zero Human Trafficking Network, Gabriel Goa dan Ketua Inisiasi Masyarakat Sipil Anti Human Trafficking & Drug Trafficking sekaligus Direktur Women Working Group (WWG), Nukila Evanty, telah melakukan pertemuan dengan Badan Keahlian DPR RI, Dr. Inosentius Samsul yang berlangsung di Gedung DPR RI, Jumat (12/5/2023).

Pada kesempatan itu, Gabriel Goa menyebutkan bahwa persoalan human trafficking bukan hal baru di kawasan ASEAN, apalagi bagi Indonesia sendiri.

"Maraknya kasus yang menyasar para pekerja migran terutama mayoritas melalui jalur non-prosedural (ilegal), termasuk Indonesia berada pada kategori Darurat TPPO," kata Gabriel.

Gabriel menyinggung laporan US Embassy 2022 on Trafficking in Persons Report, Indonesia masuk kategori Tier 2 Watch List.

"Artinya, pemerintah tidak memenuhi standar minimal untuk pemberantasan perdagangan orang, juga tidak berusaha secara sungguh-sungguh," sentilnya.

Selain itu, lanjut Gabriel, Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dinilai mandul dan tidak berfungsi; baik anggaran yang tidak tepat sasaran maupun lembaga-lembaga donor/lembaga pembangunan lainnya yang juga sering tidak tepat sasaran dalam melakukan penguatan kapasitas kepada penegak hukum.

"Mereka lebih banyak memikirkan project based dan tidak pernah sungguh-sungguh melihat dari berbagai perspektif; ada ASEAN ACT yang di belakangnya ada Australia, IOM dan sebagainya, terlalu banyak modul yang mereka hasilkan hanya sekedar di atas meja, tidak berdampak pada pelatihan-pelatihan yang tepat sasaran," sorot Gabriel.

"Mereka membuang banyak anggaran dan energi yang seharusnya bisa lebih bermanfaat untuk pemberantasan perdagangan orang. Ini yang harus menjadi perhatian ke depan," tegas Gabriel.

Persoalan Multidimensi

Sementara itu, Nukila Evanty menyebutkan bahwa ada beragam modus operandi perdagangan orang.

"Sindikat kejahatan ini selalu sulit dibawa ke ranah hukum terutama master mindnya; korban-korban terutama perempuan lemah untuk melakukan self-prevention dan selalu luput untuk diselamatkan, bahkan ketika mereka sudah dipulangkan ke kampung halaman, korban perempuan dilupakan. Padahal, mereka perlu konseling untuk kesehatan mental dari trauma yang telah mereka alami," ungkap Nukila.

Menurut Ketua Inisiasi Masyarakat Sipil Anti Human Trafficking & Drug Trafficking, dalam konteks penegakan hukum perlu l update tentang modus eksploitasi seksual yang sudah sedemikian beragamnya seperti melalui prostitusi online dan merajalelanya pedofilia.

"Bisnis dan perusahaan yang mencari pekerja murah melalui perusahaan perekrut tenaga kerja, yang pada akhirnya menjerumuskan para pekerja migran kita ke tempat-tempat kasar dengan upah yang sangat rendah; seperti di sektor perkebunan, pekerja rumah tangga dan pekerja di sektor kemaritiman dan perikanan bahkan menyasar mereka yang masih berusia anak-anak (child labour)," papar Nukila.

Nukila menambahkan, sindikat kejahatan yang terorganisir (organised crimes) malah saat ini menggunakan jaringan keluarga terdekat, teman-teman korban, maupun media sosial untuk melakukan perekrutan.

Selain itu, lanjut Nukila, ada faktor -faktor pendorong lainnya seperti maraknya bisnis narkotika yang beririsan dengan human trafficking sehingga banyak pekerja migran Indonesia dimanfaatkan untuk membawa narkotika (kurir); kemiskinan yang mendera; budaya patriarki misalnya pernikahan dini dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang banyak mendorong perempuan dan anak perempuan terjebak dalam child brides atau mail order brides.

"Oleh karena itu, perlu kiranya dibentuk kegiatan-kegiatan yang bersifat kolaborasi dan dilakukan secara tepat sasaran sehingga dapat mengurangi angka dan jumlah korban TPPO," harap Nukila.

"Perlu pemahaman bersama bahwa persoalan TPPO ini multidimensi. DPR yang melekat dengan tiga fungsi utama; sebagai Pembuat Undang-Undang, Pengawas kerja-kerja pemerintah dan Penentu Anggaran, memiliki peran strategis dan vital untuk kerja pemberantasan perdagangan orang ini," tandas Direktur Women Working Group (WWG) itu.

--- Guche Montero

Komentar