Breaking News

REGIONAL Maraknya Kejahatan TPPO di NTT, Negara Dinilai Ingkari Komitmen Kemanusiaan 06 Jan 2020 12:28

Article image
Kasus human trafficking terus marak di Provinsi NTT. (Foto: ilustrasi)
Bahkan, dengan kategori sebagai Provinsi Darurat human trafficking, Negara (pemerintah) tidak bisa terus "diam" tanpa mengambil langkah darurat dan luar biasa.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- "Negara telah 'berketetapan hati' untuk mencegah dan menanggulangi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atau kejahatan perdagangan Manusia (Human Trafficking). Ketetapan hati dimaksud, didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional dan internasional untuk melakukan pencegahan sejak dini dan menindak pelaku TPPO demi melindungi korban, sehingga lahirlah UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang TPPO."

Demikian hal itu dikemukakan pengamat sosial NTT, Petrus Selestinus dalam rilis kepada media ini, Senin (6/1/20).

Menurutnya, di dalam konsiderans UU Nomor 21 Tahun 2004 Tentang TPPO, antara lain dikatakan bahwa: keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional dan internasional untuk melakukan pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban dan peningkatan kerja sama.  

Koordinator TPDI ini menilai, 'Ketetapan hati' untuk mencegah dan menanggulangi TPPO yang didasarkan pada nilai luhur dan komitmen nasional dan internasional dimaksud, ternyata tidak linear bahkan paradoks dengan kenyataan pahit yang dialami oleh putera-puteri NTT yang sudah menjadi korban TPPO atau TKI ilegal sejak berlakunya UU Tentang TPPO hingga sekarang.

"Ini merupakan gambaran nyata betapa tidak satunya kata dan perbuatan para pemimpin kita, ada pengingkaran terhadap nilai luhur dan komitmen nasional dan internasional untuk mencegah dan menanggulangi TPPO. Negara melakukan pembiaran terus-menerus perekrutan dan pemberangkatan TKI ilegal asal NTT ke Malaysia, sedangkan jumlah yang meninggal pada tahun 2019 mencapai 124 jiwa. Ini fakta sosial yang sangat miris dan termasuk bencana kemanusiaan akut," sorot Petrus.

'Sikap Pasrah' Pemprov NTT

Berita seputar TKI ilegal asal NTT yang meninggal sepanjang tahun 2019, sudah mencapai angka 124 orang, dihitung berdasarkan jumlah jenazah yang dikirim kembali ke NTT.

Realita tersebut sungguh sangat memilukan hati, karena tidak ada langkah strategis yang bersifat mencegah dan menanggulangi dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT sebagai wujud komitmen nasional dan internasional seperti ditegaskan di dalam UU Nomor 21 Tahun 2004.

Advokat Peradi ini menilai, Gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat pada awal kepemimpinannya 'berketetapan hati' menjadikan penanggulangan TPPO sebagai program prioritas dengan konsep moratorium. 

"Namun problemnya, kewenangan mengeluarkan moratorium itu adalah wewenang Kemenaker, bukan Gubernur. Karena itu, Pemprov NTT sepertinya salah memilih nomenklatur lalu pasrah menghadapi sindikat terorganisasi dan tidak terorganisasi dari TPPO. Sikap terakhir Gubernur NTT yakni dengan menyatakan bahwa bagi TKI ilegal yang sukses kita syukuri, dan jika meninggal, jenazahnya kita kubur. Ini menunjukkan sikap pasrah," sindir Petrus.

Ia beralasan, dengan rekor sebagai Provinsi yang mencatat angka tertinggi di Indonesia dalam kasus TPPO dengan mayoritas TKI diberangkatkan secara ilegal maupun yang meninggal tanpa dokumen dan identitas resmi, hal itu menegaskan inkosistensi pernyataan dan sikap Pemprov NTT baik pada saat kampanye Pilgub maupun ketika memimpin.

"Persoalan TPPO di NTT merupakan hal krusial yang berkaitan dengan hak asasi dan aspek kemanusiaan universal. Bahkan, dengan kategori sebagai Provinsi Darurat human trafficking, Negara (pemerintah) tidak bisa terus "diam" tanpa mengambil langkah darurat dan luar biasa. Jika terus demikian, maka NTT tidak dapat keluar dari berbagai stigma buruk yang disematkan," imbuhnya.

Inkohesif Komitmen

Melihat kenyataan ini, maka Pemerintah Pusat dan Pemprov NTT dinilai tidak memiliki kohesivitas dalam komitmen dan gagal total mewujudkan komitmen nasional dan internasional dalam mencegah dan menanggulangi TPPO.

"Inkohesif komitmen. Masing-masing mau jalan sendiri sehingga semua hanyalah fatamorgana, karena kebijakan (politis) yang dirumuskan sebagai nilai-nilai luhur dalam pembentukan UU TPPO, tidak dapat direalisasi, minus implementasi," sorot Petrus.

Padahal, lanjut dia, konstitusionalitas kekuasaan dan kewenangan negara sebagaimana diatur dalam UU TPPO dan UU Perlindungan Buruh Migran Indonesia, ditambah lagi dengan aparat Penegak Hukum yang profesional, gaji dan fasilitas penunjang yang menggiurkan, mestinya pelaku TPPO baik yang terorganisir maupun tidak terorganisir, baik yang di dalam negeri maupun antar negara, sudah banyak yang dipenjara dan hak-hak korban dipulihkan.

"Namun faktanya, kejahatan TPPO semakin merajalela dengan segala dampak buruknya. Pengiriman TKI ilegal masih terus berlangsung tanpa dapat dihentikan sesuai dengan komitmen nasional dan internasionalnya. Sementara kiriman jenazah TKI ilegal dari Malaysia ke NTT hampir tiap bulan terjadi hingga angka 124 peti jenazah," bebernya.

Sebagai payung hukum, UU TPPO menyatakan bahwa: setiap orang yang melakukan perekrutan, penampungan, pengiriman seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, penjeratan utang, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda.

"Mengapa pengiriman TKI ilegal tetap dibiarkan terus-menerus terjadi di NTT, padahal kiriman jenazah dari Malaysia ke NTT terus menjadi sebuah rutinitas? Sementara negara kehilangan moralitas dan mengabaikan komitmen nasional dan internasionalnya untuk mencegah dan menanggulangi TPPO di NTT. Ini adalah pilihan sikap yang mendiskriminasikan orang-orang NTT, bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia," timpalnya.

--- Guche Montero

Komentar