BUDAYA Maria Loretha: Flores-NTT Butuh Formulasi Model Transformasi Masyarakat melalui Revitalisasi Budaya 03 Jun 2024 11:17
"Saya merefleksikan perjalanan dan usaha pemberdayaan sorgum dan aneka benih lokal, dengan tetap mestarikan nilai-nilai budaya Lamaholot sebagai pengalaman terbaik dalam menyukseskan pertanian lahan kering di Flores-Lembata," ujarnya.
JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Penggerak penanaman sorgum dari Yayasan Agro Sorgum Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Maria Loretha menjadi salah satu Pembicara dalam kegiatan Fokus Grup Diskusi (FGD) Budaya dan Pemberdayaan yang digagas Dompet Dhuafa dan Bina Trubus Swadaya, bertempat di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Rabu (29/5/2024).
Pada kegiatan yang mengangkat tema "Revitalisasi Cerlang Budaya Lokal dalam Membangun Karakter Bangsa sebagai Sarana Pemberdayaan Masyarakat" tersebut, Maria Loretha yang dijuluki "Mama Sorgum NTT" itu membagikan pengalamannya ketika berjuang mengajak warga menanam sorgum di wilayah yang tandus dan berbatu-batu, tidak cocok untuk tanaman padi, jagung, atau palawija lainnya.
Maria Loretha juga mengekspresikan kekecewaannya terhadap program pemerintah yang memaksakan penanaman padi atau jagung di Flores, yang jelas tidak cocok untuk lahan kering dan bebatuan.
Sebagai gantinya, Maria Loretha fokus pada pemberdayaan masyarakat dari sudut pandang ekonomi dengan memanfaatkan budaya tradisi Lamaholot.
"Berkat bantuan media, saya berhasil mendapatkan benih sorgum yang diperlukan. Dan puji Tuhan, sejak awal merintis usaha yang dianggap aneh dn mustahil oleh sebagian besar masyarakat Flores, NTT, kini 'misi gila' ini berhasil," kisah Maria Loretha kepada media ini, Senin (3/6/2024).
Diterangkan, Sorgum yang dipanen kemudian diolah menjadi berbagai jenis cemilan atau sebagai substitusi beras sebagai makanan pokok masyarakat.
Perempuan berusia 54 tahun yang lahir di Ketapang, Kalimantan Barat ini mengatakan bahwa upaya pengembangan sorgum yang ia tekuni selama 12 tahun terakhir, memang tidak berjalan mulus.
Masih banyak orang yang belum melihat keunggulannya, terutama kandungan serat yang lebih tinggi dibandingkan beras dan jagung, yang amat bermanfaat untuk tubuh.
"Serat ini berperan penting dalam menjaga kesehatan pencernaan dan membantu mengikis kolesterol berbahaya sehingga dapat menjaga kesehatan jantung dan mencegah stroke," katanya.
"Sorgum juga bisa menyembuhkan beberapa penyakit; seperti penyakit gula, diabetes melitus, masalah usus, lambung, tulang rapuh, jantung dan tiroid," bebernya.
Pendiri Perhimpunan Petani Sorgum untuk Kedaulatan Pangan Nusa Tenggara Timur (P2SKP-NTT) ini menekankan bahwa pemberdayaan masyarakat sejalan dengan pemberdayaannya sendiri.
"Janganlah secara umum menganggap Timur sebagai daerah miskin, atau membuat stigma bahwa NTT miskin, mengalami stunting, kekurangan air. Padahal kami memiliki kopi Flores, potensi perikanan laut yang melimpah, sorgum, dan banyak potensi lainnya," timpalnya.
Melestarikan Sorgum; Melestarikan Kehidupan
Maria Loretha mengungkapkan bahwa wilayah Flores, NTT, selalu melekat dengan ritual dan tradisi budaya, termasuk dalam konteks pemberdayaan Sorgum di Flores Timur dalam tradisi budaya Lamaholot.
"Saya merefleksikan perjalanan dan usaha pemberdayaan sorgum dan aneka benih lokal, dengan tetap mestarikan nilai-nilai budaya Lamaholot sebagai pengalaman terbaik dalam menyukseskan pertanian lahan kering di Flores-Lembata," ujarnya.
"Ritual dan tradisi menjadi alat pemberdayaan; seperti konsumsi jagung muda, sorgum (watablolo), serta mengadaptasi tradisi untuk mengusir hama. Kami melakukan ini sesuai dengan aturan kami sendiri, membangkitkan romantisme, dongeng-dongeng, juga mengangkat peran perempuan dalam pengorbanan untuk menghasilkan benih," ungkapnya bangga.
Maria Loretha yang juga Pendiri Sekolah Agro Sorgum Flores yang berbasis di Desa Pajinian, Adonara, Kabupaten Flores Timur (Flotim) ini meyakini, melestarikan sorgum adalah menjaga warisan yang menghidupkan bagi masa depan anak cucu.
"Mari kita berpikir bahwa selain nasi, kita punya makanan utama yang diwariskan oleh nenek moyang kita," ajaknya.
Ia mengatakan, keterbukaan cara berpikir akan sangat penting membantu kita melihat ketersediaan pangan pada segala musim. Sorgum adalah penyelamat jika keadaan alam tidak memungkinkan.
"Yang paling utama adalah bagaimana mengubah cara pandang dan pola pikir (mindset) masyarakat kita untuk melihat sorgum sebagai makanan lokal yang memiliki beragam kelebihan, termasuk bisa tumbuh di manapun kita menanamnya. Saatnya, dalam konteks kolaborasi pentahelix, setiap elemen di Flores-NTT memformulasikan model transformasi masyarakat melalui revitalisasi budaya," tandas "Mama Sorgum" yang telah dianugerahi beragam penghargaan tersebut.
Sesi Diskusi dan Tujuan FGD
Dalam kegiatan tersebut, terdapat dua sesi Diskusi dan beberapa tujuan FGD.
Dalam sesi diskusi pertama yang dimoderatori oleh Wartawan Senior Media Group, Wahyu Wiwoho, tema yang diangkat adalah "Refleksi Budaya Lokal dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat dan Strategi Pemerintah".
Diskusi tersebut menghadirkan empat narasumber, yaitu Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Restu Gunawan, Guru Besar Universitas Hasanudin (UNHAS) Nurhayati Rahman, Anggota Dewan Pembina Dompet Dhuafa Yudi Latif, dan Praktisi Seni Film Garin Nugroho Riyanto.
Sementara dalam sesi diskusi kedua yang dipandu oleh Direktur Inspirasi Melintas Zaman (IMZ) dan Penulis Novel Sejarah, Fatchuri Rosidin, mengangkat tema "Best Practice Pengembangan Budaya Masyarakat."
Sesi tersebut juga menghadirkan empat narasumber, termasuk Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi dari Keraton Yogyakarta, Maria Loreta dari Yayasan Agro Sorgum Flores, Andi Makmur Makka sebagai Anggota Dewan Pembina Dompet Dhuafa dan Perwakilan Bone, serta Ilham Khoiri dari Bentara Budaya Kompas.
Sementara itu, FGD Budaya dan Pemberdayaan bertujuan untuk memfasilitasi silaturahmi nasional antara pendukung budaya dan pemberdayaan masyarakat di Nusantara.
Melalui kegiatan tersebut, FGD bertujuan untuk mengumpulkan jejak pemikiran, nilai-nilai luhur, dan sikap terpuji dari para pemerhati budaya dan pemberdayaan masyarakat, serta mengidentifikasi budaya adiluhung, merumuskan karakter budaya di Nusantara, dan memformulasikan kebaikan budaya di Nusantara untuk mendukung upaya pemberdayaan masyarakat.
Selain itu, FGD juga bertujuan untuk melibatkan pendidikan tinggi dan masyarakat sipil dalam membangun budaya positif di masyarakat, serta untuk mencari model transformasi masyarakat melalui budaya.
Rangkaian kegiatan FGD dan diskusi pasca FGD akan didokumentasikan dalam bentuk proceeding atau buku sebagai policy brief untuk pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan tinggi, organisasi masyarakat sipil, dan organisasi budaya.
Dokumentasi tersebut diharapkan dapat menjadi panduan dalam membangun budaya positif di masyarakat.
--- Guche Montero
Komentar