Breaking News

REGIONAL Kaum Wanita, Penjaga dan Pewaris Tradisi Tenun Ikat Ende-Lio 04 Sep 2017 15:56

Article image
Ibu Maria Wure membuat motif tenunan (Foto: Ebed)
Berbeda dengan sekarang, dahulu masih sulit untuk pemasaran selain pada saat ada hajatan adat. Soal kualitas dan motif tidak jauh berbeda, meskipun sekarang banyak variasi motif sehingga memengaruhi harga jual yang semakin tinggi.

TENUN ikat merupakan salah satu kekhasan etnik yang terdapat di Flores dan pulau-pulau sekitarnya tak kecuali Ende-Lio. Kekhasan tenun ikat tampak jelas pada corak motif daerah yang terdapat dalam setiap hasil tenunan baik sarung, baju maupun selendang. Di balik tradisi tenun ikat yang terus diwarisi hingga kini, peran kaum wanita menjadi sangat vital. Dari tangan merekalah, beragam motif tenun daerah dihasilkan.

Sebagian besar daerah Ende-Lio, tradisi tenun ikat masih menjadi rutinitas harian bagi kaum wanita. Di daerah Lio Selatan seperti Wolojita, Mbuli, Jopu, Nggela, Wolowaru hingga daerah Moni, Detusoko, Ende dan Nangapanda, tidak jarang menemui kaum ibu yang tekun menenun. Beragam motif terunan yang sering digunakan seperti motif gunung pada sarung kelimara Ende, motif ketupat, kuda, burung elang, burung garuda, pengantin, pohon, hingga rumah adat.

Kepada IndonesiaSatu.co, Jumat (1/9/2017) Bernadetha Di'o asal Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, menuturkan, sejak gadis hingga usia 65 tahun, dirinya sudah mencintai pekerjaan sebagai penenun.

Dikatakan Bernadetha, awal menenun tidak mudah. Setelah terus dilatih dan belajar akhirnya menenun sudah menjadi rutinitas harian dan pekerjaan pokok. Hasil jualan tenunan sangat membantu membiayai pendidikan anak-anak dan juga memenuhi kebutuhan hidup.

Berbeda dengan sekarang, dahulu masih sulit untuk pemasaran selain pada saat ada hajatan adat. Soal kualitas dan motif tidak jauh berbeda, meskipun sekarang banyak variasi motif sehingga memengaruhi harga jual yang semakin tinggi. Pekerjaan menenun tidak semudah yang dipikirkan.

“Butuh proses dan waktu yang tidak singkat apalagi motifnya juga sulit. Terutama soal kesabaran, ketekunan dan keterampilan. Tidak semua perempuan yang bisa menenun jika tidak disertai niat dan kesabaran," ungkapnya.

Senada ibu Bernadetha, tanta Pasi yang mengaku berasal dari Jopu mengaku bangga dengan pekerjaan menenun yang ditekuninya hingga sekarang.

"Setiap pekerjaan harus berawal dengan kesulitan termasuk menenun. Saya bangga dan bersyukur sejak belasan tahun lalu sampai sekarang masih kuat menenun dan berjualan sarung di pasar. Memang banyak penenun dari berbagai daerah namun ada kekhasan dari motif tenunan yang bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi pembeli," katanya sambil menunjuk sarung dengan motif pengantin, hasil karyanya.

Tradisi berparas feminis

Rutinitas menenun, tutur Maria Wure, sudah pasti identik dengan 'tangan dingin' kaum wanita. Melalui hasil karya tenun ikat yang hingga kini masih menjadi warisan tradisi, andil kaum wanitalah yang patut diberi apresiasi tinggi. Mereka tidak sekadar merancang motif, melainkan dengan penuh ketekunan, kesabaran dan cinta menjaga tradisi agak tidak hilang dari peradaban modern. Menyinggung generasi pewaris dari kalangan muda sekarang, Maria Wure punya kegelisahan.

"Kaum muda sekarang selalu ikut perkembangan zaman. Selalu pikir yang gampang dan cepat. Sangat jarang melihat anak-anak gadis yang tekun menenun. Mungkin mereka malu atau merasa sudah memiliki pendidikan tinggi. Padahal, menenun juga termasuk pekerjaan mulia. Tidak hanya soal pekerjaan menenun, kaum muda sekarang lebih suka mengenakan busana bermerk daripada pakaian motif daerah. Kata mereka supaya terlihat gaul, percaya diri dan bisa menjadi pusat perhatian,” kata Maria Wure.

“Semoga anak-anak gadis dan kaum muda tidak lupa dengan pakaian daerah sendiri. Saya bangga dengan pekerjaan sebagai penenun dan anak-anak saya sudah bisa menenun. Semoga mereka bangga dan cinta dengan pekerjaan ini," ujar Maria mengakhiri obrolan.

 

--- Guche Montero

Komentar