OPINI Menyikapi Perselisihan Industrial – Belajar dari Kasus PT Yihong Novatex Indonesia 08 Apr 2025 13:16
Kalau saja pihak perusahaan, buruh, serikat pekerja/buruh, dan Disnakertrans bisa duduk bersama dan mencari solusi terbaik, gelombang PHK tidak akan terjadi.
Oleh Simon Leya
Dalam situasi ekononi lagi sulit seperti sekarang ini, Anda masih bisa kerja atau usaha Anda masih jalan, sehingga asap dapur Anda masih mengepul, itu sesuatu yang patut disyukuri. Sementara, banyak saudara atau sahabat kita yang terpaksa jadi pengangguran karena perusahaan atau usahanya gulung tikar.
Karena itu, membaca berita seputar aksi PHK terhadap 1.126 buruh PT Yihong Novatex Indonesia bikin kita elus dada. PHK massal ini memperpanjang daftar perusahaan tekstil yang bangkrut selama satu tahun terakhir. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, antara Januari 2023-Desember 2024, sudah ada 61 pabrik tekstil yang gulung tikar di Pulau Jawa, Banten, dan Jawa Barat. PHK di PT Yihong Novatex Indonesia adalah kasus teranyar setelah raksasa tekstil Sritex.
Kembali ke kasus PT Yihong Novatex Indonesia, media melaporkan, perusahaan terpaksa melakukan PHK imbas buruh mogok kerja selama empat hari berturut-turut. Kepala Bidang Hubungan Industrial Disnakertrans Jawa Barat, Firman Desa mengatakan aksi mogok kerja dipicu oleh dua tuntutan.
Pertama, buruh memrotes keputusan perusahan yang tidak memperpanjang kontrak kerja tiga (3) rekan mereka.
Kedua, buruh menuntut agar status pekerja kontrak ditingkatkan menjadi karyawan tetap (permanen).
Terhadap dua tuntutan tersebut, perusahaan memberi penjelasan: manajemen menolak mempekerjakan kembali tiga karyawan tersebut karena masa kontrak mereka telah habis. Selain itu, manajemen menimbang kinerja ketiga karyawan yang tidak memenuhi standar untuk dipertahankan.
PT Yihong Novatex Indonesia mengaku, akibat aksi mogok selama empat (4) hari, perusahaan mengalami kerugian besar karena beberapa mitra membatalkan pesanan akibat terganggunya pengiriman.
Tekstil dan Garmen yang Lagi Terpuruk
Pabrik tekstil menghasilkan benang dan kain (barang jadi). Sedangkan pabrik garmen mengolah benang dan kain menjadi pakaian. Semua kita sudah tahu bahwa tekstil dan garmen adalah sektor usaha yang paling rawan gulung tikar.
Karena tekstil dan garmen adalah bidang usaha padat karya, yang mengandalkan tenaga manusia. Sehari atau dua hari buruh mogok, dia langsung oleng. Kondisi diperparah dengan impor pakaian ilegal dari Cina dalam jumlah besar.
Mati dan hidupnya usaha tekstil dan garmen amat tergantung pada principal. Sejauh yang saya tahu, jarang atau hampir tidak ada pabrik tekstil dan garmen sekaligus adalah principal (pemegang merek tertentu). Principal lebih fokus memasarkan dan menjual produknya. Urusan produksi diserahkan kepada perusahaan garmen yang biasanya beroperasi di negara-negara berkembang karena biaya produksinya murah.
Pabrik garmen yang memproduksi baju kemeja pria, misalnya, tidak memproduksi kemeja untuk dijual sendiri. Mereka biasanya menerima pesanan dari beberapa principal atau pemegang merek tertentu. Misalnya pabrik garmen A menerima pesanan dari, sebut saja (merk yang sudah dikenal secara internasional), Ralpn Lauren, Executive, Boss, Giordano, dan Crocodie. Sedangkan pabrik garmen B memproduksi baju merek Cardinal, Wrangler, Calvin Klein, H&M, atau Zara.
Tentu saja, kerja sama antara para pihak diikat dengan MOU. Misalnya, pihak garmen harus bisa menyuplai sekian ribu baju dalam sehari. Kalau tidak bisa memenuhi syarat yang telah disepakati, maka pihak principal bisa menghentikan kerja sama kapan saja dan mengalihkan kerja sama ke pabrik lain.
Kita sering dengar, principal (pemegang merk dagang) dari Amerika atau Eropa lebih memilih bermitra dengan perusahaan-perusahaan garmen di Vietnam atau lainnya karena iklim kerja di Indonesia mereka anggap tidak kondusif, terlalu banyak demo, kinerja tidak memenuhi standar, banyak pungli, tidak ada kepastian hukum dan lain sebagainya. Bahkan tidak sedikit investor dalam negeri memilih mengalihakan investasinya ke negara lain yang tidak terlalu membuat mereka sakit kepala.
Kasus PHK oleh PT Yihong Novatex Indonesia hendaknya menjadi pelajaran bagi kita semua dalam menangani suatu perselisihan industrial, apalagi yang melibatkan perusahaan PMA. PT Yihong Novatex Indonesia diketahui adalah PMA asal Tiongkok yang mungkin tidak terbiasa dengan aksi protes dan mogok massal yang menghambat produktivitas.
Sebagai perusahaan PMA, pemilik PT Yihong Novatex Indonesia dengan mudahnya memilih jalan hengkang. Bagaimana dengan nasib 1.126 buruh? Ketika ekononomi lagi sulit seperti sekarang ini, tidaklah mudah untuk mendapatkan lapangan kerja baru.
Menurut saya, pemicu mogok kerja di PT Yihong Novatex Indonesia tergolong masalah kecil, tidak untuk mengatakan sepele. Kalau saja pihak perusahaan, buruh, serikat pekerja/buruh, dan Disnakertrans bisa duduk bersama dan mencari solusi terbaik, gelombang PHK tidak akan terjadi. Tapi mungkin para buruh sudah siap menerima segala risiko, termasuk di-PHK demi solidaritas kepada tiga rekan mereka. Wallahualam... ***
Penulis pernah 10 tahun menjadi HRD sebuah perusahaan di Tangerang, sekarang Pemimpin Redaksi IndonesiaSatu.co dan Tenaga Ahli Komisi XIII DPR RI
Komentar