RESENSI 'Buku Sumber Inspirasi Bagi Para Pemimpin' 28 May 2025 15:10
Buku ini pada hemat saya merupakan rangkuman komprehensif dan termutakhir dari seluruh hasil penelitian dan karya ilmiah penulis, baik dalam bentuk buku, jurnal, artikel, dan makalah.
Oleh Simon Leya
Judul buku: Manajemen Konflik, Servant Leadership, & Damai Berkelanjutan
Pengarang: Dr. Rofinus Neto Wuli, S.Fil., M.Si (Han)
Penerbit: Penerbit Buku KOMPAS
Tanggal terbit: 2025
ISBN: 978-623-523-474-8
Tebal halaman: 284
Medio April 2019 Paus Fransiskus melakukan sesuatu yang membuat dunia terpana. Aksinya menggetarkan hati segenap insan. Pada momen penutupan retret spiritual dua hari di Vatikan yang mempertemukan para pemimpin Sudan Selatan yang sedang bersaing di panggung politik, pemimpin tertinggi gereja Katolik itu mencium kaki mereka semua.
Selain Presiden Salva Kiir, mereka yang dicium kaki oleh Paus Fransiskus adalah calon wakil presiden yang terdiri dari Riek Machar, James Wani Igga, Taban Deng Gai, dan Rebecca Nyandeng De Mabior, juga janda pemimpin Sudan Selatan, John Garang.
Semua media internasional mengabadikan peristiwa langka tersebut. Media terkemuka Amerika Serika, The Associated Press (AP) menulis, tindakan cium kaki yang dilakukan Paus Fransiskus sebagai simbol kerendahan hati yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mendorong mereka memperkuat proses perdamaian negara Afrika yang sedang goyah.
Paus meminta Presiden Sudan Selatan dan pemimpin oposisi untuk melanjutkan perjanjian damai meskipun kesulitan semakin meningkat. Kemudian ia berlutut dan mencium kaki para pemimpin satu per satu.
AP lebih lanjut menulis, paus biasanya mengadakan ritual pembasuhan kaki para tahanan pada Kamis Putih, tetapi tidak pernah melakukan penghormatan seperti itu kepada para pemimpin politik.
"Saya menyampaikan harapan sepenuh hati saya bahwa permusuhan akhirnya akan berakhir, bahwa gencatan senjata akan dihormati, bahwa perpecahan politik dan etnis akan diatasi, dan bahwa akan ada perdamaian abadi demi kebaikan bersama semua warga negara yang bermimpi untuk mulai membangun bangsa," kata Paus Fransiskus tentang Sudan Selatan dalam pernyataan penutupnya.
Wakil Presiden Sudan Selatan Rebecca Nyandeng Garang mengatakan tindakan Paus Fransiskus sangat menyentuh hatinya.
"Saya belum pernah melihat hal seperti itu. Air mata mengalir dari mata saya," katanya.
Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir Mayardit, di hadapan parlemen negaranya, di Juba, mengatakan bahwa ia terkejut dan gemetar saat Paus mencium kakinya.
"Saya terkejut dan gemetar saat Yang Mulia Paus mencium kaki kami. Itu adalah berkat dan bisa menjadi kutukan jika kita mempermainkan kehidupan rakyat kita," kata Presiden Kiir.
Sudan Selatan memperoleh kemerdekaan dari Sudan pada tahun 2011 dan pada tahun 2013, negara tersebut terjerumus dalam perang saudara berdarah, yang menewaskan sedikitnya 400.000 orang.
Pertemuan Vatikan selama dua hari tersebut diadakan sebulan sebelum berakhirnya masa pra-transisi perjanjian damai yang goyah. Pada tanggal 12 Mei, pemimpin oposisi Machar diperkirakan akan kembali ke Sudan Selatan dan sekali lagi menjabat sebagai wakil Kiir.
Namun, perjanjian tersebut, yang ditandatangani pada bulan September di Khartoum, ibu kota negara tetangga Sudan, telah mengalami penundaan, tenggat waktu yang terlewat, dan terus berlanjut dengan berbagai aspek penting yang belum terlaksana.
Kudeta militer di Sudan kala itu memicu kekhawatiran di Sudan Selatan bahwa penggulingan Presiden lama Omar al-Bashir dapat menggagalkan kesepakatan damai yang sudah rapuh.
“Sudan telah membantu kami dengan kesepakatan damai. Kami berharap sistem baru juga akan berfokus pada kesepakatan tersebut, memastikan bahwa kesepakatan tersebut akan dilaksanakan,” kata pemimpin oposisi Machar, yang menghadiri doa malam untuk perdamaian, yang diadakan di gereja Santa Maria di Trastevere, Roma.
Meneladani Paus Fransiskus
Foto epik Paus Fransiskus mencium kaki para pemimpin Sudah Selatan oleh RD. Dr. Rofinus Neto Wuli, S.Fil., M.Si (Han) dijadikan cover buku terbarunya berjudul Manajemen Konflik, Servant Leadership, & Damai Berkelanjutan. Penulis yang akrab disapa Rm. Rony mengangkat Paus Fransiskus sebagai contoh pemimpin yang melayani (hal. 138-140).
Kerendahan hati paus bernama asli Jorge Mario Bergoglio menurut kesaksian orang-orang terdekatnya, sudah menjadi jiwa dan gaya kepemimpinannya jauh sebelum terpilih menjadi pemimpin tertinggi gereja Katolik.
"..., Paus Fransiskus adalah satu di antara sosok yang memimpin dengan kerendahan hati," tulis penulis.
Paus Yohanes XXIII dan Robert K. Greenleaf
Konsep servant leadership (kepemimpinan yang melayani) telah menjadi tren akhir-akhir ini, termasuk dalam ruang lingkup profan. Meskipun demikin belum banyak yang tahu siapa sejatinya orang yang pertama yang mencetuskan konsep servant leadership. Pada halaman 130-138, penulis secara lengkap memaparkan apa itu servant leadership, siapa orang yang pertama mencetuskan konsep servant leadership, dan servant leadership dalam gereja Katolik.
Robert K. Greenleaf dipandang sebagai orang yang memopulerkan teori kepemimpinan yang melayani. Namun, konsep kepemimpinan yang melayani diyakini telah diajarkan oleh Yesus Kristus, pembawa ajaran kekristenan sejak awal Masehi. Robert K. Greenleaf adalah orang yang pertama mencetuskan konsep kepemimpinan yang melayani dalam esainya berjudul "The Servant as Leader pada tahun 1970 (hal. 134).
Namun Greenleaf sebenarnya terinspirasi oleh tulisan Paus Yohanes XXIII dalam artikel berjudul "Pope John XXIII: Nurturer of Spirits" (Paus Yohanes XXIII: Pemelihara Roh). Dalam pandangan Greenleaf, Paus Yohanes XXIII adalah "salah satu contoh terbesar sepanjang masa tentang pelayan yang memelihara jiwa manusia--baik rohnya sendiri maupun roh jutaan orang yang mengenalnya."
Manajemen Konflik dan Damai Berkelanjutan
Umumnya orang berusaha menjauhi atau menghindar dari konflik. Kebanyakan orang ingin cari aman. Padahal menurut penulis, konflik adalah sebuah keniscayaan. Konflik hadir sebagai bagian dari realitas hidup manusia. Konflik justru menjadi batu ujian yang menempa orang untuk menjadi dewasa. Jadi, konflik harus dihadapi untuk menangkap hikmah-hikmah positif. Yang dibutuhkan adalah manajemen konflik.
Seseorang yang dapat melakukan manajemen konflik dengan baik akan menghasilkan resolusi konflik dalam institusi atau organisasi yang dipimpinnya (hal. 120). Manajemen konflik berbasis kepemimpinan yang melayani akan dilakukan oleh seorang pemimpin yang memiliki dorongan kuat untuk mengabdikan diri demi penyelesaian konflik (hal. 141).
Rekonsiliasi dan perdamaian berkelanjutan lahir dari prinsip moralitas Katolik dalam menyelesaikan konflik, yaitu kasih dan pengampuna; bukan sanksi hukum. Karena pendekatan hukum hanya melahirkan rekonsiliasi dan perdamaian yang semu (hal. 152).
Buku ini, seperti dijelaskan oleh sang penulis sendiri, merupakan pengembangan dan pemutakhiran disertasi sekaligus hasil penelitiannya berjudul "Manajemen Konflik Berbasis Servant Leadership pada Ordinariatus Castrensis Indonesia ". Disertasi tersebut merupakan bagian dari persyaratan untuk memperoleh gelar doktor dalam bidang Ilmu Manajemen, konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), yang berhasil diraih di Universitas Negeri Jakarata (UNJ) dengan predikat cum laude pada Selasa, 1 Oktober 2019.
Buku ini terbagi dalam lima bab. Bab pertama, sekaligus bab pendahuluan, menghadirkan pemaknaan "konflik dan kehidupan manusia". Bab Kedua berisi pemaparan tentang apa itu Ordinariatus Castrensis Indonesia (OCI) dan berbagai konflik yang terjadi. Bab ketiga mengetengahkan tentang manajemen konflik berdasarkan nilai-nilai Katolik dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Bab keempat memuat analisis dan "praktik baik" kekuatan kepemimpinan yang melayani (servant leadeship) sebagai basis manajemen konflik yang menghasilkan rekonsiliasi (reconciliation) dan damai berkelanjutan (sustainable peace). Bab kelima berisi kesimpulan.
Buku ini pada hemat saya merupakan rangkuman komprehensif dan termutakhir dari seluruh hasil penelitian dan karya ilmiah penulis, baik dalam bentuk buku, jurnal, artikel, dan makalah.
Bagi mereka yang ingin mendalami tema seputar Ordinariatus Castrensis Indonesia, servant leadership, dan manajemen konflik, buku ini menjadi rujukan terbaik, karena belum banyak buku atau karya terkait yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Atau setidaknya, belum banyak pakar dalam negeri yang secara intens menggali dan mendalami tema-tema yang telah ditekuni penulis sejak di bangku kuliah filsafat dan teologi hingga tingkat doktoral.
Bobot dan relevansi buku di tengah pergulatan dunia dalam bidang servant leadership dan manajemen konflik terbaca dari banyaknya komentar dan apresiasi para tokoh nasional, tokoh gereja, dan akademisi atas buku tersebut. Prof. Ir. Purnomo Yusgiantoro, M.Sc., MA, Ph.D., IPU, pada pengantar menulis, buku ini memberikan terobosan ilmiah yang unik untuk menggali relevansi nilai-nilai moral keagamaan, dan mengaktuaisasikannya dalam kehidupan nyata.
Uskup Agung Ende, Mgr. Dr. Paulus Budi Kleden, SVD dalam sambutannya searah dan segagasan dengan penulis, bahwa penyelesaian konflik dan damai berkelanjutan di dalam sebuah masyarakat memerlukan servant leader, pemimpin yang berjiwa pelayan, yang memberikan diri untuk mendengar, menyapa, dan bergerak bersama masyarakatnya.
"Buku karya Romo Dr. Rofinus Neto Wuli ini pasti menjadi sumber inspirasi baik bagi para pemimpin maupun untuk para anggota," tulis Uskup Budi.
Prof. Dr. Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo yang juga Uskup Ordinariat Umat Katolik di Lingkungan TNI/Polri (Ordinariatus Castrensis Indonesia) dalam Prolog bersaksi: "Sungguh membahagiakan, penulis buku Manajemen Konflik, Servant Leadrship, & Damai Berkelanjutan ini, RD. Dr. Rofinus Neto Wuli, S.Fil., M.Si (Han), telah menemukan salah satu cara atau tindakan konkret yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah konflik di Indonesia."
Letnan Jenderal TNI, dr. Albertus Budi Sulistya, Sp. THT-KL., MARS, yang juga adalah Staf Khusus KSAD, Kepala RSPAD Gatot Soebroto (2022-2024), dan Ketua Tim Dokter Kepresidenan RI 2020-2024, dalam epilog menulis, buku ini membuka perspektif baru bahwa servant leadership (kepemimpinan yang melayani) dengan nilai-nilai universal, seperti kasih, kelembutan, pengampunan, dan solidaritas; mampu mengubah konflik menjadi peluang untuk menciptakan harmoni dan kedamaian yang berkelanjutan.
Sependapat dengan penulis buku ini, saya menganjurkan agar Ordinariat Umat Katolik di Lingkungan TNI/Polri (Ordinariatus Castrensis Indonesia) perlu mengembangkan penelitian-penelitian ilmiah, tidak hanya dalam kajian manajemen konflik, tetapi juga dalam aspek-aspek lainnya.
Sebagai master piece dari seluruh hasil penelitian dan karya ilmiah penulis, baik dalam bentuk buku, jurnal, artikel, dan makalah selama bertahun-tahun, buku ini layak jadi rujukan bagi peneliti dan penulis lainnya dalam menggeluti tema serupa. Ibarat tak ada gading yang tak retak, buku ini masih menyisakan kesalahan teknis, yang meski kecil tapi sangat mengganggu, apalagi berhubungan dengan kesalahan penulisan nama penulis buku yang jadi salah satu rujukan buku ini (lihat hal. 96-97). ***
Penulis adalah Pemimpin Redaksi portal berita IndonesiaSatu.co dan Tenaga Ahli Komisi XIII DPR RI
Komentar