REFLEKSI Aksi Teror, Teroris, Pengalihan Isu 16 Dec 2023 14:49

Dalam konteks terorisme, sejauh diketahui, dapat dipastikan paham, jaringan dan aksi teror(isme) itu benar-benar nyata.
Oleh Valens Daki-Soo
Beberapa tahun lalu saya ikut mendampingi pimpinan melakukan "sharing" dan dialog tentang kondisi aktual bangsa dengan pimpinan puncak dua lembaga keagamaan.
Salah satu dari tim kami, persisnya Kabid Intelijen Densus 88/Antiteror Polri (seorang perwira berpangkat Kombes) lalu memaparkan peta potensi, kantung, jaringan (domestik dan internasional), para figur/pentolan, tali-temali hubungan, cara kerja dan target yang diinginkan oleh teroris.
Saat makan siang usai dialog, seorang petinggi lembaga keagamaan tersebut berujar, "Wah, benar-benar bahaya ya. Jadi, gak benar kalau ada aksi teror dibilang pengalihan isu."
Menilai aksi/isu teror sebagai "pengalihan isu" adalah cara berpikir yang "amat Orba", karena memang pada era Orba disinyalir sering dilakukan Cipkon (cipta kondisi) dalam Opsus (operasi khusus): sudah ada benih-benih radikalis, dikondisikan supaya cepat "matang" lalu "pecah" (aksi) sehingga menjadi alasan untuk ditindak alias diberangus.
Cara kerja intelijen macam ini sudah tidak laku lagi pada era serba terbuka sekarang ini. Lagipula, Densus 88/Antiteror Polri itu polisi.
Cara kerja polisi itu gak sama dengan intelijen, apalagi intelijen militer, yang bisa melakukan "conditioning" sebelum suatu target ditindak. Polisi bekerja "post factum", setelah suatu kejadian, bergerak dari tempat kejadian perkara (TKP).
Bisa saja polisi, c.q. Densus 88, melakukan operasi penangkapan sebelum target (calon pelaku) beraksi. Namun, itu hanya bisa dilakukan jika kita telah memegang alasan dan petunjuk yang kuat, biasanya setelah diperoleh bahan memadai yang digali dari jaring-jaring teroris sebelumnya.
Misalnya, pagi ini saya tangkap Anis Wea yang diduga akan melakukan aksi teror di Flores -- ini cuma contoh.
Nah, untuk bisa tangkap Anis itu, saya harus gali dari jejaringnya yang sudah "diambil" sebelumnya, atau berdasarkan pasokan info dari rekan-rekan di negara yang punya kerja sama keamanan/intelijen dengan kita.
Lalu, kemarin ada yang bertanya, apakah mungkin ada yang nekat bunuh diri apalagi meledakkan diri sendiri pakai bom (suicide bombing)? Apakah gak gila kalau ada orang berani jadi "pengantin" alias pelaku teror dengan korbankan nyawa sendiri?
Mari saya jawab: Sangat mungkin, bahkan jika telah melewati proses cuci otak (brainwashing) yang efektif, itu "pasti" dilakukan dengan "gairah tinggi untuk mati".
Jika Anda ditanam dengan keyakinan tanpa henti bahwa hidup Anda telah dikuasai setan atau "thogut" alias 'dajjal' seperti Amerika dan Barat.
Bahwa hidup Anda atau keluarga/bangsa/agama Anda telah ditindas luar biasa. Bahwa kehidupan ini akan berlalu cepat atau lambat -- dan karena itu mati hari ini atau esok sama saja.
Bahwa setelah Anda meninggalkan dunia fana ini Anda akan disambut dengan segala kemuliaan, kebahagiaan, termasuk kenikmatan bercinta yang "super" dengan bidadari-bidadari elok tiada tara (meski kita bisa pertanyakan bagaimana bisa itu dinikmati karena ketika mati segala organ, fungsi dan sistem seksual pun sirna).
Dan bahwa "mati ledakkan diri" itu menjadi jaminan mutlak akan menikmati pahala surgawi itu -- kalau mental alias bawah-sadar Anda diisi dengan semuanya ini nonstop, pada saatnya Anda siap jadi "suicide bomber", pelaku bom bunuh diri.
ISIS/IS itu fakta. Radikalisme itu faktual. Ide Khilafah Islamiyyah itu fakta. Al-Jamaah al-Islamiyyaah (JI) itu fakta.
Terorisme dan jaringan teroris itu fakta. Di Indonesia malah sudah ada sejak dulu, dan secara historis dapat ditelusuri sejak DI/TII.
Itu bukan ciptaan Densus yang baru lahir pada 26 Agustus 2004.
Sedikit info, untuk melacak, menelusuri dan memastikan jejak-jejak teroris beserta jaringannya butuh waktu tak sedikit.
Bisa berbulan-bulan anggota Densus harus melakukan "surveillance", mengendus dan memastikan bahwa target (terduga teroris) pantas ditangkap. Berbulan-bulan pula para petugas kita itu meninggalkan keluarga tercintanya.
Memang pernah ada kasus salah tangkap juga. Namun, itu bagian dari dinamika di lapangan, dan jauh lebih banyak "benar tangkap" daripada salah tangkap.
Meski sudah dijelaskan, tetap saja ada pertanyaan, "Tapi apakah memang tidak pernah ada pengalihan isu?"
Di dunia politik, apapun mungkin terjadi. Namun dalam konteks terorisme, sejauh diketahui, dapat dipastikan paham, jaringan dan aksi teror(isme) itu benar-benar nyata. Itu "ancaman dan musuh bersama" bagi bangsa bahkan kemanusiaan universal.***
Penulis adalah peminat filsafat dan psikologi, pengusaha dan politisi, Pendiri & Pemimpin Umum IndonesiaSatu.co
Komentar