REFLEKSI Bila Sakit Hati atau Kecewa, Terima (dan Rasakan) Saja 28 May 2023 08:41

"Kemelekatan" pada diri sendiri (dan orang lain) maupun pada pangkat dan jabatan adalah salah satu hal yang menjauhkan kita dari perasaan/pengalaman bahagia.
Oleh Valens Daki-Soo
Ada seorang kerabat yang bertanya (untuk tidak mengatakan 'mengeluh'), "Bang VDS, kegagalan yang baru aku alami bikin hati sakit sekali. Rasanya kecewa dan sia-sia. Gimana ya mengatasinya?"
Jawabanku pendek saja dan mungkin juga tidak memuaskan dia, "Terima dan rasakan saja sakit itu. Selain rasa sakit itu tidak akan membunuhmu, dia juga sedang bikin Anda makin kuat dan dewasa menghadapi kehidupan."
Ternyata dia bisa terima pendapatku dan beberapa hari kemudian dia kirim pesan WA hanya untuk bilang, "Makasih, Bang. Saya rasa sudah lebih enak sekarang, lebih nyaman menerima keadaan."
Sesungguhnya tidak ada hal yang sepenuhnya hanya bikin sakit, kecewa dan merasa sia-sia. Dalam kepedihan paling getir pun, Anda bisa memetik hikmah untuk lebih kuat, lebih bijak, dan lebih mengandalkan Tuhan.
"Kemelekatan" pada diri sendiri (dan orang lain) maupun pada pangkat dan jabatan adalah salah satu hal yang menjauhkan kita dari perasaan/pengalaman bahagia.
Ketergantungan pada harapan, rencana dan obsesi sendiri sering justru memadamkan suluh kedamaian di dalam jiwa Anda.
Kerap kita mencari dan mengumpul kekayaan, memburu kekuasaan, mengejar cinta sedemikian intens hingga tanpa disadari menggerus rasa damai dan bahagia dalam hati sendiri.
Kita mungkin kadang berpikir, kepuasan atas apa yang diperoleh (harta, tahta, wanita/pria idaman) akan menjamin kebahagiaan sejati. Nyatanya tidak begitu.
Dalam usaha dan kemelekatan untuk meraih hal-hal itu kita malah justru tersandera oleh ego sendiri yang bikin kebahagiaan menjauh.
Tentu, saya tidak bermaksud mengatakan hal-hal tersebut buruk. Kita perlu kekayaan, karena dengan itu bisa hidup layak, makmur dan sejahtera. Kita butuh kekuasaan, karena bila dikelola dengan baik, jujur dan adil, manfaatnya akan menyemburat bagi kepentingan banyak orang. Kita butuh pasangan hidup (wanita atau pria) agar dapat saling mengisi, saling memperkaya, saling meringankan beban hidup, saling membahagiakan.
Namun, bila kita terlampau obsesif dan menganggap tanpa semua itu kita tak bisa bahagia, berarti kita telah mengalami kemelekatan pada sesuatu atau seseorang. Oleh karena itu, alangkah bijaknya jika kita mampu mengambil jarak secara mental/batin dari segala yang kita anggap penting demi kebahagiaan ataupun sekadar kesenangan saja.
Rasa sakit, kecewa dan sia-sia yang dialami seorang kerabat tadi bisa menjadi titik balik kehidupannya. Dia bisa menjadi lebih tangguh, arif bestari, dan bahagia menjalani hidup selanjutnya.
Jadi, Anda dan saya tidak perlu melekat pada suatu pengalaman dan perasaan, entah gembira atau sedih. Kehidupan ini penuh warna dan kita perlu bijak melukisnya. Kehidupan memang bagai lautan dengan masa tenang dan musim badai yang silih berganti, sehingga kita perlu mahir dan terampil mengemudikan bahtera hidup ini.
Penulis adalah peminat filsafat dan psikologi, pengusaha dan politisi
Komentar