HUKUM Kecam Pernyataan Akhmad Bumi, PADMA Indonesia: Wujud Brutalitas Patriarki dalam Sistem Hukum dan Pengkhianatan terhadap Profesi Advokat 23 Aug 2025 10:24
"Keadilan sejati hanya bisa tercapai ketika martabat korban dijunjung lebih tinggi dari arogansi dan kebrutalan verbal para penegak hukum," tandas Greg.
JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Lembaga Hukum dan HAM, Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia mengecam keras sikap, tindakan, dan pernyataan yang dilontarkan oleh Akhmad Bumi, selaku penasihat hukum Fajar Lukhman.
Direktur Advokasi PADMA Indonesia, Greg Retas Daeng, S.H, dalam keterangan tertulis kepada media ini, Jumat (22/8/2025), menilai pernyataan Akhmad Bumi yang menyamakan perempuan dengan komoditas bisnis, tidak hanya merupakan pelecehan terhadap martabat manusia, tetapi juga sebuah demonstrasi telanjang dari paradigma hukum yang buta terhadap korban, khususnya perempuan dan anak.
"Pernyataan Akhmad Bumi adalah cerminan dari logika transaksional yang keji dan merupakan serangan langsung terhadap esensi kemanusiaan korban," kata Greg.
Dengan menempatkan perempuan seolah-olah objek yang bisa dinilai secara ekonomi, kecam Greg, Akhmad Bumi secara sadar melakukan objektifikasi dan reviktimisasi, yaitu proses menyalahkan dan melukai korban untuk kedua kalinya melalui sistem yang seharusnya melindunginya.
"Ini bukan sekadar ‘salah ucap’, melainkan cerminan dari struktur patriarkal yang masih mengakar kuat dalam sistem hukum kita, di mana pengalaman dan penderitaan korban (perempuan) dianggap tidak relevan dan dapat direduksi menjadi angka-angka rupiah," sorot Greg.
Dari kacamata Teori Hukum Feminis (Feminist Legal Theory), jelas Greg, tindakan Akhmad Bumi adalah contoh nyata bagaimana hukum dan para praktisinya dapat menjadi alat untuk melanggengkan ketidakadilan gender.
"Alih-alih menjadi officium nobile (profesi yang mulia), advokasi yang ditunjukkannya berubah menjadi instrumen penindasan. Ia mengabaikan relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban, serta gagal total memahami trauma dan dampak psikologis yang dialami korban. Sikapnya memperkuat stereotip berbahaya bahwa perempuan korban hanya mencari keuntungan material, sebuah narasi klasik yang digunakan untuk membungkam dan mendelegitimasi suara korban," sorot Greg.
Selain itu, lanjut dia, secara sosio-legal, pernyataan semacam ini memiliki dampak destruktif yang luas.
Menurut Greg, Akhmad Bumi mengirimkan pesan mengerikan kepada masyarakat dan para korban kekerasan lainnya, bahwa sistem hukum tidak berpihak pada mereka. "Pernyataan ini menciptakan chilling effect, di mana korban lain akan merasa takut dan enggan untuk melapor karena khawatir akan dilecehkan, direndahkan, dan diperlakukan sebagai komoditas oleh aparat penegak hukum itu sendiri," timpalnya.
"Akhmad Bumi tidak hanya mewakili kliennya, tetapi juga merepresentasikan profesi hukum di mata publik. Tindakannya telah mencoreng marwah profesi advokat secara keseluruhan, meruntuhkan kepercayaan publik pada integritas penegak hukum," imbuhnya.
Pelanggaran Serius terhadap Konstitusi dan Peraturan Perundang-Undangan
Greg menegaskan bahwa sikap dan pernyataan Akhmad Bumi secara nyata bertentangan dan melanggar sejumlah landasan hukum fundamental yang melindungi hak-hak perempuan di Indonesia, yakni:
Pertama, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
"Pernyataannya melanggar hak konstitusional setiap orang untuk bebas dari perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G Ayat (2)," kata Greg.
Kedua, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Menurut Greg, meskipun kasusnya mungkin tidak secara langsung ditangani dengan UU ini, spirit dan prinsip utama dari UU TPKS adalah memberikan perlindungan dan pemulihan yang berpusat pada korban. "Tindakan Akhmad Bumi adalah antitesis dari semangat UU TPKS yang melarang keras segala bentuk reviktimisasi dan penyalahan korban (victim blaming)," sorot Greg.
Ketiga, ndang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW).
Pernyataan Akhmad Bumi dinilai merendahkan perempuan dan bentuk diskriminasi verbal serta psikologis yang jelas-jelas bertentangan dengan komitmen negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Keempat, ndang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia.
Greg beralasan, sebagai seorang advokat, Akhmad Bumi terikat pada sumpah profesi untuk menjunjung tinggi hukum, kebenaran, dan keadilan, serta menjaga martabat dan kehormatan profesi.
Dengan merendahkan martabat seorang perempuan, ia telah melanggar kewajiban etisnya secara fundamental.
Atas dasar hal tersebut, PADMA Indonesia menyatakan sikap:
Pertama, mengecam keras pernyataan Akhmad Bumi yang misoginis, tidak berperspektif korban, dan merendahkan martabat kemanusiaan.
Kedua, menuntut Akhmad Bumi untuk segera mencabut pernyataannya dan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada korban dan seluruh perempuan Indonesia.
Ketiga, mendesak Dewan Kehormatan Organisasi Advokat yang menaungi Akhmad Bumi, dalam hal ini PERADI, untuk segera memproses dan menjatuhkan sanksi etik yang tegas dan berat atas pelanggaran serius terhadap marwah profesi dan hak asasi manusia.
Keempat, mengajak seluruh elemen masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi hukum yang berintegritas, untuk bersama-sama mengawal kasus ini dan terus mendorong terciptanya sistem hukum yang berkeadilan gender dan berpihak pada korban.
"Ruang sidang dan proses hukum tidak boleh menjadi panggung untuk melanggengkan kekerasan dan pelecehan. Keadilan sejati hanya bisa tercapai ketika martabat korban dijunjung lebih tinggi dari arogansi dan kebrutalan verbal para penegak hukum," tandas Greg.
--- Guche Montero
Komentar