OPINI Mengapa Saya Masuk dalam Polemik dengan Steph Tupeng Witin? 22 Dec 2025 09:50
Akan jauh lebih baik dan bijak jika STW menulis dengan bahasa yang lebih pantas dan layak sebagai seorang pribadi yang matang, apalagi sebagai Imam Katolik.
Oleh Valens Daki-Soo*
TULISAN terbaru Steph Tupeng Witin (STW) yang dimuat oleh media online, www.korantimor.com, Sabtu (20/12/2025), menampilkan sedemikian banyak serangan ad hominem (serangan pribadi) terhadap saya, termasuk mengenai bentuk tubuh dan sebagainya. Sebagai tanggapan atas tulisan tersebut, sekaligus sebagai catatan pamungkas terhadap STW, saya perlu memberikan klarifikasi sebagai berikut:
Pertama, pada mulanya saya bersikap netral meski juga mulai ingin tahu -- karena tidak tahu persis -- ketika mendengar info/isu tentang adanya "mafia Waduk Lambo". Lebih konkret, saat itu saya mendapat informasi via telepon dari Primus Dorimulu (PD) -- adik kandung Bupati Nagekeo kala itu, dr. Don -- bahwa ada seorang wartawan bernama Patrianus/Patrick Meo Djawa (PMD) menjadi target ancaman atau intimidasi oleh sekelompok orang.
Kedua, mendengar informasi dari PD yang juga memberi nomor kontak PMD, saya secepatnya mengontak PMD dan kami bertemu di Cafe & Bakery, Mbay. Dia bercerita tentang banyak hal dan saya lebih pada posisi pendengar. Menanggapi ceritanya bahwa dia diintimidasi bahkan diancam dibunuh, saya berjanji akan memberikan proteksi. Sudah tergambar dalam benak saya pihak mana saja yang akan saya kontak bila PMD benar-benar dalam bahaya. Kebetulan saya punya nomor kontak Danyon Brimob di Ende, Dandim Ngada, dan Dan Kipan C Ende.
Ketiga, sejak itu saya banyak bergaul dengan PMD dan kawan-kawan. Saya persilakan mereka lanjut "menyerang" jika benar-benar ada mafia Waduk Lambo. Bagi saya, yang penting pembangunan Waduk Lambo berjalan baik dan manfaatnya kelak dinikmati masyarakat.
Keempat, saya tidak punya kepentingan pribadi dengan proyek Waduk Lambo. Saya bukan subkontraktor, penyuplai material atau pelaksana pekerjaan apa pun di sana. Saya punya usaha/bisnis pribadi di Jakarta namun tak ada kaitan dengan konstruksi. Silakan cek di website PT Veritas Dharma Satya (PT VDS): veritasdharmasatya.com. Jadi, tudingan STW terhadap saya dalam tulisannya sangat salah sasaran.
Kelima, saya berada lama di Flores karena saya punya urusan pribadi, antara lain mendampingi orang tua yang sudah sakit-sakitan, terutama ayah saya yang sudah kritis beberapa tahun terakhir. Doa dan harapan saya adalah ayah saya meninggal saat saya bersama beliau di akhir hayatnya. Tuhan mengabulkan doa saya: ayah saya meninggal dunia di Puskesmas Nangaroro, 19 Maret 2025 setelah memberikan berkat "tanda salib" di dahi saya dalam kondisi nafasnya yang sudah tersengal-sengal di balik masker oksigen.
Lagi-lagi, tudingan STW bahwa saya "lama di Flores untuk mengais rezeki di Waduk Lambo" adalah fitnah keji. Tuhan Maha Tahu melihat ini.
Perlu STW ketahui, bisnis saya di Jakarta berjalan baik karena manajemen yang baik di bawah kendali saya secara daring (online).
Keenam, ketika STW mulai menyerang adanya mafia Waduk Lambo di media online Flores Pos, saya masih netral membacanya. Dalam pikiran saya, jika itu benar ada, memang sebaiknya "disikat", entah melalui media ataupun melalui jalur hukum. Sekali lagi, bagi saya, yang terpenting semua pihak terdampak mendapat ganti rugi atau ganti untung yang layak dan manfaat Waduk Lambo dapat dinikmati masyarakat sekitarnya.
Ketujuh, ketika STW mulai menyinggung adanya "orang kuat di Jakarta" sebagai "beking" mafia Waduk Lambo, saya kemudian meresponsnya. Saya mengirim pesan WA kepada STW dan menanyakan "orang kuat" itu siapa yang dimaksud agar tidak terjadi fitnah. Pesan saya tidak ditanggapi. Begitu pula saya menelepon dua-tiga kali tidak diangkat/dijawab.
Soal telepon dan chat WA dengan STW, saya lebih banyak menerima chat STW daripada sebaliknya. STW rutin mengirim tulisan-tulisan reflektifnya, selain beberapa kali mengirim pesan urusan pribadi.
Kedelapan, saya mulai terusik ketika STW mulai terang-terangan menyebut nama Komjen Pol (Purn) Gories Mere (GM) dalam tulisannya. Menanggapi hal itu, saya mengirim pesan kepada GM di Jakarta, namun tidak segera dibalas. Saya maklum karena beliau sibuk bahkan sangat sibuk. Pada akhirnya beliau merespons dan menelepon saya, "Lens, apa yang dimaksud dengan mafia di sana? Coba Valens jelaskan." Saya mencoba menjelaskan situasi sejauh saya dengar. Beliau menjawab, "Wah, saya gak tahu itu. Nagekeo sekecil itu kok ada mafia segala. Saya gak tahu dan gak ikut-ikutan itu, Lens."
Kesembilan, karena serangan STW di media makin gencar, saya akhirnya menyarankan kepada GM agar saya menggelar jumpa pers di Mbay. Beliau setuju dan mempersilakan saya mengeksekusi saran tersebut. Tujuan saya hanya satu: membersihkan nama baik beliau dari tuduhan bahkan fitnah.
Para wartawan yang saya undang itu hanya beberapa yang saya simpan nomor kontaknya, yakni Patrick Meo Djawa, Willy Redo, Sevrin, dan Sherif Goa. Yang lain-lain saya ambil dari grup-grup WA. Soal pemberian amplop berisi uang transport untuk wartawan yang hadiri jumpa pers, saya sudah jelaskan pada tulisan terdahulu. Hal itu merupakan kelaziman di dunia pers. Jika ada wartawan yang menolak tidak masalah, namun nyatanya semua wartawan saat itu menerimanya.
Kesepuluh, pasca dimuatnya rilis berita dalam jumpa pers di beberapa media, muncul serangan STW terhadap Pak GM dan terhadap saya. Dengan cepat, tanpa cek dan kroscek, STW langsung menuduh saya bagian dari mafia Waduk Lambo.
Mari bayangkan, hanya karena saya menggelar jumpa pers di Mbay guna mengklarifikasi dan membersihkan nama GM, saya -- yang tidak punya urusan apapun di Waduk Lambo, dicap sebagai bagian dari mafia.
Pada bagian ini, saya akhirnya mengetahui karakter asli dua wartawan yang mulanya saya percayai atas rekomendasi PD. Mereka ternyata penyuplai info kepada STW, dan info itu tidak semuanya benar.
Belakangan, saya mendapat info kredibel dari perspektif yang berbeda tentang alasan dan konteks dari apa yang disebut "mafia Waduk Lambo" itu. Itulah yang menurut saya harus dibuktikan, bukan hanya dipertengkarkan.
Kesebelas, saya hanya satu kali merespons STW dalam bentuk tulisan dan berjanji tidak akan merespons lagi bila ada tulisan-tulisan STW muncul lagi dengan berbagai bahasa vulgar, kasar dan penuh prasangka bahkan fitnah.
Bagi saya, perdebatan dengan STW tidak layak saya tanggapi lagi karena levelnya sudah seperti anak kecil berkelahi untuk merebut mainan. Dalam bahasa daerah kami, perdebatan dengan STW lebih cocok disebut "papa bheo", baku tengkar. Bertengkar dengan asumsi dan prasangka, tanpa bukti dan fakta.
Keduabelas, ketika Redem Kono (sarjana filsafat lulusan IFTK Ledalero dan magister filsafat STF Driyarkara) menyampaikan akan menulis tanggapan, saya mempersilakan. Saya pikir baik kalau Redem menulis dengan perspektif yang lebih ilmiah. Kalau saya hanya menulis sejauh apa yang saya pikirkan tanpa perlu referensi ilmiah.
Jadi, tudingan STW bahwa artikel Redem merupakan tulisan saya, itu adalah penghinaan terhadap intelektualitas Redem yang menulisnya berdasarkan pikiran dan kajian analitisnya.
Ketigabelas, STW tidak perlu menyerang media IndonesiaSatu.co yang saya dirikan 1 Desember 2015. Media itu sarana bagi anak-anak muda mengekspresikan diri. Jelas, saya tidak menjadikan media sebagai "core business". Saya berbisnis di bidang lain. Media ini hanya saluran aktualisasi diri sekaligus mempromosikan nilai-nilai nasionalisme dan sebagainya.
Perlu STW ketahui pula, meski masih terbilang kecil, media ini turut menghidupi sejumlah orang. Jadi, STW tidak tepat dan tidak bijak jika menyerang dan merendahkan media ini.
Keempatbelas, STW menurunkan kualitas tulisannya dengan menyerang fisik saya: cara jalan saya dan sebagainya. Tuhan sudah memberikan saya tubuh dan gaya seperti itu. STW harus “sadar”, saya tidak pernah melakukan "body shaming", menyerang tubuh STW dalam tulisan saya.
STW juga tidak perlu mengatakan saya “motivator yang tidak bisa memotivasi diri sendiri”. Saya menulis motivasi di media sosial (medsos) hanya sebagai ekspresi spirit positif bagi sesama, bukan untuk mencari uang. Kalau STW dan kawan-kawan tidak butuh, abaikan saja. Toh, tidak sedikit teman-teman medsos yang mengirim pesan "merasa terbantu dan diteguhkan".
Saya juga tidak pernah mempertanyakan: Apakah STW sebagai imam sudah efektif dan berhasil mengkotbahi diri sendiri?
Kelimabelas, STW tidak perlu merendahkan profesi dan karir saya dari staf hingga menjadi pengusaha, dengan mengatakan "periuk nasi saya bergantung kepada GM".
Saya punya jejaring luas, tidak hanya dalam lingkaran GM. Benar, beliau sangat berjasa kepada saya dan kepada banyak orang lain, bahkan bagi bangsa dan negara. Namun, saya juga punya usaha, perjuangan dan karya mandiri yang tidak selalu bersama GM.
Keenambelas, STW tidak perlu mengklaim hanya dirinya sendiri yang berjuang untuk rakyat kecil. Kami juga bekerja dan memperjuangkan kepentingan rakyat dengan cara kami selama ini. Hanya kami bekerja dalam diam. Berkarya dalam senyap. Diakui atau tidak, kami tidak butuh validasi orang lain. Plakat penghargaan dari berbagai Kepala Negara di ruang kerja GM sudah "banyak bicara dalam kebisuan".
Jadi, kalau STW mengatakan saya adalah "antek GM", sebuah pilihan diksi yang kasar, saya tanggapi begini: saya bekerja bersama beliau untuk kepentingan republik. Bukan demi kepentingan pribadi. Soal uang, saya mendapatnya dari usaha/bisnis sendiri, karena negara memberi gaji/honor yang pas-pasan.
Terakhir, STW silakan menulis sebagai bentuk perjuangan, sebagaimana kami juga berjuang dalam bentuk lain. Itu baik, tanpa harus mereduksi potensi, kemampuan dan kontribusi orang lain. Akan jauh lebih baik jika STW menulis dengan bahasa yang lebih pantas, bijak, dan layak sebagai seorang pribadi yang matang, apalagi sebagai Imam Katolik. Kalau STW menulis dengan diksi yang vulgar bahkan brutal, tentu saja itu sama dengan melempar bola ke dinding, memantul kembali ke diri sendiri.
Selamat menyongsong Natal.
*Penulis adalah entrepreneur, Pendiri & Direktur Utama PT Veritas Dharma Satya (VDS Group)