Breaking News

BERITA Perkuat Bangsa dan Pancasila, Ansy Lema Ajak Kaum Milenial Cerdas Gunakan Teknologi 22 Jun 2019 15:54

Article image
Alumni PMKRI hadir sebagai Narasumber diskusi (kiri-kanan): Ansy Lema, Restu Hapsari dan Anton Doni. (Foto: Dok. PMKRI)
Milenial dapat secara kritis menyeleksi konten-konten positif tentang bangsa dan Pancasila.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- "Kaum milenial berperan besar bagi penguatan kebangsaan dan ideologi Pancasila. Artinya, dilahirkan antara 1983-2001, milenial menentukan masa depan Indonesia di masa yang akan datang, termasuk masa depan kebangsaan yang berideologi Pancasila. Masa depan Indonesia ada pada generasi milenial yang cerdas, kreatif, dan peduli, juga pada aksi literasi."

Demikian Diungkapkan Alumni PMKRI, Yohanis Fransiskus Lema saat menjadi salah satu narasumber Diskusi bertajuk: "Dunia Kampus, Milenialisme, dan Kebangsaan" yang digelar Pengurus Pusat PMKRI bertempat di Aula Margasiswa, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (19/9/19).

Politisi muda PDI Perjuangan yang akrab disapa Ansy Lema ini menegaskan bahwa hal itu harus dilakukan, karena adanya fakta mulai menurunnya kesadaran tentang pentingnya kebangsaan di kalangan kaum milenial.

Misalnya pada 2015, sebanyak 8,5 persen atau 58 dari 684 responden milenial yang bersekolah, setuju jika bangsa dan Pancasila sebagai dasar negara diganti ideologi trans-nasional.

"Artinya, satu dari 12 milenial setuju bahwa kebangsaan dan Pancasila harus diganti. Jumlah ini sangat besar mengingat pada tahun 2018, milenial Indonesia mencapai 90 juta orang berdasarkan data Biro Pusat Statistik(BPS)," papar DPR RI terpilih asal NTT pada Pileg 2019 ini.

Ansy mengutip penelitian terbaru dari Setara Institute (2019) yang mencatat adanya penyebaran ideologi anti-Pancasila di kampus.

"Ironisnya, indokrinasi itu dilakukan secara sistematis dengan menguasai sentra organisasi kampus-kampus negeri; leluasa menyebarkan doktrin ideologis yang menolak Pancasila dan paham kebangsaan," ujarnya.

Menurutnya, penyebaran radikalisme di kalangan milenial, dilakukan dalam cara yang beragam. Namun, salah satu penyebaran yang efektif dilakukan dengan memanfaatkan kedekatan milenial dengan teknologi informasi, terutama media sosial (medsos).

"Penyebaran ideologi radikal tersebut lebih banyak terjadi di kalangan milenial, karena kedekatan dengan media sosial seperti facebook, instagram, twitter, youtube, dan lain-lain. Sikap ingin tahu yang tinggi mengantar milenial pada indoktrinasi radikalisme di media sosial. Apalagi penyebaran tersebut didukung kebijakan dari pengelola media sosial," ujar mantan Dosen Universitas Nasional tersebut

Fenomena Echo Chamber

Dukungan media sosial dalam penyebaran radikalisme, papar Ansy, dimungkinkan oleh fenomena Echo Chamber yang ada dalam media sosial, dengan bantuan Filter Bubble. Echo chamber dimengerti sebagai bacaan, visual, audio visual, atau konten media sosial lainnya yang diulang terus-menerus dalam masyarakat internet. Dampak terjauh Echo Chamber adalah terjadinya ekstremitisasi preferensi nilai.

"Kita bayangkan gema suara kita dalam sebuah gua, suara yang kembali terdengar, terpantul kembali. Demikian pula media sosial dapat memunculkan preferensi atau pilihan kesukaan milenial netizen di media sosial. Apa yang sering diakses di media sosial akan dimunculkan pertama di layar media sosial setiap kali dibuka," jelas Ansy.

Ansy menambahkan, rekaman suka dan tidak suka yang dipantau saat netizen beraktivitas melalui klik, like, block, unfollow, unfriend, mute maupun share di media sosial, akan membantu media sosial menentukan pilihan (interest), sehingga akan terus-menerus dimunculkan.

Ansy melanjutkan, fenomena Echo Chamber ini semakin sulit dibendung karena terdapat algoritma yang memang sengaja diterapkan oleh platform media sosial di dunia, dua di antaranya Facebook dan Twitter.

"Algoritma ini diberikan nama Filter Bubble, yang penyortiran dan seleksi informasi oleh algoritma berdasarkan pertimbangan kecocokan, relevansi dan preferensi. Secara singkat, Filter Bubble ini merupakan isolasi informasi berdasarkan ketertarikan netizen," papar mantan Jubir Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2017 itu.

Menurut Ansy, dengan dukungan Echo Chamber dan Dilter Bubble, milenial bisa terindokrinasi melalui internet ketika membuka konten-konten berisi radikalisme secara terus-menerus.

Persis idiom "Birds of A Feather Flock Together", yakni orang-orang yang memiliki kemiripan, kesesuaian cenderung untuk berkumpul bersama atau membentuk kelompok tersendiri. Secara harfiah bisa dimaknai "Burung-burung yang berbulu sama, berkumpul bersama".

"Bagaimana kalau milenial tanpa pengawasan secara terus-menerus mengalami penyuntingan informasi atau konten radikalisme dan anti-Pancasila yang sama dan terus-menerus? Kemungkinan akan terjadi indoktrinasi dengan sendirinya," tambah Ansy.

Literasi Media

Menanggapi potensi penyebaran narasi yang menolak kebangsaan dan Pancasila di media sosial, Ansy mengajak kaum milenial untuk menyeimbangkan penggunaan media sosial dengan literasi media secara individu maupun kelompok.

Dalam konteks kebangsaan, jelas Ansy, literasi media dibarengi dengan upaya menanamkan kebangsaan. Milenial dapat menguatkan kebangsaan dan Pancasiladengan memanfaatkan teknologi media sosial.

"Milenial yang akrab dengan dunia digital, wajib membagikan informasi sehat, semai ide cerdas-bernas. Manfaatkan teknologi digital untuk mencerdaskan Indonesia dan membangun peradaban demokrasi," nilainya.

Jika tidak, lanjut Ansy, ruang publik niscaya didominasi hoax (berita bohong), fitnah, paham intoleransi. Akurasi informasi kalah, substansi soal tak dihiraukan, malah manipulasi-sensasi berjaya. Itu mengapa, generasi milenial harus bangkit melawan hoax dan fitnah dengan literasi-edukasi digital.

"Milenial dapat secara pribadi atau individu harus melakukan literasi media. Secara pribadi misalnya melakukan seleksi secara kritis konten-konten positif tentang bangsa dan Pancasila. Secara kelompok, dapat dilakukan upaya bersama untuk menyeleksi, bahkan menciptakan konten-konten positif yang dapat mengajak milenial lain untuk mencintai bangsa dan Pancasila," ujar Ansy.

Fungsi Edukatif

Pada bagian akhir, Ansy menekankan fungsi edukatif dari kampus atau sekolah bagi pendidikan literasi media.

Menurutnya, akar dari mudahnya penyebaran narasi anti-kebangsaan dan anti-Pancasila di manapun dan kapanpun adalah ketiadaan sikap kritis yang seharusnya diajarkan kampus atau sekolah.

"Kampus dapat memanfaatkan pelajaran-pelajaran humaniora (Sastra, Logika, Pancasila, Politik, Kewarganegaraan) dan pendidikan karakter (Agama dan Etika), agar melatih kaum milenial membiasakan variasi alternatif, kritis, kreatif memandang realitas atau melatih nalar dialektis kaum milenial. Juga membiasakan diskusi dalam kegiatan formal. Dari sini, milenial dapat secara kritis menyeleksi konten-konten positif tentang bangsa dan Pancasila," pungkasnya.

Hadir pula sebagai narasumber dalam Diskusi tersebut Politisi muda PDI Perjuangan, MM Restu Hapsari dan Politisi Partai Kebangkitan Bangsa, Anton Doni Dihen.

--- Guche Montero

Komentar