OPINI Refleksi Kebangsaan Indonesia 20 Aug 2025 12:02
Oleh: Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri*
Indonesia merdeka merupakan ”negara bangsa”, bukan negara agama atau negara etnik. Kebangsaan Indonesia lahir jauh mendahului Indonesia merdeka atau terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karenanya ikatan kebangsaan atau persatuan dan kesatuan bangsa harus kuat.
Secara geografis tanah air kita merupakan negara kepulauan, terletak pada posisi silang yang amat strategis, serta memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang amat melimpah. Konsekuensinya, beredar kepentingan asing di tanah air yang berhasrat menikmati SDA kita. Secara demografis Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar, nomer 4 terbesar di dunia, serta memiliki kebhinnekaan yang sangat luas dalam berbagai bidang dan dimensi kehidupan seperti ras/etnik, agama, bahasa, adat-istiadat, sosial, ekonomi, dengan tingkat kesejahteraan yang masih jauh dari predikat baik. Dalam ciri demografis ini, selain tersimpan berbagai kekuatan/keunggulan bangsa, juga sekaligus terkandung berbagai potensi konflik dan ancaman.
Kuatnya persatuan bangsa sangat tergantung pada cara kita mengelola kemajemukan dan upaya mencapai kemakmuran bangsa. Keliru mengelola kemajemukan atau gagal dalam memakmurkan bangsa, niscaya akan menjadi ancaman serius terhadap persatuan bangsa. Oleh karena itu, ada 2 (dua) pekerjaan rumah (PR) akbar bagi bangsa Indonesia dalam menatap masa depannya yaitu: ”menguatkan integrasi internal dan melaksanakan adaptasi eksternal untuk kemakmuran bangsa”.
Kebangsaan Indonesia
Banyak ragam pengertian tentang ”bangsa” yang berkembang secara universal. Ernest Renan, sastrawan asal Perancis, mendefinisikan nasionalisme sebagai “jiwa”, suatu asa kerohanian yang dibentuk oleh adanya kesamaan dan kemuliaan sejarah masa lampau, kemudian membentuk keinginan untuk hidup bersama ( _le desir de vivre ensemble_), merupakan solidaritas berskala besar serta kesamaan visi masa depan. Otto Bauer seorang pemikir asal Austria mengatakan nasionalisme adalah suatu kesamaan perangai atau karakter yang terbentuk karena perasaan senasib. Selanjutnya Dr. Hertz dalam bukunya “Nasionality in History and Politics”, mengemukakan empat unsur nasionalisme adalah: hasrat untuk mencapai persatuan, hasrat untuk mencapai kemerdekaan, hasrat untuk mencapai keaslian dan hasrat untuk mencapai kehormatan.
Pandangan Renan, Bauwer dan Hertz tersebut oleh para pendiri negara dianggap sudah kuno karena hanya mengangkat aspek manusia semata. Dengan mempertimbangkan karakteristik Keindonesiaan serta faktor sejarah terbentuknya kebangsaan, para "founding fathers" memiliki pandangan serta konsepsi sendiri tentang Kebangsaan Indonesia. Bung Karno dalam sidang BPUPK pada tanggal 1 Juni 1945 menegaskan bahwa Kebangsaan Indonesia harus pula disertai dengan kecintaan dan tanggung jawab akan “tempatnya atau tanah air beserta segenap kekayaan sumber daya alamnya”, dengan kata lain; “antara bangsa dengan tanah air harus pula menjadi satu kesatuan”. Senada dengan Bung Karno, Bung Hatta mengatakan Kebangsaan adalah “sesuatu yang berhubungan dengan perasaan terikat dengan tanah-air”.
Sayangnya, sejak proklamasi kemerdekaan hingga kini rumusan Kebangsaan Indonesia, buah pemikiran _founding fathers_ yang cemerlang tadi tidak pernah diinternalisasikan ke dalam masyarakat Indonesia termasuk pada kalangan pejabat negara, sehingga tidak tumbuh paham dan rasa Kebangsaan Indonesia sebagaimana rumusan tadi. Akibatnya kini kekayaan alam kita sudah banyak yang habis, hutan sudah punah, minyak dan batubara hampir punah, mas dan mineral lainnya juga sudah dikeruk besar-besaran. Ironinya, tetesan hasilnya tidak/kurang menyentuh apalagi meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pada bagian lain, ketika Bung Karno berbicara tentang Pancasila dalam sidang BPUPK pada 1 Juni 1945, sangat menekankan pentingnya kebangsaan atau nasionalisme. Bahkan pada awalnya beliau menempatkan nasionalisme sebagai sila pertama. Guru Besar Filsafat Pancasila dari UGM, Prof. Notonagoro dalam kuliahnya di Akademi Militer Magelang juga menyampaikan bahwa inti dari Pancasila adalah Persatuan Indonesia. Persatuan yang dijiwai oleh nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ini mutlak kata beliau, karena bila tidak dijiwai nilai sila pertama dan kedua tersebut maka kebangsaan Indonesia bisa bablas menjadi ”chauvinistik” dan berpotensi melahirkan fasisme.
Sila kelima adalah tujuan yang harus dicapai. Untuk mewujudkannya dilakukan melalui mekanisme sila keempat. Demikian lengkapnya isi kuliah Prof. Notonagoro tentang Pancasila. Dalam konteks ini, jelas bahwa Kebangsaan Indonesia dan kemakmuran bangsa adalah tujuan mulia yang harus diwujudkan bersama.
Sayangnya lagi, reformasi yang bergulir pada 1998 tidak mengarah pada perbaikan persatuan dan kemakmuran bangsa tadi. Penggantian UUD 1945 dari semula berlandaskan Pancasila dengan rohnya ”persatuan”, landasannya diganti dengan liberalisme dengan rohnya ”kebebasan”. Yang muncul kemudian adalah kebebasan yang nyaris tanpa batas, menyuburkan sikap Pragmatisme overdosis, Korupsi, Oligarki, Machiavellian. Juga pengerukan SDA kita pun makin berlangsung secara ugal-ugalan.
Penguatan Kebangsaan Indonesia
Mencermati perkembangan bangsa-negara seperti tercermin di atas, maka dalam jangka pendek upaya penguatan Kebangsaan Indonesia ke depan harus dilakukan dengan cara penataan ulang regulasi untuk memperbaiki sikap umum masyarakat, khususnya para pejabat negara, dalam rangka pemberantasan korupsi, karena korupsi sudah merambah luas, seperti kanker ganas yang mematikan. UU menyangkut korupsi harus lengkap, tegas, lugas disertai sangsi yang berat. Penegakannya pun harus keras tanpa pandang bulu.
Dalam jangka panjang upaya penguatan kebangsaan Indonesia yang paling efektif adalah lewat pembangunan karakter (Character Building). Pembangunan karakter digelindingkan lewat pendidikan karakter melalui penanaman tiga komponennya yaitu cipta, rasa, karsa (Ki Hajar Dewantara), dalam proses pendidikan formal, informal maupun nonformal.
Semoga dalam pemerintahan Presiden Prabowo ini persatuan dan kemakmuran bangsa akan tumbuh subur, bertambah kuat, meningkatkan daya saing bangsa dalam fora internasional.
Dirgahayu Indonesia!
***
*) Penulis adalah mantan Wakil KSAD, pernah menjadi Ketua Umum Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD)
Komentar