Breaking News

HUKUM RUU Penyesuaian Pidana, JRKN: Hapus Pidana Mati untuk Tindak Pidana Narkotika 04 Dec 2025 11:58

Article image
Kasus narkotika. (Foto: Infopublik)
JRKN menegaskan pentingnya reformasi kebijakan narkotika yang tidak hanya represif, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi jangka panjang.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) menyampaikan sejumlah catatan kritis terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana yang sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, Granat, dan sejumlah pemangku kepentingan lain, di gedung DPR RI, Selasa (2/12/2025).

RUU Penyesuaian Pidana merupakan mandat KUHP 2023 yang mengatur beberapa hal pokok seperti penyesuaian pidana terhadap UU di luar KUHP; penyesuaian pidana dengan peraturan daerah; dan penyesuaian dengan KUHP 2023.

Salah satu bagian penting dari RUU ini adalah pengaturan kembali ketentuan pidana narkotika guna mengisi kekosongan hukum, mengingat KUHP 2023 mencabut sejumlah pasal dalam UU Narkotika 35/2009.

Berkaitan dengan penyesuaian ketentuan pidana narkotika melalui RUU Penyesuaian Pidana tersebut, JRKN melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (4/12) menekankan bahwa revisi struktur sanksi pidana narkotika sangat mendesak dilakukan agar hukum pidana Indonesia lebih adil, efektif, dan selaras dengan prinsip HAM serta perkembangan kebijakan pidana modern.

Ada 4 poin penting disampaikan dalam RDPU tersebut, di antaranya pertama, pidana minimum khusus menimbulkan penerapan hukum yang tidak proporsional dan berimplikasi pada penumpukan jumlah narapidana yang melebih kapasitas hunian di Lembaga Pemasyarakatan/Lapas (prison overcrowding).

JRKN menyoroti bahwa pidana minimum khusus dalam UU Narkotika secara sistematis telah menjadi penyumbang utama overcrowding terbesar di Lapas.

Data Indonesia Judicial Research Society (IJRS) tahun 2022 menunjukkan bahwa 44,6% pengguna justru dipidana sebagai pengedar, membuat pengguna yang seharusnya mendapat hukuman lebih ringan malah wajib dijatuhi minimal 4 tahun penjara.

Karena itu, JRKN mendesak agar pidana minimum khusus untuk seluruh delik narkotika dihapus, sejalan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) (lihat SEMA 3/2015, SEMA 1/2017 dan SEMA 3/2023) yang sudah berupaya mengurangi penerapan minimum khusus untuk perkara yang pembuktiannya hanya menunjukkan penyalahgunaan.

Kedua, struktur sanksi narkotika tidak konsisten dan membingungkan. JRKN menyoroti berbagai ketidakkonsistenan dalam rumusan sanksi pidana di Pasal 111–126 UU Narkotika.

Ketiga, hukuman mati dalam delik narkotika tidak sejalan dengan prinsip HAM dan pembaruan sistem hukum pidana nasional. JRKN menyatakan bahwa hukuman mati tidak layak dipertahankan dalam delik narkotika.

Ada tiga alasan penolakan hukuman mati tersebut. Pertama, tidak memenuhi kategori “the most serious crimes” berdasarkan Pasal 6 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Komentar Umum No. 36/2018.

Kedua, kebijakan global narkotika sebagaimana dilaporkan International Narcotics Control Board (INCB) dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) tidak pernah mendorong negara menjatuhkan pidana mati untuk kasus-kasus narkotika.

Ketiga, data Harm Reduction Internasional (HRI) tahun 2025 menunjukkan 63% terpidana mati di Indonesia pada 2024 adalah kasus narkotika. Sementara data LBHM, IJRS, dan Reprieve tahun 2022 menemukan bahwa sebagian besar dari mereka adalah kurir, bukan pengendali jaringan.

Keempat, banyak terpidana mengalami pelanggaran hak atas peradilan yang adil (fair trial) dan kondisi rentan, termasuk penyiksaan, diskriminasi, dan masalah kesehatan jiwa. Sebagai contoh kasus yang didampingi oleh IMPARSIAL yaitu Alm. Zulfiqar Ali. Lalu kasus yang didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) yaitu Alm. Humprey Jefferson dan Alm. Rodrigo Gularte.

"JRKN juga mengingatkan pemerintah dan Komisi 3 DPR RI bahwa mempertahankan pidana mati di dalam negeri bertentangan dengan upaya diplomasi Indonesia dalam menyelamatkan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri yang terancam hukuman serupa," ujar JRKN.

Keempat, dampak sosial-ekonomi pemidanaan narkotika sangat berat.

Penelitian IJRS bersama LBHM, Center for Detention Studies (CDS), dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), serta Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia tahun 2025 menunjukkan bahwa utang keluarga terpidana menumpuk akibat biaya proses hukum.

Selain itu, kesempatan kerja terhambat secara signifikan setelah keluar dari penjara—angka pengangguran mantan narapidana 5x lebih tinggi. Selanjutnya, negara membatasi akses kerja mantan narapidana pada banyak posisi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

"JRKN menegaskan pentingnya reformasi kebijakan narkotika yang tidak hanya represif, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi jangka panjang," kata JRKN.

 

Rekomendasi JRKN

JRKN merekomendasikan beberapa point terkait pembahasan RUU Penyesuaian Pidana yaitu pertama, menghapus pidana minimum khusus di seluruh delik narkotika;

Kedua, merevisi struktur ancaman pidana agar konsisten, proporsional, dan berbasis bukti;

Ketiga, menghapus pidana mati untuk tindak pidana narkotika;

Keempat, memastikan seluruh kebijakan selaras      dengan prinsip HAM dan pembaruan KUHP 2023.

“Reformasi kebijakan narkotika adalah bagian dari upaya membangun sistem peradilan pidana yang lebih efektif, berkeadilan, dan manusiawi,” pungkas JRKN. *

 

--- F. Hardiman

Komentar