Breaking News

POLITIK Tolak Putusan MK 135/2024, DPR Dinilai Merusak Pembagian Kekuasaan Negara 21 Jul 2025 19:58

Article image
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi Indonesia), Jeirry Sumampow. (Foto: Ist)
Dalam kaitan itu juga, maka pernyataan bahwa Putusan MK dimaksud ‘menyalahi konstitusi’ yang datang dari Ketua DPR adalah arogansi konstitusional.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Polemik terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024, yang memerintahkan pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, masih terus bergulir. Situasi ini semakin menegaskan krisis ketatanegaraan dan krisis konstitusional kita.

Semua fraksi di DPR bulat menolak melaksanakan putusan tersebut. Dan, belakangan Ketua DPR RI bahkan menyatakan secara terbuka bahwa putusan MK itu menyalahi UUD 1945.

“Sikap DPR ini, bagi kami, tidak saja menunjukkan ketidakpatuhan terhadap prinsip negara hukum, tetapi juga berpotensi menyeret DPR ke dalam tindakan inkonstitusional,” ujar Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi Indonesia), Jeirry Sumampow melalui pernyataan tertulis di Jakarta, Senin (21/7).

Dia mengatakan bahwa Putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat (Pasal 24C ayat 1 UUD 1945). Tidak ada satu pun lembaga negara, termasuk DPR, yang memiliki kewenangan untuk menilai, apalagi menolaknya.

“Dalam kaitan itu juga, maka pernyataan bahwa Putusan MK dimaksud ‘menyalahi konstitusi’ yang datang dari Ketua DPR adalah arogansi konstitusional. Sebab MK-lah penafsir sah terhadap UUD 1945, bukan DPR. Nah, jika DPR tetap “ngotot” menolak melaksanakan putusan ini, maka DPR pertama, telah melanggar sumpah jabatannya untuk tunduk pada konstitusi. Kedua, merusak tatanan pembagian kekuasaan negara, dan ketiga menjadi pelaku anarki kelembagaan,” ucapnya.

Begitu juga, pernyataan yang sering dikemukakan beberapa anggota DPR di publik bahwa melaksanakan putusan MK yang dinilai menyalahi UUD justru akan membuat mereka melanggar konstitusi adalah bentuk penyesatan hukum yang sangat serius.

Jeirry mengatakan, penalaran tersebut tidak hanya mencoreng akal sehat publik, tetapi juga merusak prinsip checks and balances dalam demokrasi konstitusional. Sebab, jika setiap lembaga negara merasa berhak menafsirkan sendiri konstitusi, maka sistem akan runtuh ke dalam kekacauan dan anarki kelembagaan.

Mestinya, kata Jeirry, sebagai representasi rakyat, DPR seharusnya menjadi teladan dalam ketaatan terhadap hukum dan putusan lembaga yudikatif.

“Sikap menolak tersebut justru mencerminkan arogansi kekuasaan legislatif dan memperlihatkan wajah kartelisasi politik yang memandang kepentingan partai lebih tinggi daripada supremasi konstitusi. Dan, penolakan seragam seluruh fraksi di DPR adalah bukti kuat bahwa yang sedang dipertahankan bukanlah kebenaran konstitusi, tetapi kepentingan kekuasaan partai politik,” ujarnya.

 

Kurangi Dominasi Politik Nasional

Jeirry mengatakan, sesungguhnya, anggota DPR RI merasa khawatir bahwa  pemisahan Pemilu akan mengurangi dominasi politik nasional terhadap kontestasi lokal.

“Ini adalah cerminan nyata dari politik kartel, di mana semua partai bersatu mempertahankan sistem yang menguntungkan mereka, bukan rakyat,” katanya.

Padahal, menurut Jeirry, jika DPR mau sedikit move-on dan berpikir secara positif dan terbuka serta mengedepankan kepentingan bangsa, bukan kepentingan internal semata, mereka akan dapat melihat bahwa Putusan MK No.135/2024 justru punya implikasi positif bagi perbaikan pemilu dan demokrasi kita.

Pasalnya, putusan itu memberi ruang bagi demokrasi lokal untuk tumbuh lebih otentik, memungkinan pemilu yang lebih fokus dan lebih berdaulat, membuka ruang bagi pemilih untuk memilih pemimpinnya tanpa dibayangi hiruk-pikuk kekuasaan pusat dan mengurangi ruang manipulasi dan kecurangan yang diakibatkan oleh kerumitan mekanisme teknis sistem 5 kotak suara.

Karena itu, menurut Tepi Indonesia, jika DPR tidak sependapat dengan substansi Putusan MK 135/2024, maka langkah yang bijak dan sah secara konstitusional bisa dilakukan dengan hal sebagai berikut. Pertama, mengajukan usulan amandemen UUD 1945 melalui MPR. Kedua, melakukan judicial review baru jika terdapat alasan hukum yang kuat dan substansial. Ketiga, melakukan perbaikan legislasi dengan tetap mematuhi putusan MK. Keempat, menempuh mekanisme etik terhadap hakim konstitusi jika ada dugaan penyimpangan.

Jeirry menilai bahwa situasi saat ini telah menciptakan kemacetan politik dan kebuntuan ketatanegaraan yang berbahaya. Karena itu, dia mengusulkan untuk perlu dipertimbangkan jalan keluar konstitusional dalam bentuk Dekrit Presiden untuk memastikan jalannya sistem demokrasi tetap dalam koridor konstitusi dan tidak dikangkangi oleh manuver-manuver politik praktis para elit di DPR.

“Karena itu, kami mendesak DPR untuk menghentikan tindakan inkonstitusional ini dan mengembalikan kepercayaan publik dengan menunjukkan sikap negarawan. Sebab, negara hukum tidak boleh tunduk pada kehendak politik mayoritas, tetapi harus berdiri tegak di atas prinsip konstitusi dan supremasi hokum,” pungkasnya. *

--- F. Hardiman

Komentar