Breaking News

OPINI “Fenomena” Rocky Gerung: Soal “Katêgoria” dan Soal-Soal Lain 13 Dec 2019 10:37

Article image
Ilustrasi logo Dunia Filsafat Ledalero. (Foto: ist)
Media membuat Gerung semakin penting, namun bukan karena kebenaran ucapannya, namun karena sifat kontroversialnya, dan media pun jadi sarana pendidikan politik yang negatif di Indonesia.

Oleh P Sil Ule, SVD

 

SAYA tulis beberapa waktu lalu mengenai konsep “Katêgoria”, yang jadi bagian dari logika Aristoteles. Karena hal ini sering jadi kesalahan umum (sering juga saya buat) maka saya ingin perjelas konsep ini, dengan memakai satu dua contoh yang agak ekstrem, dan mungkin dengan gaya sedikit ekstrem. Bagi saya, “fenomena” Rocky Gerung, yang ketenarannya di Indonesia hampir sama dengan (atau sudah melebihi?) presiden ini bisa dipakai untuk perjelas konsep “katêgoria” ini.

Namun, sebelumnya saya ingin klarifikasi posisi saya. Saya tidak kenal Rocky Gerung, dan tidak ada niat untuk menilainya sebagai seorang pribadi. Dengan perkembangan media sosial seperti sekarang, apa yang tampak di permukaan, sering tidak mewakili realitas di baliknya. Mungkin secara pribadi Pak Rocky Gerung adalah orang yang rendah hati, dengan karakter berbeda dengan yang tampak di media. Tentu ada yang punya perspektif yang sangat positif tentang Rocky Gerung, dan boleh jadi perspektif tersebut benar dalam sudut pandang tertentu.

Namun, perhatian saya adalah “fenomena” Rocky Gerung, sebagaimana ia tampak sebagai sosok kontroversial di media sosial. Apapun kepribadiannya, ketenaran “Rocky Gerung media” selalu berhubungan dengan kontroversi, dan secara terbuka diakuinya bahwa ia ingin ucapannya “viral” dan jadi “kontroversi” (bandingkan komentarnya tentang Presiden dan Pancasila). Saya tidak punya kapasitas mengkritik pribadi Pak Rocky Gerung (yang pantas kita hormati), namun hanya ingin tanggapi “fenomena” Rocky Gerung sebagaimana tampak di media (yang punya banyak kata-kata yang patut dipersoalkan), sebagai sarana memperjelas salah satu soal filosofis tertentu seperti soal “Katêgoria”, atau soal lain yang mungkin penting.

Secara singkat, salah satu soal dari Rocky Gerung yang tampak di media sosial adalah Rocky Gerung yang memutarbalikkan “katêgoria” (kategori), khas gambaran Aristoteles terhadap logika kaum sofis. Ada beberapa alasan.

Pertama, saat berdebat dengan orang lain, Rocky Gerung (media) dengan mudah memakai kata-kata seperti “bodoh”, “tolol”, “dungu”, dan sebagainya. Padahal, kata-kata itu bukan kategori “argumentasi”, namun kategori “penghinaan”. Kategori “argumentasi” misalnya: “argumentasimu kurang tepat”, atau “ada alur berpikir yang keliru dari pendapatmu”, atau “engkau buat kategori realitas yang keliru”, atau “saya kurang setuju denganmu soal ini” atau “saya pikir asumsimu keliru”, dan seterusnya. Namun, jika seorang yang tidak setuju dengan pendapat saya bukannya membantah argumentasi saya, namun mengatakan saya “dungu”, maka ia tidak sedang berargumentasi, namun tampak kehabisan bahan argumentasi (karena mungkin egonya sedemikian tinggi, namun kecerdasannya tidak setinggi egonya), sehingga ia memakai senjata penghinaan pribadi. Kategori sikap ini biasa kita dengar dalam masyarakat primitif, yang jika sudah kehabisan argumen, akan menyerang dengan kekerasan fisik. Bedanya, Rocky biasa serang orang dengan kekerasan verbal; “bodoh, tolol, dungu”, dst.

Kedua, beberapa waktu lalu, “fenomena” Rocky kembali ramai oleh komentarnya tentang Pancasila. Karena ketenarannya yang semakin ikonik, di mana ia yang mengisi dinding media sosial, berita-berita media online, blog-blog pribadi, acara televisi, jadi idola para pelajar, dan bahkan bagi sebagian orang seeprtinya sudah dianggap sebagai “guru bangsa” (maaf kalau saya salah), maka kita perlu lihat apakah ia “guru bangsa” yang bisa diandalkan. Saya hanya ingin tanggapi sebagaimana diberitakan Tempo online (https://nasional.tempo.co/…/wawancara-eksklusi…/full&view=ok).

Rocky (media) katakan bahwa “Pancasila itu bukan ideologi”. Sesudah dengar ide ini, orang biasanya ingin baca alasannya. Saya sangka bahwa Rocky ingin buat alasan dalam kaitan dengan defenisi khusus Marx tentang ideologi sebagai “kesadaran palsu”. Namun, ternyata alasan Rocky sangat berbeda dan istimewa (membabi buta): “Kalau ideologi, itu harus utuh enggak boleh bertentangan”. Di sini kita butuh imajinasi besar untuk pahami Rocky media, bagaimana mungkin soal ideologi berhubungan dengan soal utuh atau bertentangan? Utuh atau bertentangan macam mana?

Ada lanjutannya: “Sila pertama dan sila kedua sudah bertentangan. Ketuhanan yang Maha Esa artinya, hadapkan wajahmu ke langit. Hanya dari situ ‘sumber kebaikan’. Lalu saya bilang sila kedua ‘berbuat baik’ itu enggak perlu menghadap langit. Itu saya namakan humanisme”.

Ini argumen yang aneh. Tampak bahwa Rocky kacaukan dua kategori berbeda yaitu “sumber kebaikan” dan “(aktus) berbuat baik”. Seakan dengan mengakui bahwa Tuhan adalah “sumber kebaikan”, maka manusia tidak mungkin “berbuat baik”; sehingga pengakuan akan Tuhan dengan sendirinya memenggal kemanusiaan.

Padahal, dua kategori ini jelas beda. Baik ateis atau kaum teis bisa berbuat baik dan akui ideal kemanusiaan yang sama. Yang beda sebenarnya ialah pengakuan akan “sumber kebaikan”. Para pendiri bangsa yang percaya pada Tuhan telah dengan tepat gariskan: “Ketuhan yang Maha Esa”. Artinya sumber dari segenap kebaikan tindakan dari semua sila lain adalah Tuhan yang esa atau absolut, yang punya hukum moral dan ilahi yang absolut, tidak berdasarkan selera dan perubahan suasana hati atau pesanan politis. Dengan bersumber pada Tuhan yang punya hukum moral absolut ini, maka kita pun mengusahakan “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Sehingga kalau ada kelompok yang mendefenisikan kemanusiaan berdasarkan kelompok, agama, atau rasnya, maka itu bertentangan dengan ide Tuhan yang mengajarkan kasih dan persaudaraan absolut. Di mana pertentangannya?

Dua kategori ini bertentangan jika yang Rocky maksudkan adalah bahwa “sumber kebaikan” dari sila pertama Pancasila adalah Tuhan, sementara di sila kedua juga dikatakan secara eksplisit bahwa “sumber kebaikan manusiawi” juga adalah manusia tanpa Tuhan. Dengan ini, mungkin rumusan Pancasila mesti dibuat beda lagi; seperti “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan sila kedua juga berbunyi “Kemanusiaan Yang Maha Esa”, atau apapun formatnya seturut imajinasi kreatif Gerung sendiri. Jika orang-orang seperti “Rocky Gerung media” ingin membentuk Pancasila baru dengan kemanusiaan baru yang tidak bersumber pada Tuhan, maka itu hak mereka juga, namun mereka bisa buat di negeri ahistoris antah berantah yang mereka inginkan. Yang jelas, konsep kemanusiaan dan keadilan di Indonesia telah dibentuk secara historis oleh para pendiri bangsa berdasarkan sumbernya yang absolut yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian, sebenarnya pengakuan akan humanisme itu bisa diungkapkan, baik oleh kaum teis maupun kaum ateis. Yang jadi perbedaan adalah klaim tentang sumber dari sifat absolut kemanusiaan; kaum teis katakan berasal dari Allah, kaum ateis seperti Feuerbach katakan bahwa kemanusiaan berasal dari proyeksi manusia atas keagungan diri manusia sendiri. Tentang sumber moralitas ini akan saya bahas secara khusus, namun di sini cukup dikatakan bahwa “Rocky Gerung media” ini mempertentangkan kategori yang sebenarnya tidak bertentangan. Seakan-akan kategori yang satu maksudnya ke utara, yang lain maksudnya ke timur, dan mereka tidak pernah bertentangan karena beda maksud dan arah sejak awal mula, namun oleh “Gerung media” dikatakan dengan ribut dan percaya diri bahwa mereka sudah bertabrakan dengan keras. Orang pun memperhatikan dia, bukan karena ia benar, namun karena ia sedemikian aneh dan eksentrik. Tentu sejalan dengan prinsip “Rocky media”; yang penting “viral” dan “kontroversi”; dan ia berhasil.

Selanjutnya, saat baca potongan-potongan kalimat yang ia pakai, kita akan temukan frasa-frasa dengan makna yang kabur, rancu, dengan kadar akademis meragukan. Sebagai contoh, kata-kata seperti “Sila pertama sebenarnya teokrasi”. Bagaimana mungkin suatu pengakuan akan Tuhan Yang Maha Esa langsung dianggap “teokrasi”?

Teokrasi bisa dipahami sebagai “(sistem) negara yang dipimpin oleh seorang pemimpin religius” (https://dictionary.cambridge.org/dictiona…/english/theocracy). Gerung kacaukan kategori “paham” (Ketuhanan Yang Maha Esa) dengan “sistem negara” (yang dipimpin oleh seorang pemimpin agama yang mengklaim punya kekuasaan dari Tuhan), sehingga hanya dengan sila pertama saja, langsung berarti “teokrasi”, dan dipertentangkan dengan sila kedua. Padahal, negara Amerika, misalnya, percaya akan sumber dari otoritas konstitusinya dari Allah, namun tidak dapat dikatakan sebagai negara teokrasi. Bahkan Inggris yang kepala negaranya adalah Raja yang dianggap punya kekuasaan dari Tuhan, kita tidak bisa namakan sebagai “teokrasi”, namun “monarki konstitusional”. Lalu bagaimana mungkin Gerung katakan, bahwa hanya dengan sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”, langsung disebut sebagai teokrasi?

Frasa lain juga tidak kalah aneh: “Humanisme itu adalah kritik terhadap teokrasi”. Dari mana kesimpulan bahwa “humanisme adalah kritik terhadap teokrasi”? Gerung lagi-lagi kacaukan antara kategori “sistem pemerintahan” dengan “paham (kemanusiaan)”. “Teokrasi” memang sistem pemerintahan di mana negara dipimpin oleh seorang pemimpin agama (kecuali Gerung punya defenisi arbitrer sendiri). Namun, jika benar bahwa abad ke-15 menganut teokrasi (tentu ungkapan yang butuh banyak klarifikasi yang membosankan), maka humanisme sama sekali bukan kritik terhadap teokrasi, namun paham yang sudah ada jauh sebelum abad ke-15. Ada konsep tertentu dalam humanisme dunia Yunani kuno (contohnya dalam hubungan dengan pendidikan atau “paidea” Plato), ada juga humanisme Yahudi sebagaimana dipahami para Rabi (Erich Fomm tulis juga tentang ini), ada juga konsep humanisme Kristiani seperti dipahami Agustinus dan pemikir Gereja, ada humanisme Renaisans, ada humanism sekular, dan seterusnya. Konsep humanisme yang satu sering sedikit berbeda dengan konsep yang lain, bukan beda dalam konteks penghargaan terhadap manusia (karena semuanya berusaha hargai manusia), namun perbedaan tersebut selalu dalam arti cakupan, konteks, dan klaim mengenai sumber dari humanisme itu sendiri.

Jadi, lebih masuk akal suatu ungkapan yang berbunyi: “Demokrasi” itu reaksi terhadap “teokrasi” (walau ini juga bisa didebatkan panjang lebar) daripada mempertentangkan dua kategori yang berbeda seperti “humanisme” itu adalah reaksi terhadap “teokrasi”. Justru lebih dapat dipahami jika Gerung katakan bahwa ada “humanis” tertentu seperti Voltaire (humanis Renaisans), yang mengkritik keabsahan sistem teokrasi. Namun, ungkapan seperti “humanisme itu adalah kritik terhadap teokrasi”, akan mudah dinilai seakan tidak paham makna “humanisme”, makna “teokrasi”, atau mungkin juga karena gaya bahasa Indonesia yang sedemikian rancu dan kacau. Namun, untuk menghindari semua kritik, biasanya “Gerung media” suka ciptakan defenisi baru, bukan untuk cari kebenaran, namun supaya membenarkan semua kekacauan kosakata dan konsepnya. Dengan segenap kekacauan logis dan ignoransia sejarah seperti ini, “Gerung media” dengan percaya diri berkata: “Kalau mau debat ideologi, belajar sejarah ideologi, belajar logika, belajar prinsip-prinsip konsep dasar tentang demokrasi”. Kita tidak tahu mesti meringis kecut atau justru tertawa simpatik.

Ketiga, membaca komentar Gerung, muncul terlalu banyak keanehan. Hampir tiap katanya mengandung arti yang rancu dan membingungkan. Contohnya: “FPI itu organisasi masyarakat. Enggak harus tunduk pada negara. Kalau tunduk, dia jadi organisasi negara”. Banyak aspek bisa ditanggapi, namun saya batasi soal “kategori”. Kata “organisasi masyarakat” (Ormas) berarti “organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila” (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan). Karena itu, Ormas itu berhubungan dengan pembangunan demi tercapainya cita-cita pembangunan, dan masih dalam kategori “organisasi negara” yaitu organisasi yang membantu tugas-tugas negara dan dalam koridor ideologi kesatuan Pancasila. Namun, Gerung mungkin bisa berkilah, bahwa defenisi itu dibuat negara, karena Gerung ahli ciptakan defenisi sendiri. Namun, jika defenisi Ormas ingin Gerung buat sendiri, maka “Gerung” pastilah sebentuk lembaga legislatif di dunia antah berantah. Jika Ormas tidak perlu tunduk pada negara, maka Gerung memasukkan Ormas dalam kategori “organisasi makar”, atau “organisasi pembuat onar”. Saya yakin bahwa saat orang dirikan organisasi khusus yang kemudian secara praktik sering meneror Gerung, maka ia akan jadi orang yang berteriak paling ribut dan kencang soal ketidakadilan.

Selanjutnya, Gerung anjurkan bahwa “Ideologi FPI enggak usah dibenturkan dengan Pancasila. Karena itu keunikan dia.” Kalau tidak bertentangan, maka mengapa tidak setuju dengan aturan negara yaitu tunduk kepada Pancasila? Seakan-akan ada peraturan tentang sebelas orang jumlah pemain sepak bola, dan ada yang ingin masukkan empat belas orang, dan tentu ditolak, namun dengan “bijak” Gerung berpendapat bahwa tidak perlu dipersoalkan, mereka (yang ingin main dengan empat belas orang) itu tidak melanggar aturan. Padahal mereka jelas-jelas langgar aturan, namun oleh Gerung hanya dianggap “keunikan dia”. Lagi-lagi logika ajaib.

Ada lagi anjuran yang aneh. “Nanti dia berpotensi berbuat jahat? Ya, potensi. Orang berpikir tentang potensi kejahatan. Tiap orang punya potensi kejahatan. …Kalau ada kekhawatiran, ya diemin aja. Sampai kekhawatiran itu potensial jadi kriminal”. Di sini kategori “kelemahan pribadi” dikacaukan dengan kategori “kejahatan sosial”. Dalam ranah pribadi, tiap orang punya potensi berbuat jahat, dan negara hanya bisa menghukum kalau sudah ada tindakan kriminalitas konkret. Namun, dalam konteks sosial, tidak bisa sebuah organisasi yang tidak sesuai dengan dasar negara diizinkan berdiri, hanya karena mereka hanya “potensial jadi kriminal”. Kriminalitas itu artinya melanggar hukum, dan kalau suatu organisasi tidak sesuai dengan hukum, apalagi dasar negara, maka ia bukan lagi “potensial jadi kriminal”, tapi sudah jelas bertentangan dengan hukum. Jadi, jika dalam sebuah kelurahan ada aturan bersama supaya tidak buat keributan, misalnya, dan ada geng tertentu yang “secara resmi” punya tujuan buat keributan, maka lurah yang bertanggung jawab tentu akan menolak berdirinya secara resmi kelompok ini. Bahwa secara pribadi orang punya potensi buat ribut itu soal lain, namun mengizinkan secara resmi para peribut beraksi tentu tidak mungkin dilakukan lurah yang bertanggung jawab. Mengizinkan kelompok yang membuat ribut hanya dengan alasan “potensial jadi kriminal” hanya mungkin dilakukan orang yang tidak bisa diharapkan tanggung jawab apapun, selain menghadirkan “kontroversi” supaya “viral”.

Ada lagi yang aneh. “Pancasila dianggap saja sebagai kesepakatan kebudayaan. Supaya dia living ideas. Dia bisa survive kalau diambangkan. Kalau dimaterialkan, dibekuk sebagai ideologi, dia berhenti. Kreasi kita terhadap bangsa berhenti begitu Pancasila dianggap sudah final. Pancasila tidak akan pernah final. Harus dianggap begitu”.

Dalam filsafat memang ada ungkapan tertentu yang sulit, dan anda butuh waktu dan ketelitian untuk pahami baik. Saya bisa pahami dengan baik ide sulit “aufhebung” Hegel, misalnya, dengan serius renungkan maksud kata-katanya. Namun, ada yang Lonergan namakan “inverse insight”, atau sebut saja sebagai “pemahaman terbalik”, yaitu semacam pemahaman sesudah ulang-ulang baca sebuah ide, dan temukan bahwa ide tersebut ditaburkan saja secara serampangan. Pengalaman baca kalimat-kalimat “Gerung media” di atas ialah pengalaman “inverse insight”. Apa maksudnya Pancasila sebagai “kesepakatan kebudayaan”? Saat sekolah menengah kami ingat pengetahuan standar bahwa Pancasila merupakan “kristalisasi” dari nilai-nilai luhur bangsa, yang bisa mewadahi pluralitas suku, bangsa, agama dan ras Indonesia. Namun kini ada yang katakan Pancasila sebagai “kesepakatan kebudayaan”. Apa maksudnya bahwa kebudayaan-kebudayaan membuat kesepakatan yang menghasilkan Pancasila (aneh jadinya: kebudayaan bisa buat kesepakatan), atau orang-orang dari kebudayaan berbeda buat kesepakatan tentang Pancasila (padahal secara historis ia direnungkan dan dirumuskan oleh Soekarno dengan mempertimbangkan pluralitas agama, ras dan budaya), atau apa lagi maksud frasa aneh seperti ini?

Selanjutanya, ada kata-kata membingungkan lain lagi: “Supaya dia living ideas. Dia bisa survive kalau diambangkan”. Kita coba abaikan struktur bahasa Indonesia, coba pahami maksudnya: “Living idea” artinya “ide yang hidup”? Dan “ide yang hidup” itu kalau ia “diambangkan”? Apa maksudnya bahwa Pancasila akan tetap jadi ide yang hidup bila hanya diambangkan saja (di awang-awangkan di pikiran Gerung maksudnya?), dan tidak “dimaterialkan sebagai ideologi” bangsa?

Saat SMA, kami baca Magnis Suseno tentang pelbagai konsep “ideologi”, dan sepanjang yang saya pahami, “ideologi Pancasila” bukan berarti “kesadaran palsu” dalam konteks Marxian, namun dalam arti “dasar negara yang berisi kristalisasi ideal bersama, yang mewadahi pluralitas dimensi hidup, suku, ras dan budaya bangsa Indonesia yang plural”. Setuju dengan Gerung bahwa Pancasila mesti dirumuskan terus secara konkret. Namun, saat ada bahaya konkret Ormas yang tidak akui Pancasila atau bertindak bertentangan dengan Pancasila, Rocky justru bermain kata: Pancasila mesti terus jadi “Ide yang terus diambangkan”.

Dalam contoh ekstrem, tampak seakan kalau ada yang ingin menganiaya orang lain, dan orang bicara tentang hukum yang akan mengadili atau memenjarakan penganiaya ini, maka Rocky Gerung dengan percaya diri bicara tentang “hukum yang mesti terus diambangkan”. Padahal, bahkan kalau hukum hanya berisi aturan dan ide umum, namun jika ada kasus kriminal konkret, maka ide umum itu mesti juga punya daya untuk dipakai dalam kasus konkret, bukan terus jadi “ide yang terus diambangkan”. Pancasila boleh jadi bersifat abstrak menurut Rocky, namun manakala ada yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang terkandung di dalamnya, maka bagaimana mungkin Gerung dengan percaya diri bicara “ide yang mesti terus diambangkan”? Bagaimana mungkin jika ada yang mau mengganti dasar negara dengan dasar lain yang menghapus pluralitas suku, agama dan budaya bangsa, supaya jadi seperti suasana Eropa masa inkuisisi Kristen, misalnya, orang masih dengan ribut dan percaya diri katakan itu hanya “potensi jadi kriminal”, dan Pancasila mesti tetap jadi “ide yang diambangkan”?

Atau mungkin boleh jadi bahasa Rocky yang kacau memang karena dikacaukan media. Mungkin maksud Pancasila sebagai “ideologi” ialah bahwa Pancasila dipakai untuk menindas orang-orang yang tidak bersalah, dan pemahaman Pancasila seperti ini mesti dilawan. Semua orang pasti setuju dengan ini, karena “ideologi” Pancasila seperti ini adalah sama dengan “kesadaran palsu” Marxian. Namun, tetap bahwa secara teoritis, ideologi Pancasila tentu berbeda dengan ideologi Marxian, dan ini telah dijelaskan para ahli filsafat seperti Frans Magnis Suseno atau Dryarkara. Namun, konteks peristiwa dan pembelaan Gerung tentang Ormas tertentu tampaknya bukan karena Pancasila digunakan secara salah, namun supaya seakan Pancasila mengambang tanpa taji konkret terhadap soal bangsa. Entah di dunia mana “Rocky Gerung media” ini hidup. “Gerung media” ini tampak sebagai politisi yang membela kelompok tertentu sambil mengklaim diri atau dianggap intelektual mumpuni.

Ada begitu banyak hal yang bisa ditanggapi dalam ucapan “Rocky Gerung media”, yang seakan bertentangan dengan sebagian besar prinsip filsafat, logika atau sejarah. Kita pun sadari bahwa kita hidup di masa ketika yang media inginkan bukan orang-orang berkualitas yang bicara, namun orang-orang kontroversial yang dengan sengaja mencari “kontroversi” dan jadi “viral” (seperti diakui Gerung sendiri). Media membuat Gerung semakin penting, namun bukan karena kebenaran ucapannya, namun karena sifat kontroversialnya, dan media pun jadi sarana pendidikan politik yang negatif di Indonesia.

Sementara itu di sisi lain ada juga yang membuat Gerung seakan makin penting dengan selalu ingin mengadukan Gerung ke ranah hukum. Sekan-akan ia adalah tokoh penting yang ucapannya mesti ditanggapi dengan serius secara hukum. Padahal kalau diabaikan saja, semua komentarnya akan berlalu tanpa pengaruhnya. Saya yakin ada yang sebenarnya tidak suka “Gerung media”, namun karena kesal karena sedikit-sedikit ia dibawa ke ranah hukum, justru akhirnya seakan membela Gerung, walau tahu baik bahwa komentar-komentarnya tidak ada gunanya.

Kini tampak imaji tentang “Rocky Gerung media” punya kecenderungan menyerang orang-orang ternama atau hal-hal penting, dengan tujuan yang diakuinya sendiri “supaya viral” dan mengundang “kontroversi”. “Gerung media” ini tampak tidak peduli akan keseimbangan pikirannya, atau tanggung jawabnya sebagai intelektual; seakan satu-satunya kebajikan dan hal penting baginya ialah bersikap sinis supaya “viral”. Pada awalnya bagi saya ia tampak lucu dan membuat terbahak, namun sepertinya semakin lama banyak yang anggap serius ucapannya, dan ia pun tampak agak berbahaya saat mulai bermain-main dengan soal-soal prinsipil bangsa sambil dianggap serius.

Walau Pak Rocky Gerung di dunia nyata bisa jadi berbeda (kiranya pantas kita hormati), namun Rocky Gerung yang dikonstruksi media ini jauh dari keutamaan yang membuatnya pantas dihargai. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap sosok Pak Rocky Gerung di alam nyata, tampak bahwa “Gerung media” ini jadi imaji nyata mengenai gambaran Erich Fromm tentang “narsisisme patologis”. Seorang narsis patologis punya hasrat tidak tertahankan untuk dikenal dan tenar, atau dalam frasa Rocky supaya “viral”. Namun sayangnya, ia tidak punya kemampuan membangun sesuatu yang besar yang membuatnya dapat dikenal. Lalu apa yang ia buat? Hancurkan saja sesuatu yang besar dan penting agar "viral". Seorang teroris, misalnya, punya sindrom ini, di mana ia mungkin tidak dikenal sebelum aksinya, namun setelah meledakkan bom bunuh diri, ia akan “viral”. Demikian pula, “Rocky Gerung media”, tampak tidak punya sesuatu yang besar dan penting untuk dikatakan, namun menyerang banyak hal penting, supaya “viral”.

Mungkin di alam nyata karakternya berbeda, namun konstruksi media telah membuat sosok Rocky Gerung jadi imaji paling sempurna tentang “narsisisme patologis”. Mungkin aslinya beda, sehingga baik juga kalau Pak Rocky Gerung memperbaiki citranya sendiri yang telah sedemikian rusak oleh media.

 

Penulis adalah dosen STFK Ledalero -Flores - NTT

Komentar