Breaking News

OPINI From Jopu with Love 31 Mar 2025 23:09

Article image
Agustinus Tetiro (kiri) bersama Uskup Agung Ende pada acara HUT CIJ ke-90. (Foto: DOk. AT)
Harapan menyadarkan identitas kita sebagai anak adat dan anak Allah. Dengan kesadaran seperti itulah, kita melanjutkan kehidupan.

Oleh: Agustinus Tetiro*

 

Kongregasi para pengikut Yesus atau Congregatio Imitationis Jesu (CIJ) merayakan ulang tahun ke-90 pada 25 Maret 2025.

Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD berkisah dengan amat baik dan inspiratif tentang makna perjalanan sejarah CIJ dalam tiga kesempatan berbeda.

Saya mencoba membaca secara kreatif refleksi Bapa Uskup Budi tentang misi CIJ dan menarik relevansinya bagi kehidupan publik kita, para pemimpin lokal kita, dan untuk masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) diaspora.

Saya juga di sana-sini akan meminjam refleksi sejarawan gereja, Profesor Eddy Kristiyanto, OFM dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara dan Sosiolog, Profesor Eri Seda dari FISIP-UI, yang pernah dipaparkan dalam bedah buku “Tindakan Profetik dalam Aktualisasi Misi: Refleksi 90 Tahun CIJ” di aula lantai 4 Gedung Pastoral Gereja Katolik Santo Yosef Matraman, Jakarta Timur, pada Jumat (28/2/2025).

Spiritualitas Inkarnatif: Dari Jopu untuk Dunia

Kita mulai dari homili Uskup Budi Kleden pada misa perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-90 CIJ di Jopu, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende, NTT. Bertepatan dengan hari raya Kabar Sukacita (Anunsiasi), Bapa Uskup Budi memaparkan kesediaan Bunda Maria yang membuka diri pada peristiwa inkarnasi: Tuhan masuk dalam sejarah manusia.

Bunda Maria menerima salam (syalom) dari Malaikat Gabriel. Salam itu berupa karunia: “Hai Engkau yang dikarunia”. Bagi manusia, karunia yang paling kokoh dan dalam adalah penyertaan Tuhan (Providentia Dei). Manusia adalah tanda penyertaan Tuhan. Oleh karena itu, “Jangan kehilangan harapan!”

Lima belas tahun sebelum CIJ resmi didirikan, tepatnya pada tahun 1920, ada beberapa gadis dari Ili, Maumere, Kabupaten Sikka, menyatakan niat mereka menjadi biarawati. Namun, situasi saat itu sangat tidak memungkinkan. Perempuan pribumi masih dianggap belum layak dari berbagai latar belakang.  Penolakan itu datang dari sejumlah misionaris Eropa.

Kendati ada banyak penolakan, Mgr Vestrallen, SVD mendukung niatan para perempuan pribumi untuk bisa menjadi biarawati. Beberapa biarawati Eropa dari tarekat para suster misi abdi Roh Kudus, Servae Spiritus Sanctus (SSpS) juga berharap ada perempuan pribumi menjadi biarawati.

Bapa Uskup Vestrallen tidak memaksa kehendak. Beliau menghargai proses. Pada 1926, Mgr. Vestrallen membangun seminari menengah di Sikka, yang kemudian pada 1929 berpindah ke Mataloko, di Kabupaten Ngada.

Ketika kegiatan pendidikan dan formasi di seminari telah berjalan baik, Bapa Uskup Vestrallen mulai berpikir, “Kalau anak laki-laki sudah boleh masuk seminari, mengapa anak perempuan tidak dan masih diragukan kalau mereka ingin jadi suster?”

Maka, Mgr. Vestrallen berencana mendirikan sebuah kongregasi para biarawati pribumi. SSpS diminta bantuan dan kemudian diakui amat berjasa dalam membidani kelahiran CIJ.

Sebelum rencana Mgr. Vestrallen terealisasi, pada 16 Maret 1932, Vestrallen meninggal dalam perjalanan dari Ende ke Mataloko. Rencananya, setiba di Mataloko agenda pendirian CIJ akan dipertajam dengan menerima secara resmi para kandidat biarawati.

Rancangan Tuhan memang bukan rancangan manusia. Selalu ada salib dalam ziarah hidup manusia.

Pengganti Mgr. Vestrallen, yaitu Mgr. Heinrich Leven, SVD tahu betul salib di masa-masa awal pendirian CIJ. Termasuk, masih banyak tantangan  untuk meyakinkan para misionaris tentang pentingnya kongregasi perempuan pribumi.

Pada 25 Maret 1935, CIJ resmi didirikan di Jopu. Bapa Uskup Leven melihat ada yang baik datang dari Jopu.

Pada acara bedah buku di Matraman seperti yang telah disebutkan di atas, Mgr. Budi Kleden yang juga merupakan mantan Superior General SVD, menggambarkan pribadi Mgr. Hendrich Leven, SVD sebagai jembatan kehidupan. Jembatan kehidupan antar-para misionaris dari berbagai negara di Eropa, terutama dari Jerman dan Belanda. Jembatan kehidupan untuk otonomi awal gereja lokal.

Menjadi jembatan kehidupan untuk konteks kehidupan saat itu amat penting untuk dua agenda yang saling berkaitan.

Pertama, melunakkan superioritas para misionaris Eropa, yang menurut Pater Leo Kleden, SVD terjadi dalam 3 rangkap: (1) superioritas politik; karena merasa lebih tahu tentang dunia luas, (2) superioritas budaya; karena merasa apa yang datang dari Eropa lebih beradab, dan (3) superioritas religious; karena merasa yang membawa kekristenan ke tanah air.

Di saat bersamaan, ada agenda kedua, yaitu perlahan mempersiapkan otonomi gereja lokal, terutama otonomi personalia, dengan menghadirkan para rohaniwan, biarawan dan biarawati pribumi. Serta, otonomi manajemen finansial, yang memungkinkan gereja lokal mandiri secara ekonomi dan finansial.

Konteks sejarah lebih mondial diberikan oleh Prof. Eddy Kristianto, OFM. Di mata misi dunia, Indonesia timur adalah wilayah salib, penuh derita. Menarik bahwa gereja Katolik berkembang di Flores yang dijajah Belanda, mengingat Belanda sangat didominasi Protestan.

Prof. Eddy melihat positif globalisasi. Gereja diselamatkan oleh globalisasi. Pendirian tarekat dan kongregasi hidup bakti sangat marak di Eropa pada abad ke-19 dan kemudian mengalir hingga ke tanah misi.

“Gerakan misi justru ditemukan ketika si pelaksana gerakan misi mencari bentuk-bentuk kreatif,” ungkap Eddy tentang pendirian CIJ di Jopu.

Refleksi yang membawa relevansi CIJ dirumuskan dalam tiga hal. Pertama, kepedulian dan keterlibatan perempuan. Kedua, kerja sama di tengah dunia yang sekuler. Ketiga, semangat dan kontribusi CIJ yang harus terus dijaga dan ditularkan.

Apresiasi serentak tantangan datang dari Prof. Eri Seda. Mendirikan kongregasi untuk perempuan di Jopu di wilayah adat Lio yang sangat konservatif-patriarkal, tentu saja tidak bisa hanya dilihat sebagai suatu kerja manusia saja.

“Pasti ada campur tangan Roh Kudus,” ujar puteri sulung Frans Seda itu.

Prof. Eri memberikan tantangan, “Sejauh mana konteks budaya Lio dan Flores pada umumnya bisa beradaptasi dengan misi mulia para suster CIJ?” Jangan sampai, masih banyak perempuan dan anak yang kian terbelenggu dalam budaya yang tidak membebaskan mereka.

Peran CIJ dan CIJ-S di Tengah Dunia Sekuler

“Saat ini, para biarawati CIJ membuka sekolah-sekolah, panti-panti asuhan, supaya makin banyak orang mengalami Kasih Tuhan yang tanpa batas itu,” ungkap Mgr. Budi dalam bagian akhir kotbah di Jopu.

Apa yang telah dimulai di Jopu 90 tahun lalu, kini dialami oleh begitu banyak orang serentak masih menjadi pekerjaan rumah kita bersama.

Suster Magdalina, CIJ asal Jopu merasa bangga dengan kampung halamannya.

“Kalau dengar cerita orang tua kami, semenjak ada biara CIJ, orang-orang kampung di sekitaran Jopu tidak saling baku bunuh seperti waktu sebelumnya lagi. CIJ mengubah wajah keras masyarakat,” kisah sang biarawati dalam resepsi sederhana HUT 90 tahun CIJ di Kranji, Bekasi, Jawa Barat.

Karunia lain yang perlu disyukuri saat merayakan usia 90 tahun CIJ ini adalah berdirinya paguyuban kaum awam bernama CIJ Sekuler (CIJ-S). Mereka yang akan dengan cara kreatif menurut profesi masing-masing memperkuat misi CIJ, terutama di bidang pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi kaum perempuan dan anak-anak.

Misi CIJ yang telah disebutkan juga sejalan dengan program prioritas pemerintah daerah (pemda) se-NTT untuk mencegah tengkes (stunting) dan memperkecil jumlah kemiskinan ekstreme. Ada harapan bahwa dalam waktu 5 hingga 10 tahun ke depan, itu artinya ketika CIJ merayakan usia satu abad (100 tahun), stunting dan kemiskinan esktreme telah berkurang signifikan.

Itu artinya, gubernur, wali kota dan para bupati--yang mungkin juga dalam sejarah hidup mereka pernah mengalami kasih Tuhan melalui para suster CIJ-- yang telah berkomitmen dan berjanji untuk mengubah wajah NTT ke depan, perlu memperjuangkan misi yang sama. Para suster telah memulainya sejak hampir seabad yang lalu di sebuah kampung di pedalaman Lio, kini kita semua terpanggil untuk bergandeng tangan.

Jika teolog besar Karl Rahner mengatakan ada Kristen anonim bagi mereka yang belum mengenal Injil tetapi hidup dalam rahmat Tuhan dapat diselamatkan Kristus, maka kita yang telah dibaptis dengan nama Emanuel, Yohanes, Yosef, Christianus, Heribertus, Maria, Yasinta, dan lain-lain, harus juga hidup dalam rahmat dan karunia Tuhan dan iman. Iman, kata Santo Yakobus, tanpa perbuatan adalah mati.

Begitu juga harapan yang harus diaktifkan dalam tindakan profetik dalam konteks masing-masing, inkarnatif dan inkulturatif: masuk dalam darah daging budaya setempat.

Harapan menyadarkan identitas kita sebagai anak adat dan anak Allah. Dengan kesadaran seperti itulah, kita melanjutkan kehidupan.

Dalam pengharapan, kita semua adalah anggota CIJ sekuler dengan misi masing-masing.

 

* Penulis adalah Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (PP ISKA).

Komentar