Breaking News

OPINI Reshuffle: Sandiwara Prerogatif dan Ujian Moralitas Demokrasi 11 Sep 2025 20:11

Article image
Dr. Ferlansius Pangalila, S.H., M.H. (Foto: Ist)
Pada akhirnya, Demokrasi tidak diukur dari seberapa sering kursi menteri digeser, melainkan dari keberanian politik untuk berpihak pada kepentingan rakyat.

Oleh: Dr. Ferlansius Pangalila, S.H., M.H.*)

JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Reshuffle kabinet adalah hal lumrah dalam politik Pemerintahan di Indonesia, namun selalu sarat dengan sandiwara. Pasal 17 ayat (2) UUD 1945 memberi hak prerogatif Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri. Jokowi melakukannya 12 kali dalam dua periode. Presiden Prabowo Subianto, yang baru menjelang setahun berkuasa, sudah dua kali: 19 Februari 2025 dan 8 September 2025 .

Reshuffle selalu menjadi sandiwara politik yang menyita perhatian publik. Setiap kali kursi menteri bergeser ke orang lain, media segera menafsirkannya, para pengamat/analis politik akan mengurai berbagai skenario, dan termasuk masyarakat ikut berspekulasi. Reshuffle diamati bukan sekadar pergantian pejabat, melainkan penanda arah pemerintahan yang akan berjalan selanjutnya, apakah akan lebih stabil atau justru makin tidak jelas, terombang-ambing dalam kepentingan politik sektoral non kepentingan publik.

Pertanyaan krusial ialah apakah reshuffle ini lahir dari visi Presiden ataukah sekadar hasil tekanan partai yang ingin memperluas akses pada sumber daya negara. Dari jawaban inilah publik dapat menakar dua hal: apakah reshuffle berfungsi sebagai manajemen pemerintahan atau hanya menjadi distribusi kursi yang memperdalam ketergantungan pada oligarki.

Kabinet pada akhirnya merupakan wajah paling nyata dari politik hukum pemerintah. Ia bukan sekadar susunan teknokrat, melainkan juga cermin strategi kekuasaan sekaligus ujian kedewasaan demokrasi. Namun dalam praktik politik Indonesia, prerogatif Presiden hampir tidak pernah murni. Hak prerogatif ini selalu dibayangi oleh kalkulasi koalisi, lobi elite, dan kompromi dengan oligarki politik maupun ekonomi.

Awal pemerintahan Prabowo sudah menuai banyak kritik. Rencana pembentukan Zakenkabinet (Profesional) melahirkan 49 menteri, 56 wakil menteri, dan 123 penunjukan. Kabinet ini dikritik karena dianggap menghambat semangat reformasi birokrasi, berpotensi menyebabkan tumpang tindih birokrasi, dan membengkaknya anggaran.

Kabinet ini juga merupakan kabinet terbesar kedua setelah kabinet Dwikora II era Presiden Soekarno pada tahun 1966, yang berjumlah 109 menteri. Fenomena ini disinyalir terjadi karena praktik “politiek gerant”, atau budaya balas jasa politik, melalui pembagian kursi ke partai politik, termasuk pendukung maupun pihak yang kalah dalam pemilu. Konsensus politik memang diperlukan untuk stabilitas, tetapi seharusnya tidak mengorbankan prinsip meritokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik.

Reshuffle pada dasarnya adalah rekayasa politik hukum. Pertama, reshuffle adalah upaya konsolidasi, yakni memastikan para menteri bukan sekadar bekerja, tetapi juga loyal secara politik. Kedua, ia berfungsi sebagai akomodasi kepentingan partai, menjadikan jabatan menteri sebagai instrumen patronase yang rawan menggeser orientasi kabinet dari kepentingan rakyat ke kepentingan elite. Ketiga, reshuffle seharusnya berperan sebagai koreksi atas krisis tata kelola, yakni dengan mengganti menteri yang gagal, bermasalah, atau tidak adaptif terhadap dinamika global.

Namun ia hanya sahih bila didahului evaluasi kinerja yang objektif dan terukur, bukan sekadar hasil tawar-menawar politik di ruang tertutup. Tanpa mekanisme evaluasi yang transparan, reshuffle hanya akan memperpanjang tradisi kabinet transaksional. Dari perspektif politik hukum pidana, konfigurasi menteri tidak pernah netral: ia menentukan arah pemberantasan korupsi, reformasi aparat penegak hukum, sekaligus menguji keberanian negara menghadapi dominasi oligarki politik dan ekonomi.

Dampaknya nyata, data KPK 2004–2023 mencatat lebih dari 1.400 tersangka kasus korupsi: 300 anggota DPR/DPRD, 130 kepala daerah, belasan aparat hukum, dan lebih dari 40 menteri atau pejabat setingkat. Angka ini menunjukkan satu hal penting: kabinet adalah benteng pertama integritas negara. Rapuhnya integritas pejabat publik selalu berujung pada runtuhnya kepercayaan rakyat, sehingga susunan menteri bukan sekadar soal teknis birokrasi, tetapi ujian moral dan politik.

Justru karena itu, integritas tidak boleh diperlakukan sebagai formalitas, melainkan menjadi syarat mutlak good governance yang menuntut transparansi dan akuntabilitas. Pertanyaan mendasarnya sederhana: apakah para menteri baru sungguh bebas dari konflik kepentingan, patronase politik, atau jejak skandal hukum? Jika jawabannya negatif, reshuffle hanya menjadi ruang legitimasi baru bagi individu bermasalah, dan risiko moral hazard pun tak terhindarkan, nepotisme, oligarki ekonomi, hingga patronase politik yang kerap menyusup di balik jargon “penyegaran kabinet.” Tanpa etika politik yang kokoh, reshuffle hanya akan melahirkan kabinet miskin moralitas, yakni sekumpulan pejabat yang lebih sibuk menjaga kursi daripada menjaga kepentingan rakyat.

Reshuffle kali ini juga mencuat sebagai bentuk kontrol sosial formal. Presiden Prabowo tampak merespons gelombang protes publik dan tekanan ekonomi dengan mengganti lima menteri dan satu wakil menteri. Publik menanggapi dengan campuran harapan dan sinisme; pergantian nama menteri dianggap sebagai respons terhadap kebijakan yang kurang sensitif terhadap rakyat. Bahkan pasar saham sempat merespons negatif, IHSG turun sekitar 1,3% setelah berita reshuffle muncul, menandakan bahwa kepastian kebijakan ekonomi juga dipertaruhkan.

Di ruang digital, sindiran dan kritik langsung meningkat. Netizen menyoroti bahwa beberapa posisi menteri direshuffle terkait kepekaan sosial, bukan hanya rekam jejak teknokratik. Pengamat menyebut bahwa menteri yang “dilihat kurang sensitif terhadap rakyat” menjadi sasaran utama perubahan ini. Reshuffle kali ini bukan soal siapa yang masuk kabinet, tetapi apakah penggantinya mampu meredam keluhan sehari-hari rakyat: inflasi, ongkos hidup, dan gejolak sosial. Kekhawatiran publik untuk melihat dampak nyata terhadap kehidupan sehari-hari merupakan hal yang wajar.

Ada beberapa hal yang mendesak; Pertama, seleksi menteri harus berbasis integritas dan kapasitas, bukan sekadar loyalitas partai atau kedekatan dengan oligarki yang terbukti menyengsarakan rakyat. Publik sudah jenuh melihat kursi kabinet diperlakukan sebagai hadiah politik, sementara kualitas kepemimpinan dikesampingkan.

Kedua, visi kabinet pasca-reshuffle harus dikomunikasikan secara terbuka. Rakyat berhak tahu arah kebijakan negara, terutama dalam menghadapi krisis ekonomi, lonjakan harga beras yang sudah menembus Rp15.500 per kilogram, dan gejolak pangan lain yang langsung menghantam dapur rakyat. Transparansi di titik ini adalah ukuran keseriusan pemerintah, bukan sekadar jargon manajemen krisis.

Ketiga, evaluasi kinerja menteri wajib dilakukan dengan indikator terukur. Reshuffle berikutnya (jika terjadi lagi) harus lahir dari kebutuhan riil memperbaiki tata kelola, bukan sekadar memenuhi desakan elite yang ingin mempertahankan panggungnya. Keempat, penempatan pejabat publik hanya sah bila berdiri di atas prinsip rule of law. Tanpa fondasi itu, Reshuffle tak lebih dari ritual kekuasaan, menegaskan jurang antara hukum dan politik, sementara rakyat lagi-lagi dibiarkan hanya sebagai penonton drama yang tak kunjung usai.

Pada akhirnya, Demokrasi tidak diukur dari seberapa sering kursi menteri digeser, melainkan dari keberanian politik untuk berpihak pada kepentingan rakyat. Di titik inilah reshuffle Presiden Prabowo akan diuji: apakah ia dikenang sebagai langkah berani menuju demokrasi substantif, atau sekadar panggung sandiwara kekuasaan. Pertanyaan yang lebih konkret dan mendesak adalah: jika yang berubah hanya wajah di kabinet, sementara harga beras tinggi, BBM timpang, dan pejabat korup tak tersentuh hukum, reshuffle hanyalah ilusi pergantian tanpa makna, sementara rakyat tetap menanggung beban yang sama dengan perut yang masih kosong sambil menunggu keadilan sosial, kemanusiaan dan kesejahteraan yang entah kapan datang.

*) Penulis adalah Alumnus Program Pascasarjana Hukum dan Doktoral Kriminologi Universitas Indonesia.

 

--- F. Hardiman

Komentar