REGIONAL Jejaring Advokasi Geothermal Flores-Lembata Suarakan Tolak Geothermal 26 Oct 2025 23:08
"Kami merekomendasikan pengembangan energi yang ramah lingkungan, ramah masyarakat adat dan ramah kelompok perempuan dan anak non Geotermal,” ungkap mereka.
BAJAWA, IndonesiaSatu.co-- Jejaring Advokasi dan Masyarakat Adat Korban Geotermal Flores–Lembata, berkumpul di Kemah Tabor, Mataloko, Kabupaten Ngada, pada tanggal 22 hingga 25 Oktober 2025.
Bertemunya berbagai elemen dan lembaga tersebut dalam rangka memperkuat perjuangan menolak proyek panas bumi (geothermal) yang telah mengancam ruang hidup, kedaulatan rakyat, dan martabat masyarakat adat di Flores.
“Pertemuan ini menjadi ruang konsolidasi dan penyusunan strategi bersama bagi gerakan rakyat di Flores dan Lembata yang menuntut penghentian proyek geothermal,” sebut Jejaring Advokasi dan Masyarakat Adat Korban Geotermal Flores–Lembata dalam rilisnya yang diterima media ini, Sabtu (25/10/2025).
Jejaring Advokasi dan Masyarakat Adat Korban Geothermal Flores-Lembata mengatakan bahwa proyek geothermal dipaksakan tanpa mendengar suara masyarakat adat.
Mereka menegaskan bahwa perjuangan ini lahir dari akar penderitaan rakyat, dari kampung-kampung yang tanahnya hendak direbut, airnya hendak dikuras, dan hutannya hendak dikorbankan atas nama transisi energi dan pembangunan berskala nasional.
Dikatakan, dari sharing dan evaluasi perjuangan tapak di berbagai wilayah seperti Wae Sano, Poco Leok, Mataloko, Laja, Were, Nage, Pajoreja, Lari, Marapokot, Sokoria, Jopu, Kombandaru, Detusoko, Lasugolo, Oka Ile Ange Larantuka, hingga Atadei di Lembata, ditemukan pola yang sama dari berbagai proyek geotermal di Flores dan Lembata.
Strategi Adu Domba
Disebutkan, proyek geothermal memecah belah masyarakat, di mana perusahaan dan pemerintah menggunakan strategi pecah-belah melalui program bantuan, kompensasi semu, dan kampanye pembangunan untuk memecah solidaritas masyarakat adat.
“Strategi ini tidak hanya melemahkan perlawanan masyarakat, tetapi juga menimbulkan ketidakpercayaan antarwarga di level tapak. Program “bantuan” yang bersifat sesaat pun digunakan sebagai alat politik untuk memuluskan proyek ini dengan mempengaruhi warga,” sebut mereka.
Jejaring Advokasi dan Masyarakat Adat Korban Geotermal Flores–Lembata mengatakan, proyek geothermal mengabaikan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC).
Mereka menegaskan, sosialisasi dilakukan hanya sekadar formalitas tanpa memperhatikan hak masyarakat untuk bebas dari manipulasi dan paksaan, tanpa melalui persetujuan sebelum tindakan diambil.
Sosialisasi juga tanpa informasi yang akurat, objektif dan dapat dimengerti, serta tanpa meminta kesepakatan masyarakat untuk menerima atau menolak proyek.
Selain itu, meningkatnya tekanan, intimidasi, dan kriminalisasi; yang mana masyarakat adat dipaksa setuju, warga yang bersuara kritis dihadapkan pada aparat keamanan, ancaman hukum, dan stigma sebagai penghambat pembangunan.
“Kekuasaan negara digunakan untuk membungkam, bukan melindungi. Warga yang menolak proyek tidak hanya terancam secara fisik, psikis dan kekerasan seksual, tetapi juga dijauhi secara sosial,” ungkap mereka.
Menurut Jejaring Advokasi dan Masyarakat Adat Korban Geotermal Flores–Lembata, hal itu menimbulkan trauma kolektif dan membatasi kemampuan masyarakat untuk memperjuangkan haknya secara terbuka.
Selain itu, terdapat praktik serupa SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation), di mana warga yang menolak proyek atau mengungkap kerusakan alam, justru dihadapkan pada gugatan hukum yang mahal dan berkepanjangan.
Mereka mengatakan, skema ini terbukti dipakai negara untuk menakut-nakuti, dan menekan warga agar mundur dari gerakan perlawanan, sehingga hak masyarakat atas partisipasi dan pembelaan ruang hidup terancam.
Disebutkan, pemerintah dan pihak perusahaan mengklaim geothermal sebagai “energi bersih” di mana proyek panas bumi dipromosikan sebagai energi bersih, padahal menimbulkan kerusakan ekologis.
“Transisi energi semacam ini hanyalah wajah baru dari eksploitasi. Label “energi bersih” menutupi kenyataan bahwa proyek ini sering mengabaikan prinsip keberlanjutan dan melanggar hak masyarakat adat,” ungkap mereka.
Jejaring Advokasi dan Masyarakat Adat Korban Geothermal Flores–Lembata mengatakan, proyek geothermal mengabaikan kelompok rentan, terutama perempuan dan anak.
Jejaring menilai, kehadiran proyek geothermal telah mengancam hak-hak dasar perempuan dan anak sebagai kelompok rentan. Ancaman itu yakni berkurangnya akses terhadap air bersih, pangan, pendidikan dan kesehatan.
Karena itu, Jejaring menegaskan bahwa tanah adat bukan tanah negara, apalagi tanah perusahaan.
"Masyarakat adat memiliki kedaulatan atas wilayah adat. Karena itu, segala bentuk perampasan tanah adat adalah pelanggaran atas martabat manusia," tegas Jejaring.
Jejaring menyebut, pengakuan hak atas tanah adat harus bersifat mutlak dan harus dilindungi secara hukum.
"Setiap intervensi tanpa persetujuan masyarakat adat adalah tidak sah, menimbulkan konflik berkepanjangan. Biarkan mereka menentukan nasib sendiri dan mendapatkan persetujuan awal tanpa paksaan," sebut Jejaring.
Tanpa prinsip FPIC, lanjut mereka, setiap kegiatan eksplorasi dan eksploitasi adalah tindakan ilegal dan bertentangan dengan prinsip hak asasi masyarakat adat.
Prinsip Keadilan Ekologis
Jejaring menyoroti, FPIC bukan sekadar prosedur administratif, tetapi bentuk pengakuan hak kolektif dan kedaulatan masyarakat atas ruang hidupnya.
"Implementasi FPIC harus transparan, independen, dan bebas dari tekanan ekonomi maupun politik. Masyarakat berhak atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan," sorot Jejaring.
Mereka beralasan, hak atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan bukan sekadar hak simbolik, tetapi hak asasi yang terkait langsung dengan hak hidup, kesehatan, dan kelangsungan eksistensi masyarakat adat.
"Lingkungan yang rusak akibat kegiatan eksploitasi geothermal, seperti pencemaran air, udara, tanah yang mengancam kualitas hidup dan ketahanan pangan masyarakat adat. Dalam hal ini, prinsip keadilan ekologis menjadi wajib untuk diterapkan agar setiap kebijakan pembangunan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem alam, budaya, dan kesejahteraan masyarakat," tegas mereka.
“Pelanggaran terhadap hak ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menimbulkan kerugian sosial-ekologis jangka panjang yang berdampak lintas generasi,” sambung mereka.
Jejaring mengingatkan agar gereja harus menjadi benteng moral.
"Gereja sebagai institusi dan umat Allah yang sedang berziarah di dunia, harus menjadi rumah bagi warga yang termarginalkan akibat dampak proyek geothermal. Gereja perlu menghayati panggilan profetis untuk memperjuangkan kemanusiaan dan keutuhan alam sebagai ciptaan," beber Jejaring.
Mereka juga mendesak agar pemerintah, perusahaan, dan lembaga pendanaan untuk menghentikan seluruh proyek geothermal di Flores dan Lembata secara permanen.
“Kami mendesak pemerintah, perusahaan, lembaga pendanaan dan aparat penegak hukum untuk menghentikan segala bentuk kekerasan, intimidasi, diskriminasi pelayanan publik dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat,” tandas mereka.
Mereka berharap agar aparat negara harus menghormati prinsip hak asasi manusia dan berhenti menjadi alat kekuasaan semata.
"Perlindungan terhadap pembela lingkungan adalah kewajiban negara dan merupakan amanah undang-undang. Negara perlu mempertimbangkan mekanisme anti-SLAPP sebagaimana yang diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk melindungi warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat," tegas Jejaring.
Menurut mereka, hal itu sekaligus memastikan bahwa aparat penegak hukum tidak menggunakan proses hukum sebagai alat untuk menekan atau membungkam suara-suara kritis masyarakat.
“Kami merekomendasikan pengembangan energi yang ramah lingkungan, ramah masyarakat adat dan ramah kelompok perempuan dan anak non Geotermal,” ungkap mereka.
"Kami akan terus mengawal, mengorganisir, dan memperkuat perlawanan rakyat demi masa depan yang adil dan lestari," komit mereka.
Adapun Jejaring Advokasi dan Masyarakat Adat Korban Geotermal Flores–Lembata, terdiri dari: JPIC Keuskupan Agung Ende, Vivat Internasional, JPIC SVD Ende, JPIC SVD Ruteng, JPIC SSpS Flores Bagian Timur, Alter BKGF dan WALHI NTT.
Jejaring juga terdiri dari Sunspirit for Justice and Peace, AMMAN Nusa Bunga, IFTK Ledalero, Forum Peduli Lingkungan Hidup Paroki Laja serta Forum Peduli Lingkungan Hidup Paroki Wolosambi.
Jejaring juga beranggotakan Forum Peduli Lingkungan Hidup Kevikepan Mbay, Komunitas Warga Mataloko Tolak Geotermal, Masyarakat Adat Poco Leok, Masyarakat Adat Lasugolo, dan Masyarakat Adat Ata Kore–Atadei Lembata.
--- Guche Montero
Komentar