POLITIK Koordinator TePI: Waspada Siasat DPR Menunda Paripurna Pengesahan UU Pilkada 22 Aug 2024 16:14

Namun demikian, Jeirry tetap meminta warga agar waspada. Pasalnya, katanya, penundaan tersebut bisa saja sebagai siasat DPR untuk menunda sambil menunggu situasi demo massa protes makin reda.
JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Penundaan paripurna DPR RI yang sejatinya digelar pagi ini, Kamis (22/8/2024) menunjukkan bahwa sebagian besar anggota DPR tidak menyetujui keputusan Badan Legislatif (Baleg) untuk melakukan revisi UU Pilkada sesuai selera para elit parpol dan pemerintah.
“Ini juga menunjukkan bahwa keinginan untuk melakukan revisi UU Pilkada tersebut hanya merupakan keinginan segelintir elit parpol yang tak mau taat dan patuh terhadap konstitusi,” ujar Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow melalui pernyataan tertulis di Jakarta, Kamis (22/8).
Namun demikian, Jeirry tetap meminta warga agar waspada. Pasalnya, katanya, penundaan tersebut bisa saja sebagai siasat DPR untuk menunda sambil menunggu situasi demo massa protes makin reda.
“Sebab bisa saja malam nanti Paripurna tetap dilakukan jika para pimpinan partai memaksa dan mengancam para anggota dewan mereka untuk menghadiri Paripurna. Sebab menurut informasi yang beredar para anggota DPR tetap diperintahkan oleh pimpinan partai koalisi kartel untuk tetap berada di sekitar kantor DPR. Agar bisa sewaktu-waktu diperintahkan dengan paksa untuk mengikuti paripurna. Makanya tetap harus dikawal dan diwaspadai,” ujarnya.
Jeirry mengatakan, apa yang dilakukan oleh Baleg DPR itu sudah terang benderang cacat prosedur dan cacat substansi.
Cacat prosedur karena dilakukan terburu buru, mendadak dan tak mengikuti prosedur yang berlaku. “Koq bisa langsung ke materi yang mau direvisi? Tak ada naskah akademik dan proses menerima masukan publik. Jadi motif politik kepentingan kartel lebih dominan, ketimbang semangat untuk memperbaiki UU Pilkada dan memperbaiki demokrasi,” katanya.
Anggota DPR RI, menurut Jeirry, melakukan hal tersebut untuk kepentingan memuluskan praktek kartel politik yang sedang KIM Plus lakukan bersama pemerintahan Jokowi. “Busuk motifnya!,” tegasnya.
Selain itu, katanya, revisi UU Pilkada tersebut juga cacat substansial, karena draft yang mereka susun sebelumnya bertentangan dengan substansi putusan MK No. 60 dan 70. “Jadi secara substansial ini pembangkangan konstitusi. DPR sebagai lembaga tinggi negara sudah tak taat dan patuh konstitusi,” ujarnya.
Karena itu, apa yang dilakukan Baleg DPR ini menunjukkan arogansi kekuasaan yang salah kaprah. Hal ini juga menunjukkan bahwa DPR belum merdeka dari keserakahan materi dan jabatan serta keikhlasan untuk melayani rakyat. “Ini tentu sebuah ironi di tengah suasana perayaan kemerdekaan kita ke-79. Sangat mengecewakan!,” ujarnya.
Namun, DPR bisa saja tetap memaksakan untuk mengesahkan RUU Pilkada yang mereka buat. Sebab kewenangan itu ada, meski dipaksakan dan semena-mena dilakukan.
Hanya saja, katanya, substansi RUU Pilkada itu tidak boleh berbeda dan bertentangan dengan Putusan MK 60 dan 70 itu. Jika substansi materi RUU itu berbeda dengan putusan MK, maka putusan MK yang harus diikuti oleh KPU.
“Karena melakukan revisi UU Pilkada yang berbeda dengan substansi putusan MK, mestinya batal secara konstitusional. Juga jika materi revisi itu mengkerdilkan atau mengurangi substansi putusan MK. Itu juga batal secara konstitusional,” ujarnya.
Karena itu, jika RUU Pilkada yang akan diputuskan tak sesuai dengan putusan MK, maka warga bisa langsung menggugatnya di MK, sehingga MK bisa segera mengembalikannya kepada substansi putusan MK sebelumnya. Dan dalam kondisi mendesak seperti sekarang, prosedur itu bisa saja secara cepat dilakukan oleh MK.
“Dalam kerangka itu, maka KPU juga mestinya mengikuti Putusan MK. Meski tak dapat persetujuan DPR, KPU tetap bisa menjalankan putusan MK. Toh dalam kasus Pilpres lalu, KPU juga melakukan putusan MK tanpa mendapatkan persetujuan DPR,” pungkasnya. ***
--- F. Hardiman
Komentar