SOSOK Paus Fransiskus, Sastra dan Nabi Pengharapan 28 Apr 2025 21:19

Jika kita mencintai Paus Fransiskus dan mencintai kemanusiaan sebagaimana yang diperjuangkannya, kita perlu makin banyak membaca dan menenun cerita-cerita kehidupan bagi anak cucu kita.
Oleh: Agustinus Tetiro*
Dunia kehilangan seorang pribadi besar sebagai otoritas moral dalam diri Bapa Suci, Sri Paus Fransiskus.
Ada banyak sekali testimoni yang ditulis oleh para pemuka agama, baik dari kalangan Kristen maupun non-Kristen, hingga orang biasa tentang pribadi ini.
Media-media arus utama hingga content creators mengisi kanal mereka dengan pemberitaan dan segala hal tentang Paus bernama asli Jorge Mario Bergoglio ini.
Dari banyak testimoni, ada satu aspek yang agak jarang dibahas secara tersurat, yakni soal peran cerita hidup dan sastra menurut Bapa Suci Fransiskus.
Tulisan sederhana yang amat pendek ini mencoba melihat dan memperlihatkan relevansi cerita hidup dan sastra yang bisa kita gali dari Santo Bapa Fransiskus, yang telah menjadi seperti sebuah teks sastrawi yang tidak habis untuk ditafsir dan dimaknai, lebih-lebih setelah beliau meninggal.
Salah satu testimoni spontan datang dari seorang mantan murid Paus Fransiskus yang kini menjabat sebagai CEO Somos Community Care, Mario Jesus Paredes.
Kepada ABC News di Vatican City, Paredes bercerita tentang Frater Bergoglio, seorang Jesuit, gurunya saat di Buones Aires, Argentina, beberapa dekade lalu.
“Tidak seperti para pastor lain yang fokus pada filsafat dan teologi, Frater Bergoglio lebih suka pada psikologi dan sastra. Dia mendorong kami untuk belajar sastra Rusia. Dia pribadi yang tegas. Lalu, tahun berlalu, kita mendapatinya sebagai seorang paus yang selalu tersenyum, menyentuh dan merangkul semua orang,” kisah Paredes.
Masih dari Vatikan, kotbah komprehensif dari Kardinal Giovanni Battista Re saat misa pemakaman mengakui kemampuan bersastra Sri Paus Fransikus.
“Dengan kosakata dan bahasanya yang khas, kaya akan perumpamaan dan metafora, ia selalu berusaha untuk menerangi masalah-masalah zaman kita dengan kebijaksanaan Injil. Ia melakukannya dengan memberikan tanggapan yang dibimbing oleh terang iman dan mendorong kita untuk hidup sebagai orang Kristen di tengah tantangan dan kontradiksi dalam beberapa tahun terakhir, yang ia gambarkan sebagai “perubahan zaman.”
Membaca Sastra dalam Terang Iman
Pertengahan tahun lalu, Juli 2024, Bapa Suci menulis sebuah Surat Apostolik tentang pentingnya pendidikan sastra dalam masa formasi para (calon) imam.
Entah kebetulan atau tidak, surat tersebut dirilis sebulan setelah Bapa Suci hadir dan memberikan sambutan dalam kapitel kongregasi sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD) di Roma pada Juni 2024.
Saat itu, Paulus Budi Kleden SVD, Uskup Agung Ende saat imi, masih menjabat sebagai Superior General SVD.
Dalam pesannya kepada para anggota kapitel SVD (Verbites) pada Jumat (28/06/2024), Bapa Suci berbicara tentang pentingnya menjadi pembawa perdamaian dan nabi pengharapan, yang itu juga bermakna: menjadi misionaris yang setia dan kreatif.
Paus Fransiskus mengakui peran penting para misionaris SVD yang dalam lintasan sejarah misi telah tampil sebagai pakar-pakar inkulturasi dan nabi pengharapan bagi setiap kebudayaan. Hal baik ini perlu dilanjutkan.
“Aktivitas misionaris yang kreatif lahir dari cinta kepada sabda Tuhan; dan kreativitas lahir dari kontemplasi dan kebijaksanaan,” pesan Bapa Suci Fransiskus.
Sementara itu, dalam suratnya tentang pendidikan sastra dalam formasi calon imam, tertanggal 17 Juli 2024, Bapa Suci memberikan sejumlah tilikan yang sangat humanis.
Misalnya, dengan mengatakan bahwa saat ini tantangan bagi iman bukan lagi ateisme (teoretis), tetapi pada kisah yang meyakinkan dan menyentuh manusia bahwa Yesus sungguh Sabda yang menjadi daging, menjadi manusia seperti kita, masuk dalam sejarah dengan satu kata terkuat: Kasih.
Hal itulah yang bisa ditemukan dalam sastra, yang mampu mengantar pembacanya untuk berpikiran terbuka, memelihara rasa kagum, sedia untuk terus belajar dan menemukan hal-hal baru yang berguna bagi hidup.
Mengutip penulis Argentina Jorge Luis Borges, Paus Fransiskus mengatakan, sastra berfungsi untuk membantu kita “mendengarkan suara orang lain.”
Sastra menyumbangkan nilai-nilai yang tak tergantikan dalam memahami kemanusiaan. Itulah yang kurang diperhatikan oleh gereja Barat.
Sepulang dari kunjungannya ke Jepang, Paus Fransiskus berujar kepada para jurnalis tentang apa yang bisa dipelajari dari Timur, “Barat kekurangan cita rasa berpuisi.”
Menurut Paus Fransiskus, sastra seperti “teleskop” yang memperbesar gambar kehidupan bagi kita untuk mengalami hidup.
Sastra memungkinkan kita melihat dengan mata (orang) lain: untuk berempati. Ada kekuatan spiritual dari sastra.
Penekanan tentang pentingnya cerita hidup dan sastra berangkat dari pengalamannya sebagai guru sastra dan psikologi di Kolese Bunda Maria Dikandung Tanpa Dosa di Santa Fe dan di Kolose Sang Juruselamat di Buenos Aires pada pertengahan tahun 1960-an.
“Saya mencoba mendorong mereka untuk membuat tulisan kreatif, dan menjelaskan pentingnya membedakan antara apa yang dikatakan oleh buku pelajaran dan apa yang ditulis oleh penulis.”
Beberapa pengarang sastra pernah diundang Frater Bergoglio untuk berdiskusi dengan para murid: Maria Esther Vasques, Jorge Luis Borges, dan Maria Esther de Miguel.
“Ini pengalaman formatif yang amat penting bagi siswa, juga bagi saya,” tulis Paus Fransiskus dalam karya “Life: La mia storia nella nella Storia” (2024), yang ditulisnya bersama jurnalis Fabio Marchese Ragona.
Bagi Paus Fransiskus, bercerita dan bersastra adalah sesuatu yang amat penting, sekalipun cerita hidup kita mungkin kecil dan sederhana.
Dalam sebuah katekese tentang pembedaan roh (discernment), Paus Fransiskus mengatakan:
“Hidup kita adalah buku yang paling berharga…. Pernahkah saya menceritakan hidup saya kepada orang lain? Itulah salah satu bentuk komunikasi yang paling indah dan intim, yakni mengisahkan kembali pengalaman hidup kita. Dengan menceritakannya, kita menemukan hal-hal yang sampai sekarang masih tersembunyi, kecil, dan sederhana. Namun, seperti yang dikatakan Injil, justru dari hal-hal kecil itulah lahir hal-hal besar.”
Menjadi Nabi Pengharapan dalam Konteks
Tentang makna dan pesan hidup Paus Fransiskus dalam konteks Bahasa Indonesia, penulis temukan pada dua uskup agung yang juga meminati sastra dan teologi naratif.
Pertama, dari Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo, yang memberikan tiga refleksi tentang Bapa Suci Fransiskus: pengalaman akan Allah, tranformasi pribadi dan transformasi sosial.
Kedua, kotbah Uskup Egung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD pada misa requiem untuk Paus Fransiskus di gereja Katedral Kristus Raja Ende.
Dalam renungan Uskup Budi, Paus Fransiskus memiliki empat aspek sebagai keunggulan utama: yakni (1) misericordia atau pribadi yang selalu tersentuh oleh kemalangan orang lain, (2) Periferi, yang berarti pribadi yang selalu memperhatikan orang yang paling terpinggirkan, (3) persaudaraan yang lintas batas, dan (4) pertobatan ekologis yang menggerakkan kesadaran dan inisiatif semua orang untuk meyelamatkan bumi yang hanya satu ini.
Pilihan terhadap kesaksian dari dua uskup agung ini beralasan kontekstual serentak politis.
Dalam testimoni Kardinal Suharyo, kita menemukan suatu perkembangan pribadi dari seorang anak manusia Paus Fransiskus: dari konsep diri yang kuat hingga menjadi pribadi yang memiliki dampak sosial-politik dengan karisma dan pengaruhnya yang mendunia.
Paus Fransiskus yakin bahwa kisah transformasi hidupnya perlu juga dibagikan agar bisa menjadi pengalaman bagi orang lain juga, terutama pengalaman dengan Allah yang penuh Kasih.
Sementara itu, refleksi Uskup Budi Kleden memberi penekanan pada relevansi sosial dari pribadi yang telah mengalami Allah dan bertransformasi.
Ada konsistensi internal dari pembelajaran dan pengalaman hidup Jorge Mario Bergoglio yang kemudian menjadi relevansi eksternal dalam kebijakan dan seruan Sri Paus Fransiskus.
Dalam konteks Indonesia, Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo dan Mgr. Budi Kleden dikenal menaruh perhatian besar pada sastra dalam rangka humaniora sebagai komponen penting dalam pembentukan kepribadiaan seseorang.
Bapa Kardinal Suharyo yang merupakan guru besar dalam bidang teologi kitab suci selalu bisa tampil dengan kisah-kisah Kitab Suci yang naratif.
Bapa uskup Budi Kleden adalah seorang teolog yang senantiasa ingin melibatkan sastra dalam aktivitas berteologi (dan berfilsafat) serta berpastoral.
Kardinal Suharyo sering menyatakan kalau hidup kita adalah juga sebuah kisah para rasul. Kita bertugas menulis bab ke-29 dalam kitab Kisah Para Rasul.
Uskup Budi Kleden selalu menyatakan, tugas kita adalah menemukan wajah Allah dalam kisah-kisah dan cerita-cerita orang lain yang tampil dalam sastra-sastra kontekstual masyarakat setempat.
Setelah Bapa Suci Fransiskus meninggal, banyak orang merasa kehilangan tempat curahan hati (curhat) pada pribadi yang memahami dan berpihak kepada mereka.
Manusia mati meninggal nama. Dan untuk pribadi bernama Paus Fransiskus, nama itu berarti cerita yang harus dibagikan, agar bisa menjadi pelajaran bagi orang lain.
Sastra dengan segala makna dan manfaatnya yang telah kita singgung serba singkat di atas adalah salah satu jalannya.
Jika kita mencintai Paus Fransiskus dan mencintai kemanusiaan sebagaimana yang diperjuangkannya, kita perlu makin banyak membaca dan menenun cerita-cerita kehidupan bagi anak cucu kita.
Mulailah dari rumah. Inilah tugas bagi para nabi pengharapan!
* Penulis adalah Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (PP ISKA)
Komentar