Breaking News

KEAMANAN Soal Tragedi di Masjid SMAN 72 Jakarta, SETAARA Institute: Pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan harus Menjadi Program Prioritas 10 Nov 2025 01:31

Article image
Personel TNI dan Polri berjaga pasca terjadi ledakan di SMAN 72 Jakarta. (Foto: ANTARA)
SETARA Institute menekankan, seluruh pihak terkait harus terus dorong untuk saling menguatkan wawasan kebinekaan dengan kolaborasi Tiga Pilar Kepemimpinan dalam ekosistem toleransi; yaitu kepemimpinan politik, kepemimpinan birokratik, dan kepemimpinan ke

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Peristiwa ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta pada Jumat (7/11/2025) kemarin sehingga menyebabkan puluhan orang terluka, nyata-nyata merupakan tindakan ekstremisme kekerasan.

Demikian pernyataan Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan dan Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, Azeem Marhendra Amedi, melalui keterangan tertulis kepada media ini, Minggu (9/11/2025). 

Menurut Halili, sebelum tragedi tersebut, dalam tiga tahun terakhir, tidak terjadi satu pun serangan teroris di Indonesia (zero terrorist attack). 

Namun, peristiwa di SMA 72 Jakarta merupakan alarm peringatan bahwa kesiapsiagaan dan langkah prevensi mesti selalu dilakukan guna menghindari terjadinya keberulangan dan mencegah ekstremisme berbasis kekerasan.

SETARA Institute menyampaikan beberapa pernyataan terkait tragedi tersebut;

Pertama, tragedi di SMA 72 Jakarta mesti dicatat sebagai peringatan bahwa permasalahan ekstremisme berbasis kekerasan di usia dini masih besar dalam tata kebinekaan Indonesia. 

Nama-nama teroris dunia yaitu “Brenton Tarrant” (pelaku teror di Selandia Baru) dan “Alexandre Bissonnette” (pelaku teror di Kanada),serta narasi “Welcome to Hell” di senapan mainan, yang diduga milik terduga pelaku, merupakan penegas bahwa tragedi tersebut bukanlah peristiwa kriminal biasa, namun patut diduga mengarah pada terorisme.

Kedua, tragedi tersebut menegaskan bahwa seluruh pihak mesti bekerjasama dan terlibat dalam agenda pencegahan dan penanganan kompleksitas eksremisme kekerasan. Derasnya arus informasi dan kemajuan teknologi melipatgandakan kompleksitas persoalan pencegahan dan penanganan keterpaparan, terutama di kalangan generasi muda. 

"Upaya-upaya peningkatan literasi kebangsaan, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan harus dilakukan secara lebih massif untuk mencegah keterpaparan masyarakat dan generasi muda kita dengan ideologi dan narasi ekstremisme-kekerasan," kata Halili.

Ketiga, di antara sejumlah agenda mendesak untuk mencegah dan menangani keterpaparan anak-anak usia dini dari ideologi dan narasi ekstremisme-kekerasan yakni dengan menguatkan kemampuan berfikir kritis serta meningkatkan penerimaan (acceptance) atas keberagaman di sekitar mereka. 

Menurut Hendardi, masyarakat dan generasi muda harus dibiasakan untuk menghaluskan (sublimate) ketidaksetujuan (disapproval) mereka terhadap yang lain atau yang berbeda (liyan/the others). 

"Ketidaksetujuan terhadap keyakinan, pandangan, organisasi, simbol-simbol, atau bahkan ritual yang berbeda bukanlah alasan yang dibenarkan untuk merusak, menghancurkan, atau meniadakan (denial) yang tidak disetujuinya itu," kata Marhendra.

Keempat, terpaparnya remaja dengan paham intoleransi hingga ekstremisme terlihat pada data riset SETARA Institute.

Temuan dalam survei (2023) menunjukkan bahwa terdapat 24,2% remaja dalam kategori intoleran pasif, 5% dari mereka intoleran aktif dan 0,6% lainnya terpapar ideologi ekstremisme. 

Dalam survei tersebut, meskipun toleransi di kalangan remaja SMA tinggi yaitu 70,2%, namun terjadi peningkatan cukup tajam pada kategori intoleran aktif dibandingkan survei serupa sebelumnya pada 2016, dari 2,4% menjadi 5,0%, dan pada kategori terpapar dari 0,3% menjadi 0,6%.

Kelima, dalam pandangan SETARA Institute, sejauh ini agenda dan program pencegahan yang dilakukan untuk mengatasi tantangan percepatan intoleran aktif dan remaja terpapar, belum efektif dan cenderung melemah dalam pemerintahan Prabowo Subianto, yang barangkali dipengaruhi oleh fakta objektif ‘nol serangan teroris’ dan program efisiensi dalam tata kelola anggaran. 

Menurut Marhendra, kejadian di SMA 72 Jakarta merupakan peringatan keras bahwa pencegahan ekstremisme kekerasan harus selalu ditempatkan sebagai program prioritas.

Keenam, agenda pencegahan ekstremisme-kekerasan harus diperankan oleh seluruh pemangku kepentingan guna menghindari keberulangan. 

Rencana Aksi Nasional Pencegahan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE) harus diaktivasi dan dioptimalisasi untuk mendorong kolaborasi lintas aktor dan lintas skor.

Demikian pula Pemerintah Daerah dan aktor-aktor kunci di daerah harus terus didorong untuk mengoptimalisasi peran melalui Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAD-PE). 

SETARA Institute menekankan, seluruh pihak terkait harus terus dorong untuk saling menguatkan wawasan kebinekaan dengan kolaborasi Tiga Pilar Kepemimpinan dalam ekosistem toleransi; yaitu kepemimpinan politik, kepemimpinan birokratik, dan kepemimpinan kemasyarakatan.

Ketujuh, fakta spesifik bahwa terduga pelaku yang merupakan salah seorang siswa berusia 17 tahun sering menjadi korban perundungan (bullying) di sekolah, harus memantik perhatian para pemangku di lembaga pendidikan, khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen). 

"Kita semua seharusnya tidak memberikan toleransi sekecil apapun pada berbagai bentuk perundungan yang terjadi di sekolah," ujar Halili. 

"Perundungan terbukti tidak saja menyakiti para korban, bahkan menghilangkan nyawa korban, tetapi juga menjerumuskan korban pada berbagai anomali, hingga pada tingkatan yang ekstrem, dari balas dendam (resiprokalitas) hingga ekstremisme-kekerasan seperti yang terjadi di SMA 72 Jakarta," tandas Marhendra. 

--- Guche Montero

Komentar