NASIONAL Sosiolog: Demonstrasi Adalah Batu Uji Bagi Relasi Antara Rakyat dan Negara 10 Sep 2025 09:55

Dr Ivanovich menilai Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Jika aspirasi rakyat dijawab dengan reformasi nyata, bangsa bisa menuju demokrasi yang transparan dan meritokratis.
BOGOR, IndonesiaSatu.co - Gelombang demonstrasi yang terus bermunculan sepanjang Agustus hingga September 2025 dipandang sebagai sinyal kuat adanya jurang sosial-ekonomi yang semakin melebar di Indonesia.
Hal itu ditegaskan oleh Dr Ivanovich Agusta, Sosiolog IPB University. Dia menyebut demonstrasi sebagai “kejadian sosial” atau social event yang menjadi batu uji bagi relasi antara rakyat dengan negara.
“Demonstrasi adalah proses sosial yang disosiatif, lahir dari pertentangan antara pemerintahan dengan rakyat. Pemerintahan di sini bukan hanya eksekutif, tapi juga legislatif, bahkan cenderung mengelompok bersama dengan yudikatif. Pola ini sudah ditengarai Levitsky dan Ziblatt dalam kajian demokrasi yang rapuh,” ujarnya melalui pernyataan pers.
Menurut Dr Ivanovich, faktor dominan yang mendorong mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan adalah kesenjangan sosial-ekonomi yang kian lebar. Ia menyoroti ironi ketika Bank Dunia mengumumkan angka kemiskinan Indonesia sebesar 68 persen, sementara pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita sudah menembus USD 16.010 pada 2024.
“Ketika harta pejabat negara terbongkar ke publik, sementara rakyat hanya bisa hidup subsisten, maka demonstrasi menjadi pilihan rasional. Risiko kerugian bagi rakyat kecil pun hampir tidak ada, karena mereka memang sudah kehilangan banyak hal,” paparnya.
Ia menilai pemicu utama gelombang protes belakangan ini justru lahir dari ucapan dan tingkah laku pejabat. “Mulai dari kasus ucapan Bupati Pati pada 13 Agustus hingga tarian dan kesombongan pejabat lainnya, pola ini menunjukkan habitus kelas atas yang meremehkan kelas bawah,” katanya.
Dr Ivanovich mengingatkan bahwa demonstrasi terkini memperlihatkan pola berbeda dari 1998. Jika dulu aksi diakhiri penjarahan mal dan tragedi etnis, kini fokus amarah massa justru mengarah pada pejabat yang dinilai merugikan rakyat. Bahkan, bom molotov mulai muncul sebagai respons atas tembakan gas air mata dan semprotan aparat.
“Ini jelas eskalasi. Kekerasan aparat dibalas rakyat. Jalan keluar pertama yang harus dilakukan eksekutif dan legislatif adalah meminta maaf secara tulus karena salah berkomunikasi dengan rakyat,” tegasnya.
Selain itu, ia mendorong pemerintah menghentikan kekerasan terhadap pendemo, memperbaiki tata kelola pemerintahan dengan meritokrasi dan transparansi, serta memberi afirmasi peluang usaha dan kerja bagi kelompok terpinggirkan.
“Data dan ilmu pengetahuan harus menjadi basis kebijakan, bukan opini elite yang jauh dari realitas rakyat,” tambahnya.
Dr Ivanovich menilai Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Jika aspirasi rakyat dijawab dengan reformasi nyata, bangsa bisa menuju demokrasi yang transparan dan meritokratis.
Namun, jika respons pemerintah tetap represif, arah sebaliknya justru akan menguatkan oligarki, KKN, dan negara tertutup yang dikendalikan segelintir elite.
“Respons eksekutif-legislatif-yudikatif akan selalu direspons balik oleh rakyat. Itu hukum sosial. Pilihannya sederhana, apakah bangsa ini mau memperbaiki diri secara lebih fair atau justru tenggelam dalam pusaran kekuasaan yang makin tertutup?” pungkasnya. *
--- F. Hardiman
Komentar