Breaking News

KEUANGAN DBS: Obligasi Masih Jadi Pilihan Utama, Saham Teknologi dan Asia Tetap Menarik di Kuartal IV 2025 14 Oct 2025 11:56

Article image
Kuartal IV 2025 akan menjadi periode penting bagi investor untuk “bergerak mengikuti arah tren” di tengah pelonggaran kebijakan moneter global, ketidakpastian fiskal Amerika Serikat, dan momentum positif di Asia.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Chief Investment Officer Bank DBS, Hou Wey Fook, menilai kuartal IV 2025 sebagai periode penting bagi investor untuk “bergerak mengikuti arah tren” di tengah pelonggaran kebijakan moneter global, ketidakpastian fiskal Amerika Serikat, dan momentum positif di Asia. Dalam laporan bertajuk Investment Insights 4Q25, Hou menyebut obligasi tetap menjadi aset paling menarik, sementara sektor teknologi dan saham Asia di luar Jepang menawarkan potensi kenaikan yang menjanjikan.

Menurut Hou, pasar global kini diwarnai oleh transisi kebijakan bank sentral, dengan The Federal Reserve (The Fed) telah memulai penurunan suku bunga di tengah tekanan politik dan pelemahan pasar tenaga kerja. Namun, “aktivitas ekonomi AS yang kuat, risiko inflasi akibat tarif, dan kondisi fiskal yang memburuk dapat memicu resistensi pasar,” ujar Hou dalam laporan yang dirilis Senin (13/10/2025).

Hou menjelaskan bahwa langkah The Fed menurunkan suku bunga akan menjadi katalis bagi pergerakan pasar keuangan global hingga 2026. Namun, risiko terhadap kredibilitas kebijakan moneter masih tinggi karena utang pemerintah AS telah menembus 120% terhadap PDB. “Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan dominasi fiskal, di mana kebutuhan pemerintah dalam pembiayaan utang dapat mulai mengarahkan kebijakan bank sentral,” kata Hou.

Di Eropa, pertumbuhan ekonomi diperkirakan melambat di paruh kedua tahun ini setelah sempat direvisi naik menjadi 1,2% di semester pertama. Sementara Jepang menghadapi tekanan ekspor, konsumsi domestik yang tangguh dan kenaikan upah tetap menjadi penopang utama.

Untuk Asia, DBS menilai pasar obligasi kawasan masih menarik di tengah pelonggaran suku bunga lokal dan dinamika utang yang sehat. “Arus eksternal yang menguntungkan dan narasi dolar yang melemah memperkuat momentum positif Asia,” jelas Hou.

Saham: Fokus ke Teknologi dan Asia

Dalam strategi lintas asetnya, Hou menyebut DBS menaikkan posisi saham AS menjadi netral sambil menambah eksposur terhadap sektor teknologi dan pasar Asia non-Jepang (AxJ).

“Kami merekomendasikan pendekatan ‘barbell’ — menyeimbangkan pertumbuhan dari sektor teknologi AS dan valuasi menarik di Asia,” tutur Hou.

Menurutnya, valuasi pasar Asia kini jauh lebih kompetitif dibanding negara maju, di tengah pelemahan dolar AS dan prospek pertumbuhan laba yang solid. Untuk membiayai rotasi portofolio ini, DBS menurunkan peringkat Eropa menjadi netral dan Jepang menjadi underweight dalam tiga bulan mendatang.

Obligasi: Kredit Investasi Lebih Menarik

DBS tetap menempatkan obligasi sebagai aset unggulan kuartal IV tahun ini. “Obligasi lebih disukai daripada saham karena imbal hasil yang menarik dan sifatnya yang defensif,” ungkap Hou.

Ia menambahkan, imbal hasil obligasi jangka panjang berpotensi meningkat karena kurva yield yang makin curam, namun peluang terbaik masih berada pada kredit korporasi berkualitas tinggi (A/BBB) dengan durasi 2–3 tahun.

“Kami lebih memilih kredit dengan peringkat investasi dibanding obligasi pemerintah, karena fundamental korporasi masih solid sementara risiko fiskal pemerintah meningkat,” ujarnya.

Aset Alternatif: Infrastruktur dan Emas

Di tengah pelonggaran fiskal dan moneter AS yang bersamaan, Hou menyoroti pentingnya diversifikasi melalui aset riil. Infrastruktur privat dan emas menjadi dua fokus utama.

“Infrastruktur menawarkan arus kas jangka panjang yang terlindungi dari inflasi, sementara emas berfungsi sebagai lindung nilai terhadap devaluasi moneter dan risiko geopolitik,” katanya.

Harga emas yang telah menembus level USD 3.400 per ons, menurut Hou, berpotensi mencapai USD 4.450 pada paruh pertama 2026.

Taktik Portofolio: Bergerak Tapi Waspada

Secara keseluruhan, Hou menilai reli pasar aset berisiko masih akan berlanjut seiring ekspektasi penurunan suku bunga The Fed hingga lima kali sampai akhir 2026. Namun, risiko pasar tetap tinggi, terutama dari konsentrasi saham teknologi besar dan valuasi yang mendekati ekstrem historis.

“Probabilitas kenaikan tajam aset berisiko tetap tinggi, tetapi investor perlu memanfaatkan momentum ini sambil tetap melindungi sisi bawah portofolio melalui diversifikasi,” tegas Hou.

Dengan pendekatan hati-hati dan selektif, Hou Wey Fook merekomendasikan strategi follow the trend — bergerak mengikuti arah tren, sambil menjaga keseimbangan antara peluang pertumbuhan dan perlindungan risiko di tengah fase baru kebijakan moneter global. ***

--- Sandy Javia

Komentar