POLITIK DPR Bisa Kritik Putusan MK, Tapi Tidak Bisa Mengevaluasi Substansi Putusan 29 Aug 2024 20:59

Menurut Jeirry, uji materiil yang dilakukan oleh MK bertujuan untuk memastikan bahwa setiap UU yang dibuat oleh DPR tidak bertentangan dengan konstitusi.
JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan bahwa lembaganya akan mengevaluasi posisi Mahkamah Konstitusi dalam jangka menengah dan panjang karena dianggap mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangannya.
“Nanti kami evaluasi posisi MK karena memang sudah seharusnya kami mengevaluasi semuanya tentang sistem, mulai dari sistem pemilu hingga sistem ketatanegaraan. Menurut saya, MK terlalu banyak urusan yang dikerjakan, yang sebetulnya bukan urusan MK," kata Doli dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (29/8).
Terkait dengan pendapat Ketua Komisi II DPR RI tersebut, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow mengatakan, MK adalah lembaga yudisial yang memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Jadi, kewenangan itu telah diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.
Menurut Jeirry, uji materiil yang dilakukan oleh MK bertujuan untuk memastikan bahwa setiap UU yang dibuat oleh DPR tidak bertentangan dengan konstitusi.
Karena itu, ketika MK masuk ke dalam aspek teknis dari suatu UU dalam proses uji materiil, maka hal ini bisa dianggap melampaui kewenangan, terutama jika MK dinilai terlibat terlalu jauh dalam penafsiran yang seharusnya menjadi domain pembuat undang-undang, yaitu oleh DPR dan pemerintah.
“Namun, di sisi lain, saya kira, MK memiliki kewenangan untuk menafsirkan UUD secara lebih luas, yang kadang-kadang memerlukan penilaian atas aspek teknis tertentu agar dapat menentukan apakah suatu UU sesuai atau bertentangan dengan konstitusi,” ujarnya melalui pernyataan tertulis di Jakarta, Kamis.
Oleh karena itu, pertanyaan apakah MK melampaui kewenangannya atau tidak seringkali menjadi perdebatan hukum yang kompleks.
“Namun, saya kira, dalam situasi tertentu yang sifatnya mendesak, memang MK dapat saja masuk ke hal-hal yang sifatnya lebih teknis dalam rangka memberikan kepastian hukum. Sebab jika tidak begitu, maka akan memunculkan persoalan lanjutan yang berpotensi membuat situasi makin tak menentu. Atau akan terjadi ketidakadilan bagi pencari keadilan,” katanya.
Disamping itu, kata Jeirry, harus diakui bahwa UU yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah, menyimpan banyak masalah. Seringkali UU tersebut tak sesuai dengan konstitusi dan atau multi tafsir.
Akibatnya, tak ada kepastian hukum, khususnya dalam hal implementasinya. “Jika begitu, maka MK memang harus masuk ke soal yang lebih teknis agar ada pedoman teknis yang bisa jadi acuan untuk implementasinya sesegera mungkin,” ujarnya.
Komisi II DPR RI, katanya, memiliki tugas dan fungsi di bidang pemerintahan dalam negeri, sekretariat negara, dan kepemiluan. Komisi II DPR RI juga bukan mitra MK. Yang menjadi mitra MK adalah Komisi III.
“Jadi, Komisi II atau bahkan DPR secara umum tidak memiliki kewenangan untuk mengevaluasi putusan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.
MK, kata Jeirry, merupakan lembaga independen yang keputusannya bersifat final dan mengikat, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Sesuai dengan Pasal 24C tersebut maka MK adalah lembaga mandiri yang tak boleh diintervensi oleh lembaga lain, termasuk DPR. Dan evaluasi itu bisa saja bermakna intervensi.
Meskipun demikian, DPR sebagai pembuat UU, dapat mengkritisi putusan MK. Tetapi evaluasi terhadap MK sebagai lembaga bukan menjadi kewenangan DPR.
“Evaluasi terhadap kinerja atau putusan MK, tidak bisa dievaluasi oleh lembaga apapun. Apalagi evaluasi tak bisa dilakukan terhadap substansi putusan. Evaluasi bisa dilakukan terhadap etika dan perilaku Hakim MK. Itu bisa dilakukan oleh MKMK jika ada laporan kepadanya. Jadi, DPR, termasuk Komisi II, tak bisa mengevaluasi MK dalam hal ini,” ujarnya.
Karena itu, kata Jeirry, DPR bisa saja melakukan revisi terhadap UU yang sudah diuji oleh MK jika dianggap perlu. “Dengan catatan, revisi tersebut tidak boleh bertentangan dengan substansi atau norma putusan MK yang telah final dan mengikat itu,” pungkasnya. ***
--- F. Hardiman
Komentar